Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Bencana Alam dan Squid Game

Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofi sika (BMKG)
01/10/2021 05:00
Bencana Alam dan Squid Game
(MI/Seno)

MESKI sudah tiga tahun berlalu. Gempa Donggala dan tsunami Palu yang terjadi 28 September 2018 silam masih membekas dalam ingatan. Lebih dari 2.000 orang meninggal akibat bencana yang disebut dalam Nature Geoscience dan Frontiers in Earth Science sebagai gempa Supershear.

Sebuah jenis gempa bumi langka, yakni kecepatan rekahannya melebihi kecepatan gelombang geser seismik dan menyebabkan ledakan sonik. Gempa bumi jenis ini juga, yang kemudian dituduh sebagai dalang bencana yang melanda San Francisco pada 1906 dan menewaskan lebih dari 3.000 orang.

Banyak ilmuwan dunia yang penasaran dengan fenomena yang terjadi di Palu, lalu berlomba-lomba mengkajinya secara ilmiah. Alasannya, gempa dengan magnitudo 7.4 tersebut tidak hanya membangkitkan tsunami, tapi juga memunculkan fenomena likuefaksi di Petobo dan Balaroa, Palu.

Hasilnya, Persatuan Ahli Geofisika Amerika di Washington DC pada Desember 2018 menyebut, telah menemukan adanya penurunan signifikan di dasar laut. Temuan ini didapat dari survei di pesisir pantai kota Palu. Penurunan inilah yang diyakini ikut menyebabkan air bergerak secara tiba-tiba yang kemudian menerjang daratan.

Penemuan lainnya menunjukkan adanya beberapa longsor bawah laut yang kemungkinan besar juga menjadi penyebab hantaman gelombang tsunami. BMKG sendiri, mengidentifi kasi gempa dan tsunami yang terjadi di Palu akibat adanya patahan aktif Palu Koro dengan mekanisme pergerakan mendatar mengiri (sinistral strike-slip) yang memicu longsor laut pembangkit tsunami.

Untuk diketahui, Sesar Palu Koro ini membelah Sulawesi dari Teluk Palu hingga Teluk Bone menjadi dua bagian, yaitu blok barat dan blok timur. Sesar ini sendiri dikenal sebagai salah satu sesar paling aktif di dunia dengan laju pergeseran mencapai 4 sentimeter per tahun.

Sebenarnya, peringatan akan potensi tsunami di banyak pantai Indonesia, termasuk pantai Teluk Palu, telah dikeluarkan BMKG sejak 2001 lalu. Namun, hasil kajian tersebut sepertinya belum menjadi perhatian bersama untuk melakukan langkahlangkah mitigasi yang komprehensif dari hulu ke hilir.

Hanya atas dasar dari video yang beredar di media sosial dan televisi, sempat beredar kabar bahwa BMKG kecolongan karena ‘asumsi’ tsunami baru datang setelah BMKG mengakhiri peringatan dini. Faktanya, pengakhiran  peringatan dini tersebut, karena tsunami terbesar yang terbentuk di teluk sudah terlewati atau berakhir dalam waktu kurang dari 5 menit setelah gempa terjadi. Pengakhiran dilakukan agar memberi kesempatan untuk segera melakukan pertolongan dan evakuasi.


Inovasi sistem peringatan dini

Berkaca atas kejadian tersebut, maka kebutuhan akan inovasi peringatan dini tsunami sangat mendesak. Selama ini, sistem peringatan dini yang dibangun hanya berdasarkan aktivitas tektonik gempa. Namun, kejadian Palu, Selat Sunda, dan terbaru di Pulau Seram, Maluku Tengah Juni 2021 lalu seakan menegaskan bahwa ancaman tsunami non tektonik itu nyata.

Dari pengamatan BMKG, wilayah Indonesia yang berpotensi mengalami tsunami non tektonik antara lain ialah Selat Sunda, Kota Palu Sulawesi Tengah, Pulau Seram Maluku Tengah, juga beberapa titik di wilayah Indonesia tengah dan timur, termasuk Pulau Lembata Nusa Tenggara Timur. Di wilayah-wilayah tersebut, banyak memiliki gunung api laut, palung laut atau patahan darat yang melampar sampai ke laut sehingga berpotensi mengakibatkan tsunami nontektonik atau atypical dengan waktu datang gelombang tsunaminya 2 sd 3 menit (tsunami cepat), mendahului berbunyinya sirine peringatan dini.

Sejarah mencatat bencana alam tsunami nontektonik yang menelan korban jiwa sangat besar pernah terjadi sekitar 8 kali, yaitu tsunami G Gamkonora (1673), tsunami G Gamalama (1763), tsunami G Gamalama (1840), tsunami Gunung Awu (1856), tsunami Gunung Ruang (1871), lalu tsunami G Krakatau (1883), tsunami G Rokatenda (1928), dan tsunami Waiteba NTT akibat longsor tebing pantai (1979).

BMKG bersama Kementerian/Lembaga terkait, saat ini tengah berupaya melakukan penyempurnaan, dan pengembangan lanjut Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS). Penyempurnaan dilakukan berbasis kajian ilmiah dan keilmuan dengan terus berkejaran dengan waktu. Menjadi pekerjaan rumah berat, mengingat hingga saat ini belum ada satupun negara yang memiliki pemodelan dan teknologi peringatan dini yang cepat, tepat dan akurat untuk tsunami yang dibangkitkan oleh aktivitas nontektonik.

Tidak berkecil hati, BMKG lalu mengubah materi sosialisasi dalam mengedukasi masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal disepanjang pesisir pantai rawan tsunami. Pesan sederhananya, jika merasakan guncangan gempa, segera lari menjauhi pantai menuju tempat tinggi, tanpa perlu menunggu peringatan dini atau sirine. Perkara terjadi tsunami atau tidak itu urusan belakangan, yang penting menyelamatkan diri
terlebih dulu.

Pesan ini sekaligus sebagai upaya kita dalam membangun budaya selamat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk melakukan evakuasi mandiri. Konsep evakuasi mandiri ini akan sangat efektif dalam melindungi warga masyarakat pesisir dari tsunami, seperti yang telah terjadi di masyarakat Jepang, Aceh, dan Nias.

Mengingat, di beberapa wilayah Indonesia, estimasi waktu tiba tsunami berkisar 1 - 7 menit. Jargon 20 - 20 - 20 (apabila merasakan guncangan di pantai selama 20 detik, agar segera berlari menuju ke tempat yang lebih tinggi dari 20 m, karena tsunami akan datang 20 menit kemudian), tampaknya tidak lagi tepat untuk tsunami nontektonik.


Literasi dan mitigasi

Hal lain, yang tidak kalah penting adalah, membangun infrastruktur jaringan komunikasi yang andal. Yang tidak tumbang saat bencana menerjang. Yang tidak lumpuh, saat bencana bertalu-talu. Tidak hanya vital dalam menyebarluaskan pesan peringatan dini, tetapi jaringan komunikasi juga vital dalam bencana. Baik bagi posko bencana, relawan dalam mengatur koordinasi dan logistik, dan komunikasi pengungsi dengan keluarga.

Tidak ada yang dapat memprediksi kapan gempa bumi dan tsunami akan terjadi, namun dengan keterlibatan semua pihak penta-helix (Pemerintah Pusat dan Daerah, Masyarakat, Akademisi, Swasta dan peran Media) edukasi yang menyeluruh, literasi yang tidak setengahsetengah, dan mitigasi yang kuat, maka Indonesia dapat hidup harmonis berdampingan dengan bencana. Ibarat Squid Game, Indonesia saat ini tengah berlomba dengan waktu, yakni setiap detiknya begitu berharga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya