Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Mendamba Pemimpin Krisis bak Mangkunagara VI

Adi Putra Surya Wardhana, alumnus Ilmu Sejarah FIB Universitas Sebelas Maret Surakarta, pegiat Komunitas Wedang Secang, dan Mitra Kojakun Sutasoma
01/9/2021 15:25
Mendamba Pemimpin Krisis bak Mangkunagara VI
Adi Putra Surya Wardhana,(Dok pribadi)

BEBERAPA waktu ini sejumlah pihak gelisah melihat wajah-wajah ayu dan ganteng para politisi terpajang di pinggir jalan. Sementara itu, mural-mural ekspresi kegelisahan rakyat buru-buru ditertibkan, padahal itu adalah ekspresi rakyat dari kondisi selama pandemi. Mural pernah pula menjadi sarana perjuangan rakyat selama masa revolusi kemerdekaan sebagaimana digambarkan oleh Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2018).

Elite politik seakan tidak mau belajar dari masa lampau. Padahal banyak pemimpin masa lalu yang bisa dijadikan cermin idealitas dalam mensiasati masa krisis tanpa mesti berlaku narsis. Salah satunya adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara VI, seorang pemimpin krisis sekaligus asketis. 

Kepemimpinan krisis

Sri Mangkunegara VI memiliki nama kecil Raden Mas Suyitna. Meskipun bukan putra tertua, ia adalah kandidat terkuat untuk bertahta setelah Sri Mangkunagara V mangkat. Waktu itu, sang kakak surud dalem (meninggal dunia) dalam usia 41 tahun. Anak-anak Sri Mangkunagara V dianggap masih kecil, belum siap memimpin. Rembug-rasa trah Mangkunegaran memilih Raden Mas Suyitna guna mengemban jabatan Pengageng Pura. Ia pun berhak menyandang gelar Kanjeng Gusti Adipati Arya Mangkunagara VI.

Sebagai putra keempat Sri Mangkunagara IV, ia mewarisi bakat dagang sang ayah. Berbeda dengan sang kakak yang kurang cakap, Sri Mangkunagara VI memimpin dengan cerdas dan efisien. Ia berani mengambil keputusan untuk mengikat pinggang erat-erat guna menekan pengeluaran Praja Mangkunegaran. 

Pribadi Sri Mangkunagara VI yang suka berhemat diakui oleh Residen Surakarta dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal pada 28 Oktober 1898, "Bahwa di bawah kepemimpinan Kepala Istana Mangkunegaran yang akan mengelola dengan sangat hemat. Saya menjamin, dengan kualitas pribadi Pangeran yang mengutamakan penghematan, bakal mengelolanya dengan bijak. Bahwa berhemat tidak akan mencurangi kebijaksanaan, sebagai perwakilan Yang Mulia, saya orang terbaik untuk membantu pangeran dengan nasihat dan tindakah untuk mengurus hal itu” (dalam Pringgodigdo, 1939: 115). 

Sri Mangkunagara paham betul cara mengelola ekonomi pemerintahannya. Hemat adalah jalan satu-satunya untuk keluar dari krisis. Kebijakannya membuahkan hasil. Praja Mangkunegaran berhasil keluar dari krisis. Hutang kepada pemerintah kolonial berhasil dilunasi pada 1898 (Hasanah, 2015: 80). Ia bahkan membuat perekonomian Praja Mangkunegaran menjadi untung. Bahkan, ia menabung hasil-hasil keuntungan itu demi masa depan Praja Mangkunegaran.

Sebagai penguasa yang bersahaja, Sri Mangkunagara VI menyederhanakan etiket penghormatan. Yang tadinya feodal menjadi lebih lebih terbuka. Lampah dhodhok atau tradisi jalan jongkok kemudian duduk bersila sebagai warisan feodal disederhanakan. Para abdi boleh duduk apabila bertemu dengan Kanjeng Gusti. Para abdi bahkan tidak perlu berjongkok lagi saat bertemu tuannya, tetapi cukup menunduk. 

Sri Mangkunagara VI tidak suka para abdi terlalu terpaku pada tradisi feodal yang cenderung menjilat tuannya. Ia ingin bawahannya mengedepankan efektivitas dan kejujuran atas kondisi riil yang terjadi. Itulah yang dibutuhkan agar Praja Mangkunegaran bangkit. Segala macam bagian dari pakaian kebesaran praja yang kurang efektif dihilangkan agar lebih praktis dikenakan. Sederhana tetapi berwibawa. Ia ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa Mangkunegaran peduli dengan nasib rakyat dengan tidak bermewah-mewahan.

Pada dasarnya, Sri Mangkunagara VI telah menjalankan suatu konsep kepemimpinan krisis (crisis leadership). Menurut Muffet-Willett dan Sharon Kruse dalam Crisis Leadership: Past Research and Future Directions (2019), seorang pemimpin krisis mesti siap menghadapi tantangan yang berbeda dalam situasi normal. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki keterampilan dalam memimpin agar mampu menghadapi situasi tidak terduga saat terjadi krisis. Dibutuhkan kesadaran dan respon cepat tanggap di tengah ketidakpastian. Sri Mangkunagara VI sudah membuktikannya.

Pemimpin asketis

Kesuksesan menghadapi krisis tidak membuat Sri Mangkunagara VI berlaku narsis. Ia justru memilih laku asketis. Sri Mangkunagara VI juga tidak gila tahta. Ia lebih memilih menanggalkan pakaian kebesarannya. Dalam naskah Kanjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara Ingkang Kaping 6, dikisahkan Sri Mangkunagara VI meminta untuk beristirahat dari kedudukannya sebagai Pengageng Pura pada 1914. Ia menyerahkan segala harta yang dimiliki untuk dikelola dalam suatu badan amal untuk membantu keluarga sedarah bernama Soejono-Soewasti Fonds.
 
Pada 1915, Sri Mangkunagara VI membeli sebidang tanah di Surabaya. Pada 1916, Sri Mangkunagara VI turun tahta. Tahta lantas diberikan kepada Soerjo Soeparto, putra Sri Mangkunagara V. Laku asketis ditunjukkan ketika ia menolak seluruh abdi menyertai keberangkatannya ke Surabaya. Ia ingin menanggalkan segala fasilitas dan kemewahan seorang penguasa.

Sri Mangkunagara VI ingin hidup sebagaimana rakyat kebanyakan. Ia ingin mencari ketenangan batin dan nglakoni (berlaku asketis) di tempat yang jauh dari hiruk pikuk politik istana. Tidak lupa, ia juga berderma dan menolong sesama manusia yang membutuhkan bantuan. Menurutnya, derma adalah kunci mencapai ketentraman sejati. Hidup juga mesti bermanfaat bagi orang banyak agar mencapai keselamatan. 

Sri Mangkunagara VI merasa tidak pantas untuk dimakamkan di Astana Mangadeg atau pun Astana Girilayu. Ia lantas berwasiat agar ketika mangkat dimakamkan di daerah yang kekinian disebut Nayu, Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Nama tempat peristirahatan terakhir Sri Mangkunagara VI adalah Astana Utara. 

Sosok Sri Mangkunagara VI sebagai pemimpin krisis dan asketis jelas dibutuhkan dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Sosok pemimpin yang mampu memberi teladan bagaimana caranya berhemat demi memperbaiki ekonomi selama masa krisis. Seorang pemimpin yang rela mengencangkan ikat pinggangnya sendiri demi meraih kemakmuran bangsa. Bukan pemimpin yang narsis--memampang wajah demi mengerek elektabilitas sendiri. Pemimpin yang responsif, cerdas, gemar berderma, dan empati pastilah mampu membawa Indonesia bangkit dari pandemi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya