Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Statuta UI, Resentralisasi Radikal

Sudarsono, Guru Besar FISIP UI dan mantan Plt Rektor IPDN
05/8/2021 20:30
Statuta UI, Resentralisasi Radikal
Sudarsono(Dok pribadi)

MEMBACA PP No.75/2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI), tidak dapat dihindari adanya kesan fenomena resentralisasi radikal, dan konstruksi penumpukan kekuasaan terpusat (the concentration of power upon the rector). Untuk menyebut contoh adalah munculnya pasal-pasal baru seperti Pasal 41 ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2), yang dibarengi dengan penghapusan pengaturan basis check and balances yang sudah ada sebelumnya. Contoh pengaturan check and balances yang sudah ada, tetapi ditiadakan adalah Pasal 41 ayat (1) huruf j Statuta UI berdasarkan PP No.68/2013. 

Resentralisasi penyelenggaraan kewenangan tertentu dalam administrasi pemerintahan mengandung risiko, walaupun juga tidak selalu buruk. Sama halnya dengan desentralisasi sangat bagus, walaupun juga tidak sedikit risikonya. UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah banyak mengandung kebijakan resentralisasi, misalnya penyelenggaraan urusan pendidikan SMA, dari pemerintah daerah kabupaten/kota ke pemerintah daerah provinsi. Demikian halnya dalam UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja juga cukup banyak pengaturan resentralisasi.

Peraturan dekan dihapus

Dihapusnya peraturan dekan sebagai salah satu bentuk hukum dalam tata kelola UI adalah contoh resentralisasi radikal itu. Tidak diketahui latar belakang dan original intent pengaturan ini, sebelum para perancang PP No.75/2021 menjelaskan ke publik naskah akademik dan risalah rapat sepanjang pembahasan RPP Statuta UI. 

Memang, dalam tata kelola UI, selalu ada materi yang harus dituangkan dalam bentuk peraturan rektor. Tetapi juga seharusnya tidak sedikit materi yang cukup dituangkan dalam bentuk peraturan dekan. Ditiadakannya peraturan dekan akan berdampak pada; pertama, kecepatan legislasi tata kelola UI, dan kedua pada kelengkapan (comprehensiveness) materi pengaturan dalam rangka pelayanan tri dharma UI.

Kompetensi legislasi, peraturan dan keputusan

Pertanyaan mendasar dari resentralisasi radikal di UI adalah; apakah cukup kompeten Tim Legislasi Rektorat untuk melaksanakan resentralisasi, mengingat begitu banyaknya bidang ilmu yang terus berkembang di UI. Pertanyaan ini cukup beralasan. Ketika di ITB telah dibentuk Peraturan Rektor No.256/2020 dan di UGM diberlakukan Peraturan Rektor No.809/2015, keduanya tentang Struktur Organisasi dan Tata Kelola Universitas, di UI masih diberlakukan Keputusan Rektor No.2622/SK/R/UI/2019.

Ketika Presiden menetapkan Peraturan Presiden No.62/2021 tentang Organisasi Kemendikbudristek, statuta UI berdasarkan PP No.75/2021 Pasal 87 ayat (3) masih mengharuskan dibentuknya keputusan rektor, bukan peraturan rektor, untuk mengatur organisasi dan tata kelola UI. Padahal, setelah terbitnya UU No.10/2004, UU No.12/2011, dan terakhir UU No.15/2019, sudah diatur tentang hirarki peraturan perundangan. Terlebih lagi, dengan terbitnya UU No.30/2014, keputusan dipakai untuk yang sifatnya perintah sekali selesai, seperti penunjukan seorang pejabat. Jelas, resentralisasi radikal itu tidak didasari dengan kompetensi legislasi yang memadai dari Tim Legislasi UI.        

Komisi Kaji Etik Riset

Salah satu agenda penting dalam tata Kelola UI adalah dibentuknya Komisi Kaji Etik Riset (KKER). Pertama syarat kelulusan bagi mahasiswa pascasarjana UI adalah publikasi– pada jurnal nasional untuk mahasiswa magister reguler, dan pada jurnal internasional bereputasi untuk mahasiswa program doktor. Tidak sedikit jurnal internasional mewajibkan adanya ethical clearance setiap naskah yang didaftarkan (submission) untuk publikasi. Karena itu, keberadaan KKER sangat mendesak.

Kedua, sampai saat ini belum semua fakultas di lingkungan UI dibentuk KKER. Yang sudah berskala internasional antara lain KKER di FK, FKG, FKM, dan FPsy. Sementara yang masih dalam rintisan, misalnya baru saja dibentuk, KKER di FISIP melalui Peraturan Dekan FISIP No.2/2021 tanggal 16 Juli 2021. 

Bagi KKER rintisan, masih cukup panjang waktunya untuk dapat beroperasi. Selain diperlukan persiapan teknis yang cukup banyak, tidak tertutup kemungkinan masih diperlukan peraturan dekan lagi sebagai produk hukum turunannya. Dengan dihapusnya peraturan dekan dalam statuta UI, maka bagi KKER yang baru saja dibentuk dan belum beroperasi, serta bagi KKER yang kelak akan dibentuk, tidak ada pilihan lain harus difasilitasi oleh peraturan rektor. 

Apakah Tim Legislasi Rektorat cukup kompeten untuk membentuk KKER yang harus mewadahi keragaman bidang ilmu yang begitu luas? Bila pun dapat dibentuk peraturan rektor yang mewadahai KKER seluruh Fakultas, berapa lama proses legislasinya? Maka, sudah dapat dibayangkan betapa lambatnya proses layanan ethical clearance riset di UI. Padahal, ini sangat penting, bukan saja bagi mahasiswa pascasarjana, tetapi juga bagi dosen dan peneliti UI. Resentralisasi tata kelola UI melalui PP No.75/2021 jelas sangat berisiko.

Norma pencegahan dan penanganan 
tindak pelecehan seksual

Munculnya usulan dibentuknya norma pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di FISIP UI, antara lain dilatarbelakangi oleh begitu lambatnya rektorat dalam penanganan kasus sexual harassment yang belum lama ini viral di media. Norma ini diusulkan dibentuk di tingkat fakultas, dan tentu saja berdasarkan peraturan dekan. Jelas, rekomendasi Senat Akademik (SA) FISIP pada Juni 2021 itu tidak dapat direalisasi. 

Padahal, desentralisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, pada kewenangan administrasi tertentu, kepada dekan diharapkan selain dapat mempercepat solusi dan eksekusinya, juga dapat memudahkan pengelolaan distorsi berita yang tidak perlu. Sayang sekali, resentralisasi radikal pada statuta UI telah menghapus peluang, setidaknya memperlambat, desentralisasi layanan yang sangat penting ini.

Lessons learned bagi PTN BH lain

Masih banyak materi tata kelola UI yang terdampak atas kebijakan resentralisasi radikal itu. Pada saat banyak sivitas akademika risau dengan peringkat UI yang menurun, statuta UI justru cenderung pada upaya penumpukan kekuasaan secara terpusat. Kerangka kognitif dan kelembagaan seperti ini boleh jadi justru kontraproduktif dengan upaya menaikkan peringkat UI.
        
Lessons learned resentralisasi radikal ini perlu dikaji secara mendalam, kebaikan dan keburukannya, bukan saja bagi UI, tetapi juga bagi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) yang lain. Momentum yang tepat bagi PTN BH lain yang juga sedang merancang perubahan statutanya.
 
*Pendapat pribadi
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya