Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PADA minggu-minggu pertama datangnya pandemi tahun lalu, saya sempat menulis betapa saya mengharapkan situasi dapat secepatnya terkendali. Anak-anak tetap dapat bermain dan belajar dengan gembira serta tidak sampai terjadi penutupan sekolah.
Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Sekolah-sekolah di Tanah Air serentak ditutup total dan proses pembelajaran pun dialihkan ke metode virtual. Saat hal itu terjadi, kembali saya berharap agar para murid pun dapat menikmati metode belajar secara daring yang dianjurkan. Tidak terbatas pada anak-anak, para orangtua pun saya bayangkan akan sangat bergembira dapat mendampingi buah hati tersayang belajar di rumah. Namun, tampaknya harapan itu pun kembali meleset.
Kemudian tibalah 2021. Cukup banyak sekolah sudah mulai berani menyelenggarakan proses belajar tatap muka di sekolah masing-masing dengan waktu yang dibatasi. Kemendikbud pun sudah mencanangkan tahun ajaran baru sebagai masa kembalinya para murid ke bangku sekolah secara terbatas. Begitu pula Kemenkes; tersiar kabar baik bahwa vaksinasi antikorona juga sudah dapat diberikan kepada anak-anak berusia 12 tahun ke atas.
Berbunga-bunga hati menantikan tibanya tahun ajaran baru. Tak disangka tiba-tiba datang varian virus delta yang lebih mencekam. Virus yang disebut para ilmuwan sebagai sangat mudah menular dan juga menyasar anak-anak, sesuatu yang jarang terjadi pada varian-varian sebelumnya. Begitu dahsyatnya serangan virus varian baru ini sampai-sampai Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan jumlah korban anak-anak tertinggi di dunia.
Menghitung berapa besar dampak negatif situasi pandemi terhadap kehidupan anak-anak memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai gambaran, patut dicermati hasil penelitian Profesor Dave Marcotte dari American University, Washington DC, bahwa saat sekolah melakukan penghentian aktivitas belajar, per harinya anak-anak mengalami penurunan kemampuan membaca dan matematika sebesar 0,57%.
Kemampuan yang sebelumnya telah dimiliki anak-anak juga menyusut akibat tidak terkondisinya mereka untuk mengulang-ulang kembali kemampuan tersebut. Angka itu baru dari sektor pendidikan. Dipadukan dengan dampak pada sektor-sektor lain, tak dapat dibantah ada ketertinggalan yang begitu nyata yang membuat kita cukup khawatir akan sebutan lost generation.
Stabilitas
Agar anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, mereka membutuhkan suasana stabil. Stabilitas itu terlebih diperlukan anak-anak yang berusia sangat belia. Stabilitas dalam waktu yang signifikan memberikan kesempatan kepada anak untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang kejadian tertentu. Stabilitas juga memungkinkan anak-anak memulihkan kembali gejolak batin mereka pascapandemi. Demikian pula bagi kalangan dewasa, termasuk pemerintah, situasi yang stabil dapat dimanfaatkan untuk mengonsolidasikan berbagai hal, termasuk kejiwaan mereka sendiri, yang diperlukan untuk memulihkan kehidupan anak-anak.
Pada titik ini, patut menjadi kesadaran kolektif bahwa anak-anak yang dikategori sebagai korban covid-19 sebetulnya bukan hanya mereka yang terjangkit oleh virus korona. Di samping mereka masih ada kategori korban lainnya, yakni anak-anak yang kehilangan orang-orang terdekat akibat covid-19 dan penyakit sertaan. Lalu, anak-anak yang terabaikan hak-haknya akibat ketidakmampuan keluarga (penanggung jawab) dalam memenuhi hak-hak tersebut.
Dari tiga kelompok korban itu dapat dibayangkan bahwa dampak psikologis dan sosial akibat pandemi memang sangat mungkin berlangsung dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Merekalah, anak-anak dalam tiga kelompok tersebut, yang membutuhkan stabilitas agar--sekali lagi--dapat menapaki anak-anak tangga berikutnya.
Adakah solusinya?
Saya memiliki keyakinan bahwa setiap persoalan tentu memiliki jalan keluar. Namun, patut kita akui bahwa persoalan pelik di atas cukup berat untuk kita sajikan solusinya pada saat ini juga. Secara umum, orangtua dan pengasuh ialah lensa yang dipakai anak untuk memahami dunia. Begitu pula saat berhadapan dengan krisis, anak-anak pun menjadikan pengasuh mereka sebagai referensi utama.
Teori psikologi itu relevan pula untuk ditarik ke tataran makro. Bahwa masyarakat Indonesia ternyata memperhatikan cara pemerintah dan sesama warga dalam mengendalikan situasi pandemi. Tak terkecuali mereka amati pesan-pesan jujur yang saling dipertukarkan setiap hari, serta prospek-prospek ke depan yang ditawarkan secara terukur.
Atas dasar itu, memastikan bahwa harapan tetap ada, disertai langkah-langkah yang terencana dengan sasaran-sasaran yang realistis, menjadi misi agung yang--tidak bisa ditawar lagi--patut terus kita gelorakan bersama.
Dalam hitungan beberapa hari ke depan Indonesia akan merayakan Hari Anak Nasional (HAN). Sebagaimana HAN tahun lalu, awan kelabu pun masih menaungi perayaan kali ini. Pada hari indah bagi anak-anak inilah mereka menantikan, apa rencana besar kita untuk mereka untuk merengkuh hati ketiga kelompok anak-anak korban covid-19 di atas. Suasana yang ramah anak dan penuh kekuatan cinta, baik di rumah oleh para orangtua, di sekolah (secara daring) oleh para guru, maupun di tengah masyarakat oleh para pemimpin, ialah mimpi-mimpi indah yang senantiasa dirindukan anak-anak di seluruh Tanah Air.
Sebagaimana kita dengar suara merdu mereka menyanyikan lagu anak-anak karya AT Mahmud;
'Ambilkan bulan, Bu. Untuk menerangi tidurku yang lelap, di malam gelap'.
Semoga.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved