Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Hapus UN Kompetensi Pendidikan Profesi Dokter sebagai Penentu Kelulusan

Titi Savitri Prihatiningsih Pengurus NU-UK, Associate Professor Pendidikan Dokter Universitas Gadjah Mada, Anggota Executive Council World Federation for Medical Education (WFME), dan President South East Asia Regional Association for Medical Education (SE
10/7/2021 05:00
Hapus UN Kompetensi Pendidikan Profesi Dokter sebagai Penentu Kelulusan
Titi Savitri Prihatiningsih(Dok. Pribadi)

LAPORAN WHO pada 23 Juni 2021 menunjukkan peningkatan kasus covid-19 yang tajam di Indonesia. Pulau Jawa secara keseluruhan diberi warna merah. Rumah sakit, tenaga medis, dan tenaga kesehatan telah berteriak bahwa bila dalam waktu beberapa pekan ke depan tidak ada terobosan yang signifikan, sistem pelayanan kesehatan terancam kolaps.

Tenaga medis dan tenaga kesehatan yang telah menjadi korban covid-19 bertambah terus dan mengakibatkan semakin berkurangnya kapasitas untuk pelayanan kesehatan. Terutama, di masa pandemi covid-19 dengan lonjakan kasus yang tajam dan ancaman penyebaran virus korona varian delta dari India yang lebih infeksius.

Sementara itu, di pihak lain ada sekitar 3.000 mahasiswa pendidikan profesi dokter yang telah menyelesaikan seluruh persyaratan kurikulum di FK-nya masing-masing, tetapi belum bisa diluluskan dan difungsikan sebagai tenaga dokter karena terhalang oleh Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD).

 

Mengapa calon dokter harus lulus UN?

Undang-Undang No 20/2013 tentang Pendidikan Dokter Pasal 36 ayat 1 yang mengharuskan mahasiswa lulus uji kompetensi yang bersifat nasional untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui Permenristekdikti No 18/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter atau Dokter Gigi.

Untuk menyelenggarakan ujian nasional (UN) ini, dibentuklah Panitia Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (PNUKMPPD). Penyelenggaraan uji kompetensi nasional ini dilakukan secara serentak dalam waktu yang bersamaan di seluruh Indonesia yang terdiri atas ujian pengetahuan dalam bentuk pilihan ganda menggunakan computer-based testing (CBT) dan ujian keterampilan klinik menggunakan metode yang disebut OSCE.

Saat ini setiap tahun ada sekitar 13 ribu peserta ujian nasional. Apabila belum lulus, mahasiswa diperbolehkan untuk mengulang ujian dengan mengikuti ujian pada periode-periode berikutnya tanpa batasan yang jelas. Ada mahasiswa yang telah mengikuti ujian ini lebih dari 20 kali.

 

Prinsip penyelenggaraan PT

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51 mengatakan bahwa pengelolaan Pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan penjaminan mutu. Begitu pula UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 62, 63, dan 64, secara ringkas menyatakan bahwa perguruan tinggi (PT) memiliki otonomi untuk mengelola tridarma yang meliputi bidang akademik dan nonakademik.

Prinsip otonomi pengelolaan perguruan tinggi meliputi akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas, dan efisiensi. Hal ini lebih lanjut dijabarkan pada PP No 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi Pasal 23 yang merinci otonomi pengelolaan bidang akademik meliputi, antara lain penilaian hasil belajar dan persyaratan kelulusan.

Jelas sekali bahwa fakultas kedokteran yang merupakan unsur di bawah perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan program studi, termasuk program studi pendidikan dokter. Penentuan kelulusan seharusnya menjadi kewenangan dari perguruan tinggi dan bukan ditentukan ‘hanya’ oleh tolok ukur kelulusan dari ujian nasional (UKMPPD).

Argumentasi bahwa ujian nasional untuk menjamin mutu lulusan dokter patut dipertanyakan karena saat ini pemerintah telah memiliki sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan melalui lembaga akreditasi. Bahkan, khusus untuk pendidikan tinggi kedokteran dan kesehatan, pemerintah telah membentuk Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAMPTKes).

Melalui akreditasi, program studi akan dinilai kelayakannya secara rinci berdasarkan standar nasional pendidikan tinggi, dari standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian, standar sarana-prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan. Data terakhir, saat ini dari 93 fakultas kedokteran, hampir semuanya telah terakreditasi A dan B, hanya delapan fakultas kedokteran yang masih terakreditasi C karena merupakan fakultas kedokteran baru.

 

Dampak negatif dari UN mahasiswa kedokteran 

Ujian Nasional untuk mahasiswa kedokteran sebagai penentu tunggal kelulusan dokter memiliki dampak negatif yang apabila dibiarkan secara berkepanjangan akan merusak sistem dan tatanan pendidikan kedokteran.

Dampak negatif untuk mahasiswa ialah mahasiswa hanya akan belajar sesuai dengan soal-soal yang akan diujikan pada ujian nasional. Ini merupakan perilaku belajar mahasiswa yang telah diakui di seluruh dunia. Karena itu, muncul prinsip assessment drives student learning. Perilaku belajar mahasiswa ditentukan oleh bagaimana mahasiswa diuji.

Dari laporan, banyak mahasiswa mengikuti bimbingan tes atau bimbingan belajar UKMPPD dengan biaya antara 4 hingga 15 juta per paket. Bahkan sering kali para retaker harus pergi ke kota-kota besar untuk mengikuti bimbingan tes ini yang tentu saja menambah biaya transport dan penginapan. Tidak sedikit mahasiswa yang mengalami stres, depresi, dan malu karena status mereka yang tidak jelas.

Mereka telah menyelesaikan seluruh persyaratan pendidikan kedokteran dari fakultas kedokteran masing-masing. Namun, mereka belum bisa diluluskan sebagai dokter bila mereka belum lulus ujian nasional.

Ujian nasional, sebagai penentu tunggal kelulusan dokter, juga akan memperpanjang masa studi karena ujian nasional ini hanya diselenggarakan empat kali dalam setahun. Karena itu, ada masa tunggu setelah mahasiswa menyelesaikan seluruh persyaratan penyelesaian pendidikan dokter dari fakultas kedokterannya masing-masing. Perpanjangan masa studi ini tentu menambah beban biaya pendidikan bagi mahasiswa dan orangtuanya. Apalagi, bila belum lulus setelah menempuh ujian berkali-kali.

 

Solusi emergensi

Pertama, para mahasiswa pendidikan profesi dokter yang telah menyelesaikan seluruh persyaratan kurikulum di fakultas kedokteran asal dapat diluluskan oleh perguruan tingginya masing-masing sesuai dengan syarat kelulusan yang ditentukan oleh perguruan tinggi. Mereka berhak mendapatkan ijazah. Mereka yang bersedia bergabung sebagai relawan covid-19 diberikan sertifikat kompetensi setelah dilakukan pembekalan sesuai dengan tugas dan fungsinya selama tanggap darurat pandemi covid-19.

Selanjutnya, mereka diterjunkan di berbagai lokasi yang sangat membutuhkan tambahan tenaga medis dalam menangani kasus covid-19, khususnya yang kategori orang tanpa gejala dan ringan. Mereka juga dapat difungsikan untuk mempercepat pemberian vaksin covid-19 di berbagai wilayah. Mereka dapat diterjunkan ke masyarakat untuk memberikan edukasi dan pengarahan kepada masyarakat dan tokoh masyarakat agar patuh terhadap protokol kesehatan.

Kedua, ujian kompetensi nasional untuk mahasiswa kedokteran sebagai penentu tunggal kelulusan dokter sebaiknya dihapuskan. Untuk itu, diperlukan revisi terhadap UU Pendidikan Kedokteran No 20/2013 yang saat ini telah tercantum di dalam Prolegnas 2021 sebagai RUU Pendidikan Kedokteran.

Dari uraian di atas, terlihat lebih banyak dampak negatifnya daripada manfaatnya. Penentuan kelulusan dokter dikembalikan menjadi kewenangan institusi pendidikan kedokteran, sesuai dengan prinsip otonomi. Setelah lulus, dokter memiliki berbagai pilihan karier, baik bidang klinis maupun nonklinis. Hanya bagi mereka yang akan melakukan praktik kedokteran diberlakukan persyaratan khusus untuk mendapatkan sertifikat kompetensi sebagai syarat mendapatkan surat tanda regisrasi (STR) dari konsil kedokteran Indonesia.

Ketiga, memperkuat sistem akreditasi untuk pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan. Akreditasi diarahkan untuk melihat sejauh mana pendidikan kedokteran berfungsi dalam menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat sesuai dengan prinsip akuntabilitas sosial. Akreditasi yang mempertanyakan keberadaan masukan (seperti jumlah dosen, kualifikasi dosen, sarana-prasarana, tenaga kependidikan, dll), telah banyak ditinggalkan di tingkat global.

Pendidikan kedokteran memiliki mandat khusus karena menghasilkan lulusan yang telah mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, tenaga medis ialah tenaga strategis yang pendayagunaannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat, bukan sekadar mencari ‘lowongan pekerjaan’ atau ‘berwirausaha’.

Konsep akuntabilitas sosial yang telah menjadi konsensus di tingkat global dan didukung oleh lembaga internasional di bidang kesehatan dan pendidikan kedokteran, seperti WHO dan WFME, menekankan pentingnya mengarahkan kurikulum pendidikan kedokteran, sesuai dengan masalah kesehatan yang ada.

Tentu saja ini membutuhkan reformasi sistem akreditasi pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan, mulai standar dan prosedur akreditasi yang digunakan, serta penentuan status akreditasi, yang tidak lagi dilihat dari pemenuhan skor tertentu. Akan tetapi, dilihat dari fungsi pendidikan kedokteran dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang ditunjang oleh bukti-bukti, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Kebijakan bahwa status akreditasi unggul ialah bila telah memperoleh akreditasi internasional, patut dipertanyakan landasan filosofinya, dan dampaknya terhadap masyarakat. Sebetulnya, pengertian mutu pendidikan merupakan konstruksi dari para ahli. Kita pun bisa merekonstruksi sendiri pengertian mutu pendidikan kedokteran dan mutu pendidikan tinggi sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya