“DALAM kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila, umat Islam Indonesia dapat membumikan ajaran Islam dengan baik melalui media dasar negara yang telah disepakati itu. Artinya, sebuah negara dengan merek Islam tidak diperlukan lagi untuk Indonesia” (Ahmad Syafii Maarif, 2017).
Kritik Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa Buya Syafii sangat gamblang. Baginya, Pancasila telah menjadi bagian inheren dalam bangsa Indonesia. Pancasila merupakan perekat bangsa. Mengganti Pancasila berarti melumpuhkan sendi bangsa. Pancasila perlu menjadi laku bangsa sehingga kebangsaan menjadi kukuh dan padu. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana mewujudkan Pancasila dalam kata dan laku bangsa?
Peran Islam
Tokoh Bangsa yang lahir di Sumpur, Kudus, 31 Mei 1935 ini selalu menekankan peran penting umat Islam dalam memperbaiki ketimpangan kata dan laku. Mengapa umat Islam? Pasalnya, umat Islam penghuni terbesar Republik ini. Sekiranya negeri ini hancur, rusak pula umat Islam. Jika negeri ini makmur, sejahtera juga muslim Indonesia. Kebaikan dan kerusakan negeri ini, tergantung pada peran dan kontribusi umat Islam.
Maka, umat Islam perlu berkontribusi dalam proses kebangsaan dan kenegaraan. Umat Islam perlu menjadi penyokong tegaknya nilai Pancasila. Pembumian ajaran Islam menjadi sebuah keniscayaan. Umat Islam perlu memberikan masukan dan laku baik terkait dengan bagaimana mempraktikkan Pancasila dalam kehidupan. Misalnya, dalam mempraktikkan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila kelima selalu mendapat catatan penting saat jurnalis Suara Muhammadiyah ini saat membahas Pancasila. Keadilan perlu mewujud dalam keseharian umat Islam hari ini. Salah satu caranya ialah dengan mendermakan rizki yang ia dapatkan untuk kepentingan orang lain.
Berderma kepada yang membutuhkan, baik yang dekat maupun yang jauh. Berderma dengan harta menjadi perekat kemanusiaan. Berderma kepada Palestina, misalnya, menjadi nilai utama Pancasila dalam mewujudkan keadilan sosial tanpa penjajahan. Jadi, jika ada segelintir orang yang mempertanyakan sumbangsih umat Islam kepada Palestina, tampaknya ia perlu membaca lagi dengan cermat dan baik Pancasila.
Warga bangsa yang mengaku Pancasilais pun, tidak perlu gusar dengan derma itu. Bantuan warga negara Indonesia melalui berbagi lembaga menunjukkan dengan jelas bahwa Pancasila masih menjadi laku bangsa. Bangsa Indonesia mengutuk keras agresi Israel ke Palestina, ini merupakan komitmen antipenjajahan dan turut serta dalam perdamaian dunia sebagaimana falsafah bangsa. Apa yang terjadi di Palestina hari ini ialah penjajahan (Hajriyanto Y Thohari, 2021). Maka mengutuk, menyelamatkan dengan apa yang kita miliki menjadi kesatuan kata dan laku sesuai dengan nilai Pancasila.
Lebih lanjut, umat Islam perlu juga mendorong pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial dengan mengawal setiap produk perundang-undangan. Jika perlu umat Islam memasok anggota DPR sebanyak-banyaknya sehingga setiap UU dapat dikawal dengan baik. Berteriak di luar parlemen memang perlu, tapi masuk dan menjadi penentu kebijakan juga sangat penting.
Umat Islam perlu melek politik dan kuat secara ekonomi. Politik dan ekonomi menjadi jantung sebuah peradaban. Maka umat Islam perlu menjadi pemimpin di bidang ekonomi dan politik. Suara umat Islam perlu terus didengungkan. Umat Islam tidak boleh menjadi silent majority. Umat Islam perlu terus menyuarakan dan menjadi garda terdepan dalam proses keadilan sosial.
Umat Islam perlu berjuang (berjihad) untuk menjadi orang kaya. Maksudnya, menjadi umat yang dapat mengeluarkan zakat. Saat semua umat Islam dapat mengeluarkan zakat, kemiskinan dan ketimpangan sosial dapat teratasi. Inilah praktik baik umat Islam dalam mempraktikkan nilai Pancasila dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Pengingat diri
Oleh karena itu, sudah bukan zamannya jika umat Islam masih mendebat Pancasila dan atau membandingkannya dengan Alquran/sunah. Sudah selesai perbincangan tentang bentuk NKR di tangan para pendiri bangsa. Saatnya generasi terkini mengisi perbincangan Pancasila sebagaimana pesan salah satu pendekar Chicago “...dengan nilai-nilai kenabian yang sangat kaya dalam masalah moral, etika, dan sumber hukum, dan doktrin eskatologis yang tidak mungkin diberikan filsafat ciptaan manusia. Untuk keperluan masalah-masalah besar ini, Pancasila harus bersikap jujur dalam mengukur dirinya yang serbaterbatas dalam dinding keindonesiaan...” (Ahmad Syafii Maarif, 2015).
Pancasila bukanlah ideologi kosong tanpa makna. Pancasila terbuka terhadap makna agar nilainya terus hidup dalam jiwa anak bangsa. Dan umat Islam Indonesia perlu terpanggil dan berada di garda depan dalam proses ini. Umat Islam perlu meneruskan tradisi para pendahulu yang telah merumuskan Pancasila sejak kelahirannya.
Kata dan laku Pancasila perlu mewujud dalam keseharian warga bangsa Indonesia. Jika ada yang tidak sesuai dengan kata dan laku itu, semua perlu satu suara untuk mengingatkan dan menjadi pemantik diri agar dapat menjadikan Pancasila sebagai cita luhur dan mewujudkan dalam keseharian.
Pada akhirnya, selamat milad ke-86 Buya Syafii Maarif, panjang umur, senantiasa sehat, dan terus menginspirasi bangsa dan negara. Tak lupa selamat memperingati kelahiran Pancasila 1 Juni 2021. Semoga Pancasila bukan sekadar hiasan di dinding, melainkan menjadi amal perbuatan bagi seluruh rakyat Indonesia terutama para pemimpin bangsa.