Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
AKSI terorisme di Gereja Katedral Makassar, dan Mabes Polri menyingkap dua fakta sekaligus. Pertama, terorisme terkait pelaku utama, kelompok, dan jaringan. Kedua, terorisme juga merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin, dan ideologi yang dijadikan instrumen menyerang pihak yang dianggap musuh.
Oleh karena itu, penanggulangan terorisme mesti multisektoral. Mulai pendekatan hukum, hingga pendekatan lunak, seperti gerakan deradikalisasi dan moderasi beragama, yang berorientasi jangka panjang.
Mark Juergensmeyer dalam Terror in The Main of God (2003) menyitir terorisme selalu melibatkan komunitas dan jejaring organisasi cukup besar, guna menunjang keberhasilan aksi mereka. Aksi terorisme juga membutuhkan dukungan moral, ideologi, dan seperangkat doktrin untuk menjustifikasi aksi brutal. Tak heran, jika dalam praktiknya aksi terorisme cenderung dilakukan secara kolektif. Meski dalam beberapa kasus lain, terorisme dilakukan sendirian, tapi ia merepresentasikan kepentingan kelompok tertentu.
Dua pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar terindikasi berafiliasi dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang pernah melakukan pengeboman di Filipina. Begitu pun, dengan pelaku penembakan di Mabes Polri berhaluan ideologi ISIS. Jelas sekali, dua peristiwa tersebut bagian jaringan kelompok besar terorisme.
Dari segi ideologi dan keyakinan, terorisme identik dengan faham agama yang ekslusif. Merasa diri dan kelompoknya paling benar, serta menuding pihak lain kafir layak diperangi. Secara bersamaan, ada janji surga yang selalu menggelayuti dari setiap aksi teror yang mereka lakukan. Nyawa orang lain diobral murah, hanya demi seonggok surga. Jadi, pelaku terorisme sangat identik, bahkan beririsan dengan doktrin agama tertutup. Menyumbat ruang dialog dan mengamputasi ruang pluralisme kehidupan.
Publik tak bisa menutup mata, pelaku terorisme Makassar dan Mabes Polri beragama Islam. Setidaknya, mencantumkan Islam sebagai identitas agama. Dalam ‘surat wasiat’ yang ditinggalkan, jelas mereka melawan pemerintah dan antidemokrasi. Itu artinya, ada segelintir kelompok yang basis kognitifnya belum selesai dengan bangunan nation state karena pemahaman agama sempit dan puritan.
Kanal pencegahan
Selama ini, ada dua model pendekatan dalam menghadapi terorisme. Salah satunya, pendekatan keamanan (hard approach), yakni tindakan preventif dengan melakukan sejumlah gebrakan, menyisir, dan menangkap aktor yang dinilai berafiliasi dengan jaringan teroris. Hukum dan keamanan menjadi panglima. Namun, pendekatan semacam ini menuai resistensi dari masyarakat.
Karena itu, pemerintah juga melakukan deradikalisi sebagai pendekatan lebih lunak (soft approach) dengan upaya serius menghancurkan doktrin ekstrem yang kerap memandang negara dan orang lain berbeda mazhab sebagai thogut yang layak diperangi. Ini pekerjaan tak mudah karena melawan paham sesat. Paham yang melekat mendarah daging dengan keyakinan mereka selama hidup. Ini yang perlu diwaspadai. Butuh kerja jangka panjang yang tak instan. Gerakan deradikalisasi lebih kultural, bukan hukum apalagi politis.
Ke depan, pencegahan terkait aksi terorisme mesti lintas sektoral melalui ragam kanal. Selain pola yang sudah ada, salah satu terobosan baru dengan memblokir situs yang terindikasi ekstremis, yang dilakukan Kominfo layak diapresiasi. Ini ikhtiar menutup ruang virtual pelaku teror. Sebab, gerakan mereka terus bermetamorfosis, mengikuti selera zaman. Ada modifikasi doktrin dan rektrutmen calon pengantin bom bunuh diri.
Ibarat dunia mode, paham radikal ekstrem, yang menganjurkan teror kerap melahirkan manuver yang membuat siapa pun mudah terhasut. Pelaku teror pastinya mendisain model dogma baru yang beradaptasi dengan selera pasar. Apalagi, dalam situasi sosial ekonomi politik yang sedang goyah, disparitas ekonomi, serta kekaburan masalah agama, memudahkan teroris berselancar menawarkan ‘solusi’. Terbukti, yang menjadi korban propaganda ideologi ekstrem relatif pendatang baru dari kalangan muda dan perempuan.
Kelompok diam bersatu
Seluruh eksponen bangsa tak boleh lagi menganggap terorisme lelucon seperti cibiran publik selama ini. Terorisme nyata adanya. Dekat di mata dan menghancurkan sendi hidup kemanusiaan. Terorisme itu penjahat kemanusiaan. Karena itu, segala hal yang menjurus pada tindakan terorisme harus dilawan, terutama kelompok tertentu yang agresif mendakwahkan paham ekstrem yang kerap menghalalkan darah pihak yang berbeda dengan mereka.
Akar terorisme ialah doktrin yang melihat negara, pemerintah, demokrasi, pluralisme, dan segala atribut sekuler lain dianggap musuh yang layak dihancurkan. Menumpahkan darah sesama manusia dinilai satu-satunya jalan keselamatan menuju jalan surga. Selain bertabrakan dengan agama, doktrin semacam ini merusak sendi kemanusiaan yang mendasar.
Oleh sebab itu, kelompok diam yang mayoritas mesti bangkit, bersatu, melawan wabah ekstremis yang belakangan agresif menyerang ruang publik. Khaled Abou El Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005) tanpa henti menyeru mayoritas diam, yang didominasi kelompok moderat mengakhiri kebungkaman menghadapi kaum puritan. Di tengah perang klaim kebenaran, kelompok silent majority ini harus merebut kembali moral dan tradisi Islam yang dibajak kelompok puritan ekstremis. Kekerasan mereka harus dihentikan.
Selain menyelamatkan Islam dari cibiran agama yang dekat terorisme, moral dan tradisi Islam mesti dikembalikan pada wujud aslinya. Santun, beradab, berkemajuan, dan sesuai perkembangan zaman. Itulah orisinalitas doktrin Islam yang sesungguhnya. Penuh kelembutan bukan menebar kebencian dan teror merusak kemanusiaan.
Di Indonesia, mayoritas kelompok Islam bermazhab moderat. Namun, mereka kalah cepat dengan kaum puritan ekstrem yang sigap memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi. Ormas besar seperti NU, Muhammadiyah, Matlaul Anwar, Nahdatul Wathan, Alwasliyah, dan lainnya mesti lebih gesit dari mereka yang minoritas, tetapi aktif menganjurkan terorisme atas nama agama. Inilah jalan panjang yang mesti dilalui ke depan dalam jihad melawan terorisme.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved