Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Polemik Impor Beras

Lely Pelitasari Soebekty, Wakil Ketua Ombudsman RI Periode 2016-2021, mantan Direktur Perum Bulog
19/3/2021 06:10
Polemik Impor Beras
Lely Pelitasari Soebekty, Wakil Ketua Ombudsman RI, mantan Direktur Perum Bulog(MI/ROMMY PUJIANTO)

MENCERMATI rencana impor beras oleh pemerintah pada periode panen selalu menjadi polemik tak berkesudahan setiap tahun. Padahal, pemerintah sudah memiliki kebijakan yang baik sebagai mekanisme peringatan dini. Apa yang salah dan apa yang perlu diperbaiki?

Polemik impor seharusnya tidak perlu terjadi apabila pemerintah dapat konsisten menegakkan kebijakan impor berbasis indikator perlu atau tidaknya impor beras. Dulu kebijakan ini sering disederhanakan dengan istilah trigger impor. Tahun 2012-2015, kebijakan ini disepakati  untuk ditetapkan dalam Rakortas Kemenko Perekonomian pada minggu ke-2 Juli.

Ada tiga indikator yang menjadi trigger. Pertama, jumlah produksi atau kenaikan produksi gabah/beras berdasarkan data ARAM 1 yang dipublikasikan BPS pada minggu pertama Juli. Kedua, jumlah stok beras di Bulog dengan menghitung kebutuhan minimal 6 bulan jumlah penyaluran. Ketiga, harga beras medium di pasar, dengan standar 1,5 kali dari harga normal. Harga normal ialah harga rata-rata beras medium selama tiga bulan berturut-turut sebelum terjadinya lonjakan harga.

Dari tiga indikator tersebut, cukup terpenuhi dua indikator, maka pemerintah dapat memutuskan untuk impor. Secara politik instusional, ketiga indikator tersebut dinilai cukup merepresentasikan mata rantai dan pemangku kepentingan perberasan: Kementerian Pertanian, Bulog dan Kementerian Perdagangan.

Simulasinya kira-kira seperti ini: jika produksi gabah/beras memang bagus/naik, tapi Bulog tidak mampu menyerap sehingga stok rendah, maka harga beras akan tetap berada pada level normal atau cenderung turun karena suplai berlebih di pasar. Artinya, trigger 1 dan 3 tidak terpenuhi sehingga tidak perlu impor. Sebaliknya, walaupun Kementan menyatakan surplus, tetapi harga beras tercatat lebih dari 1,5 kali harga normal dan stok di Bulog juga tidak mencapai 6 bulan, itu berarti sinyal untuk pemerintah harus bersiap impor.

Jika kebijakan trigger impor tersebut tetap akan diberlakukan, saat ini jelas bukan waktu yang tepat untuk memutuskan impor. Panen masih akan berlangsung setidaknya hingga April. BPS memperkirakan potensi produksi Januari-April sebesar 25,37 juta ton GKG atau 14,54 juta ton setara beras.

Angka ini lebih tinggi 27% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020 sebesar 19,9 juta ton GKG atau 11,46 juta ton setara beras. Dengan asumsi kebutuhan beras 30 juta ton per tahun, dan 50% dipenuhi dari produksi dari musim tanam rendeng (Januari-April) ini, maka potensi produksi 14,5 juta merupakan angka yang cukup aman.   

Indikator kedua, yaitu stok beras. Stok beras di Bulog saat ini berjumlah sekitar 850 ribu ton. Dengan penyaluran rutin Bulog untuk kebutuhan operasi pasar/ketersedia­an stabilisasi pasokan dan harga (KSPH) sekitar 60-70 ribu ton per bulan, maka jumlah stok ini cukup untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 12 bulan.

Namun, jika didasarkan pada kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 2,5 juta ton beras per bulan (asumsi: konsumsi beras 111/kapita/tahun) atau rata-rata stok yang ada di Bulog saat masih menyalurkan Raskin, jumlah stok 850 ribu berada pada level yang cukup rendah sehingga dapat dipahami jika pemerintah terkesan panik dan bergegas mewacanakan impor. Namun, secara bersamaan juga memberi kesan pemerintah ambigu atau tidak memiliki informasi yang memadai.

Indikator ketiga harga beras medium. BPS mencatat harga beras pada awal Maret 2021 turun jika dibandingkan dengan Januari ataupun periode yang sama tahun 2020. Penurunan harga ini terjadi, baik pada beras medium maupun premium.

Pengusaha penggilingan padi ataupun pedagang beras juga mengeluhkan pasar yang cenderung lesu seiring dengan bertambahnya luasan panen dan produksi gabah, yang mendorong turunnya atau menahan kenaikan harga beras. Kondisi ini menunjukkan bahwa indikator ketiga dari trigger impor pun tidak terpenuhi.

Dari tiga indikator tersebut, tampaknya pemerintah hanya melihat stok beras di Bulog sebagai faktor penentu rencana impor.  Ini membuat Bulog seperti menghadapi dilema. Di satu sisi, Bulog dituntut untuk terus melakukan pembelian, baik dari dalam negeri maupun impor. Di sisi lain, kekhawatiran hasil pembelian tidak terjual/tersalurkan membuat Bulog menghadapi ancaman kerugian secara korporasi.

Sisi lain dari polemik ini ialah soal waktu/momentum. Kebijakan trigger impor diberlakukan dan diumumkan setiap Juli, juga sebagai upaya menjaga semangat berproduksi bagi para petani dan penyerapan gabah/beras dalam negeri oleh Bulog. Karena itu juga kemudian ada kesepakatan bahwa Januari sampai Maret ialah bulan haram untuk impor.

Sedemikian ketatnya komitmen ini, sampai pernah satu ketika Bulog harus meminta izin kepada Menteri Perdagangan dan Menko Perekonomian untuk membolehkan beras impor masuk pelabuhan pada awal Januari karena adanya keterlambatan muat di pelabuhan negara pengirim.  

Karena itu, soal momentum menjadi penting dalam komunikasi politik pemerintah terkait impor beras. Ini soal menjaga komitmen dan mengelola persepsi publik.

Harus diakui langkah pemerintah memublikasikan rencana impor pada situasi saat ini ialah contoh ketidakmampuan menjaga psikologi pasar karena dapat mendorong eskalasi harga beras di pasar dunia dan memunculkan spekulasi di pasar dalam negeri. Pemerintah tampaknya akan belajar banyak dari kejadian ini.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya