Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
ADA banyak makna kebudayaan. Ratusan bahkan ribuan lebih. Tentu satu sama lain alih-alih bertentangan, tapi saling melengkapi. Ada yang bilang kebudayaan adalah gambaran utuh dari hasil laku (R Linton), pengembangan dunia batin (Cicero), ikhtiar untuk lebih bijak (Mathhew Arnold), pertemuan dialektis arus intelektual, spiritual, dan estetik (Raymond Williams), pendewasaan berlandaskan makna yang bersifat universal (Kant), insting natural menuju pembentukan diri yang optimal (Nietzsche).
Clifford Geertz lebih berminat menelaah kebudayaan dari sisi tafsir yang melekat di tengah masyarakat bahwa kebudayaan sebagai urusan menafsir realitas, termasuk realitas alam batin rohaniah.
Filsuf Belanda Cornelis van Peursen memijakkan kebudayaan pada dua alas, spiritual dan material, fisik dan rohaniah. Ini juga kemungkinan besar yang menjadi alasan utama tempo hari Bung Karno menyodorkan sila dalam Pancasila pada sebuah frasa menarik di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945; Ketuhanan yang Berkebudayaan. Adapun empat sila sebelumnya ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, dan Kesejahteraan Sosial.
Ketuhanan melambangkan hal mistik sebagai gambaran dari yang spiritual. Kebudayaan mencerminkan pola-pola teknik. Kemajuan peradaban hampir dapat dipastikan terletak pada keterampilan memadukan antara keheningan mistik dan keterampilan mengelola teknik. Yang mistik-ketuhanan nilai-nilainya menjadi kompas agar yang teknik tidak kehilangan arah rohaniahnya.
Ketika yang mistik yang dominan, maka hanya akan menjadi negara (peradaban) yang kehilangan elan vitalnya. Sebaliknya, ketika yang teknik yang lebih kuat, maka hanya akan menghadirkan paras peradaban yang sekularistik, yang terus mengejar capaian kuantitatif, tapi kehilangan kedalaman kualitatif.
Bagi saya, Pancasila sebagai warisan leluhur para pendiri bangsa adalah sebuah falsafah mendasar, sebagai siasat bagaimana keindonesiaan itu tidak jatuh menjadi negara agama (mistik), tapi juga tidak sepenuhnya menjadi negara sekuler (teknik). Pancasila menjadi jalan tengah dari wajah suci ketuhanan sekaligus menjadi negara republikan yang dikelola dengan mengajukan argumentasi nalar kemanusiaan demi membangun ruang publik tempat hidup bersama yang beragam.
Pada sila pertama, Tuhan hadir, dan nilai-nilainya menjadi pandu untuk empat sila berikutnya. Yang ketika dipadatkan, maka keseluruhan sila itu akan tergumpal menjadi ekasila, yakni ‘gotong royong’. Gotong royong yang di belakangnya melekat etik imperatif: empatik, solidaritas, kohesivitas, kolaborasi, dan segenap tindakan yang menjurus pada upaya membangun semesta kemanusiaan yang berkesejahteraan (distribusi), pengakuan (kognisi), dan keterwakilan semua komponen masyarakat (representasi).
Etos mikraj
Tanggal 27 Rajab kita peringati sebagai momen penting dalam sejarah kenabian: Isra dan Mikraj Rasulullah SAW. Bagi saya, Isra Mikraj bukan hanya melambangkan ihwal gerak rohaniah yang kemudian membuahkan salat lima waktu. Peristiwa itu juga meretaskan jalan kebudayaan yang seharusnya kita teladani.
Kanjeng Nabi SAW melalui laku itu sesungguhnya hendak menerakan jalan keagamaan yang ditautkan dengan napas kebudayaan yang terbentang pada indeks geografis Mekah (Masjidil Haram) dan Jerusalem Palestina (Masjidil Aqsa), sekaligus juga lelaku itu kemudian dinaikkan lagi kualitasnya dengan kesediaan untuk melonjakkan muruah rohaniahnya dengan ‘terbang’ ke langit dalam peristiwa mikraj. Mikraj menghampiri Tuhannya di Sidratul Muntaha, berkomunikasi dan menjalin sebuah dialog menggetarkan.
Lebih mengagumkan lagi, Kanjeng Nabi tidak berhenti di Sidratul Muntaha, tapi kembali pulang ke bumi manusia. Proses kembali yang di dalamnya melekat tugas pokok membuktikan kebenaran langit dengan cara menerapkannya pada bentangan kemanusiaan. Kata Nabi, “Tebarkan damai kasih di bumi, engkau akan meraih kasih dari Langit.”
Sebuah kepulangan yang melambangkan tentang gerakan kebudayaan mengagumkan; membebaskan diri dari perbudakaan material (liberasi), menawarkan pencerahan yang dijangkarkan pada basis kesucian ilahiah (iluminasi), sekaligus menyorong sejarah pada arah perubahan sosial menuju terbentuknya tatanan kehidupan yang santun (transformasi). Bukan kepulangan yang tanpa makna, atau spiritualisme yang eskapis (melarikan diri), tapi betul-betul gerakan kesadaran.
Tentu saja, perjalanan mikraj bukanlah sesuatu yang gampang. Ada banyak hambatan sepanjang perjalanan yang harus dihadapi Nabi sebelum meraih kemenangan. Selepas hambatan itu ditaklukan, maka menuai apa yang dicita-citakan tinggal persoalan waktu.
Sebuah peringatan
Isra Mikraj menjadi penting diperingati walaupun sudah berulang kali, tidak lain dalam rangka mengaktifkan ingatan bahwa banyak hal yang membuat kita sering kali terpelanting pada dekadensi dan keterpurukan. Jangan-jangan, masalahnya karena absennya pesan moral Isra Mikraj terbumikan pada kehidupan. Isra Mikraj hanya sekadar epos, bukan etos.
Sebuah jalan kebudayaan yang mengingatkan saya pada perjalanan alegoris para burung ketika bermikraj menuju Gunung Qaf menghampiri Raja Burung yang bernama Simurgh, yang ditulis penyair sufi terkemuka yang lahir pada 1117 M di Naysapur, Iran, Fariduddin Attar, dalam kitab Manthiq ath-Thair (Musyawarah Burung).
Attar melukiskan, mikraj ke-30 burung mencapai Simurgh dalam sebuah ungkapan memukau (sebagaimana di terjemahkan Abdul Hadi WM):
‘Mereka saksikan kehadiran tanpa nama dan kata//jauh dari jangkauan indra, pikiran dan pemahaman biasa//apabila kilatan cahaya terpencar daripadanya//maka seratus dunia pun hangus terbakar dalam sekejap//seratus ribu bulan dan bintang malahan lebih//mereka saksikan penuh takjub//seperti zarrah mereka datang dan menari mengitari-Nya’.
Dari Isra Mikraj kita teguhkan trajek kebudayaan yang berporos pada kedalaman capaian rohaniah-kualitatif. Sekaligus gelora menggapai raihan prestasi jasmaniah-kuantitatif yang lebih baik lagi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved