Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Kota Bersahabat Air

Nirwono Joga | Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau Arsitek tata kota
11/2/2015 00:00
Kota Bersahabat Air
(MI/Tiyok)
HUJAN adalah anugerah. Ketika musim hujan, kota dan kita diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta untuk memanen dan menabung air guna persediaan air di musim kemarau.

Dalam rencana tata ruang kota sebenarnya sudah diatur ruang terbangun dan tidak terbangun (ruang terbuka hijau/RTH) sebagai penyeimbang alam. Perubahan peruntukan, terutama RTH, untuk ruangruang terbangun yang tidak terkendali dan penerapan sanksi hukum yang lemah telah membuat kota kehilangan banyak sekali daya serap air.

Konsep pembangunan kota juga masih berorientasi bagaimana membuang air secepat-cepatnya ke saluran air, ke sungai, terus ke laut, seperti meluruskan dan menanggul sungai yang berkelakkelok, membangun kanalisasi, membuat sodetan, dan memasang pompa-pompa raksasa. Sebaliknya, konsep ekodrainase mendorong bagaimana kota menampung air sebanyak-banyaknya untuk kemudian diserapkan sebesar-besarnya ke tanah sehingga tidak ada air (hujan) yang terbuang.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menyusun rencana induk saluran air (peta jaringan dan hierarki saluran air), memperbaiki seluruh saluran air (makro, meso, mikro), menertibkan seluruh bangunan liar di atas saluran air, serta penataan jaringan utilitas (pipa gas, air bersih, air limbah, kabel listrik, telepon, serat optik).

Normalisasi kali melebarkan 13 sungai dari 20 meter-30 meter menjadi 35 meter-50 meter dengan kedalaman dari 2 meter-3 meter ke 5 meter-7 meter, anak sungai 10 meter-15 meter (20 meter-30 meter) kedalaman 2 meter-3 meter (4 meter-5 meter), serta saluran pendukung 3 meter-5 meter (10 meter-15 meter) kedalaman 1 meter-1,5 meter (2 meter-3 meter).

Bentuk kelak-kelok alami sungai dikembalikan sehingga aliran air hujan melambat, meresap ke tepian bantaran sungai, menghidupi ekosistem habitat tepi sungai, serta memperbanyak sodetan ke daerah tangkapan air (waduk, situ, danau, telaga, empang) dan daerah resapan air (hutan rawa-rawa, hutan mangrove, hutan kota, aman kota, kebun raya). Lebar bantaran dari 5 meter-7 meter (15 meter-25 meter) sebagai jalur hijau menampung luberan air hujan, habitat satwa liar, menambah luas RTH, serta dilengkapi jalan inspeksi.

Sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Perda No 1/2012 tentang RTRW Jakarta 2030, pemerintah pusat dan pemerintah daerah Jabodetabek harus segera menata ulang waduk/situ.

Pemerintah merenovasi atau merekonstruksi tanggul dan dinding penahan tanah di sekeliling waduk/situ, serta memeriksa ulang secara keseluruhan dan berkala. Waduk/situ sebagai daerah tangkapan air dikeruk lebih dalam (5 meter-10 meter), dikelilingi jalur hijau sempadan waduk/situ selebar 100 meter-200 meter yang berfungsi menampung limpahan air waduk/situ, meredam banjir, dan habitat ekosistem tepian air, serta dilengkapi sejumlah titik saluran pembuangan air ke kolam penampungan dan sungai terdekat.

Pembangunan, penataan, dan pengelola an kawasan waduk/situ harus melibatkan partisipasi masyarakat, merumuskan arah dan strategi pengembangan waduk/situ ramah lingkungan, serta diikuti sosialisasi mengajak warga berpindah secara sukarela bergeser (bukan digusur) ke kawasan terpadu ramah lingkungan.

Pemerintah daerah harus mewujudkan ruang terbuka publik (hutan kota, taman kota, taman permakaman, lapangan olahraga, jalur hijau bantaran sungai, tepian waduk/situ, hutan mangrove) dan privat sebagai lahan konservasi air hujan dan pemanfaatannya sebagai pengendali banjir.

Ruang terbuka hijau (RTH) berfungsi sebagai tempat parkir air alami berupa daerah resapan air (taman, makam, hutan kota), daerah tangkapan air (embung, situ, danau, waduk, rawa), jalur hijau bantaran kali dan tepian badan air. Permukiman di bantaran kali, tepian waduk/situ, tepian rel KA, dan kolong jembatan layang secara bertahap direlokasi ke rusunawa dengan pendampingan program rekayasa sosial.Warga dididik membangun budaya baru hidup di hunian vertikal (rusunawa), memanfaatkan air dan listrik dengan bijak, mengolah sampah bersama, berbagi ruang publik.

RTH publik (taman kota, permakaman, hutan kota) dan RTH privat dioptimalkan sebagai tempat resapan dan kolam penampungan air (taman hujan). RTH publik tidak masalah jika tergenang, biarkan air hujan tertampung meresap alami karena fungsi RTH memang sebagai daerah resapan air. Jakarta harus menambah RTH dari 9,8% menjadi 30%.

Pemerintah harus melakukan audit bangunan dan lingkungan di kawasan perkantoran dan pusat perbelanjaan.Setiap kaveling wajib menyediakan koefi sien dasar hijau yang tidak boleh diperkeras (aspal, beton, paving), tetapi diperuntukkan taman hujan.

Pemerintah mendorong pembuatan sumur resapan air di pekarangan rumah dan pengelola gedung/kawasan membangun kolam penampung air di halaman sekolah, area parkir, dan taman lingkungan.

Ketika tata ruang menjadi tata uang dan RTH ditempati, dialihfungsikan, dan diokupasi manusia, bencana banjir ialah konsekuensi logis sebab-akibat.Jadi, bangunlah kota yang bersahabat dengan air.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya