Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BEBERAPA hari lagi, tahun 2020 akan berakhir. Sepanjang tahun 2020, tidak ada isu yang lebih marak sekaligus meresahkan kecuali pandemi covid-19. Dalam satu tahun penuh, pandemi menggerogoti semua aspek kehidupan. Sejak kluster pertama covid-19 dilaporkan di Wuhan-China tanggal 31 Desember 2019 hingga kini, virus covid-19 terus menyerang manusia tanpa pandang kebangsaan, gender dan status sosial. Hanya dalam kurun waktu satu tahun, penyakit ini telah menginfeksi 80 juta orang dan menyebabkan 1,8 juta kematian. Ini menjadi salah satu bencana kesehatan terbesar yang pernah terjadi di dunia.
Hingga kini, pandemi belum mereda. Hanya segelintir negara dapat mengontrol laju pandemi. Sisanya masih berjibaku. Maka relevan untuk bertanya, bagaimana kondisi pandemi covid-19 di tahun 2021?
Ekuilibrium multi-aspek
Magnitude pandemi dapat dinilai dari tingkat morbiditas dan mortalitasnya. Secara sederhana, kedua istilah ini diterjemahkan sebagai tingkat infeksi dan tingkat kematian. Dalam epidemiologi, terdapat beberapa parameter untuk menilai morbiditas dan mortalitas. Namun, untuk penyederhanaan pembahasan, parameter positive rate digunakan untuk menilai morbiditas dan case fatality rate untuk mortalitas.
Positive rate, menunjukkan jumlah orang terkonfirmasi positif dibanding jumlah orang yang diperiksa. Ini menggambarkan tingkat penyebaran penyakit. Semakin tinggi positive rate, semakin tinggi penyebaran penyakit.
Hingga kini, positive rate pada tingkat global masih tinggi. Hanya ada beberapa negara, seperti Australia, Korea Selatan, dan Uruguay yang mampu menekan positive rate-nya di bawah 1%. Sementara itu, negara lain berkutat dengan positive rate yang tinggi, yaitu 20-40%.
Indonesia sendiri, positive rate-nya 20,4%. Masih tinggi. WHO menegaskan bahwa pandemi dianggap terkontrol apabila positive rate dapat ditekan di bawah 5%. Bila mengikuti kriteria WHO ini, sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, belum mampu mengontrol pandemi ini.
Berbeda dengan positive rate, case fatality rate pada tingkat global telah menurun secara signifi kan. Case fatality rate menunjukkan jumlah orang yang meninggal dibanding jumlah orang yang terkonfi rmasi positif. Ini menggambarkan tingkat kefatalan penyakit. Semakin tinggi case fatality rate, semakin banyak
orang meninggal akibat penyakit ini.
Pada awal-awal pandemi, case fatality rate tingkat global berkisar 8-10%. Artinya, 8-10 dari 100 orang yang terkonfi rmasi positif meninggal. Bahkan, pada beberapa negara, case fatality rate-nya di atas 10%. Figur ini amat mengkhawatirkan. Namun kini, case fatality rate global berkisar 2,2%. Jauh lebih baik jika dibandingkan dengan di awal pandemi. Case fatality rate Indonesia saat ini berkisar 3%. Masih lebih tinggi daripada tingkat global.
Data di atas mengisyaratkan, pada tingkat global, berbagai penatalaksanaan yang dilakukan pada tahun 2020--yaitu pembatasan pergerakan, 3M dan 3T--telah berhasil menurunkan tingkat mortalitas, tetapi belum mampu menurunkan tingkat morbiditas pada level yang diharapkan
Tren ini, tampaknya akan berlanjut pada tahun 2021. Alasannya, penatalaksanaan pandemi tahun 2021 masih akan sama, atau bahkan lebih rendah kualitas dan kuantitasnya dibanding penatalaksanaan tahun 2020. Penyebabnya adalah pandemic fatigue. Masyarakat dan pemerintah berbagai negara mulai capek dan kedodoran dengan penatalaksanaan ini. Bukan hanya menguras tenaga dan waktu, tetapi juga merestriksi kehidupan sosial dan penghasilan. Karena itu, pada tahun 2021 mereka tetap akan mempraktikkan penatalaksanaan serupa, namun, dengan kualitas setengah hati, dan setengah jadi.
Tren pandemi di Indonesia tahun 2021, akan mengikuti tren dunia. Akan ada penurunan mortalitas dalam bentuk penurunan case fatality rate. Tetapi, tingkat
morbiditas atau positive rate masih akan tetap di atas target yang ditetapkan WHO, yaitu diatas 5%. Meski prediksi penurunan case fatality rate merupakan hal
menggembirakan, hal ini tidak bisa serta merta dijadikan justifikasi kesuksesan penanganan Covid-19 dalam negeri. Alasannya, penurunan serupa juga
terjadi pada tingkat global.
Indonesia, justru harus melakukan upaya lebih serius agar case fatality rate-nya bisa lebih rendah dari level global, dan positive rate-nya dapat mencapai nilai di bawah 5%. Selain itu, perlu upaya lebih serius untuk mencapai target-target WHO lainnya, seperti jumlah tes dan trace yang dilakukan, serta perbaikan pengobatan penderita.
Vaksin
Isu vaksin covid-19 akan menjadi tema sentral bidang kesehatan Indonesia tahun 2021. Pemerintah dan masyarakat akan sibuk dengan isu ini. Bahkan, isu ini akan menjadi kegiatan keroyokan berbagai kementerian dan institusi. Dua isu utama akan bersirkulasi, yaitu penyediaan vaksin yang cukup, dan penyeleggaraan vaksinasi yang efektif.
Baru-baru ini, Indonesia telah menerima 1,2 juta dosis vaksin Sinovac dalam bentuk jadi. Rencananya, bulan depan akan datang lagi sekitar 1,8 juta dosis vaksin bentuk jadi dan 45 juta dosis vaksin dalam bentuk bahan baku. Artinya, kalau semua ini benar terealisasi, tahun 2021 Indonesia sudah punya stok
vaksin 48 juta dosis. Cukup untuk memvaksinasi 20 juta-24 juta penduduk.
Masalahnya, dosis yang direncanakan ini baru cukup untuk mengover 7%-8% penduduk. Padahal untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity), diperlukan vaksinasi terhadap 70-80% penduduk atau 180-210 juta orang. Dengan jumlah ini, dibutuhkan sebanyak 360 juta-420 juta dosis vaksin. Darimana jumlah sebanyak ini akan diperoleh pemerintah?
Dalam SK Menkes tertanggal 3 Desember lalu, pemerintah telah menetapkan 6 jenis vaksin yang akan digunakan di Indonesia, yaitu vaksin Merah Putih (Biofarma), Astra-Zeneca, Pfi zer, Moderna, Sinopharm, dan Sinovac. Sayangnya, vaksin Merah Putih masih dalam fase preklinik dan belum dapat diproduksi hingga akhir tahun 2021. Jadi, belum bisa diharapkan berperan pada tahun 2021.
Sementara, untuk vaksin Pfizer dan Moderna, sekitar 90% target produksinya tahun 2021 telah dipesan dan diborong negara-negara maju, terutama Amerika,
Inggris, Kanada, Eropa, dan Jepang. Artinya, kesempatan untuk memperoleh kedua jenis vaksin ini amat kecil.
Vaksin Astra-Zeneca masih ada peluang; apalagi cara penyimpanan dan pendistribusian vaksin ini sesuai dengan kondisi dan fasilitas di Indonesia. Namun, vaksin ini juga telah dipesan dalam jumlah besar oleh banyak negara, termasuk India. Di India, vaksin ini segera mendapat emergency use authorization dalam beberapa hari mendatang. Harus dilakukan negosiasi intens jika ingin memperoleh vaksin jenis ini.
Pada akhirnya, vaksin Sinovac dan Sinopharm akan menjadi tumpuan. Namun, kedua vaksin ini juga telah dipesan dan bahkan digunakan diberbagai negara. Apalagi, setelah effi cacy-nya telah terkonfirmasi baru-baru ini. Artinya, vaksin ini makin tidak mudah diperoleh. Perburuan vaksin yang kompatibel bagi Indonesia akan mewarnai program pemerintah ditahun 2021, terutama pada semester awal.
Isu berikutnya adalah melaksanakan vaksinasi secara efektif dan efisien. Ini tantangannya banyak. Pertama, bila hanya menggunakan vaksin Sinovac, akan terdapat sejumlah besar populasi yang tidak terkover
Di antaranya adalah anak-anak, orang berusia 60 tahun ke atas, dan penderita penyakit atau komorbiditas tertentu. Padahal orangtua dan penderita komorbiditas merupakan kelompok risiko tinggi yang harus menjadi prioritas pemberian vaksin. Di negara lain, kelompok inilah yang pertama kali diberikan vaksin.
Kedua, masih tingginya tingkat penolakan vaksin. Sejumlah survei melaporkan, bahwa hanya sekitar 65% penduduk Indonesia siap divaksin. Sisanya tidak siap. Bahkan sekitar 8% menolak. Ini merupakan tantangan besar, karena akan mempengaruhi coverage vaksin, dan juga pencapaian herd immunity. Tahun 2021 pemerintah memiliki pekerjaan menuntaskan isu ini, bila ingin program vaksinasi berhasil. Dan, meyakinkan masyarakat akan manfaat dan keamanan vaksin baru bukanlah hal mudah.
New normal
Banyak berharap manusia dapat menjalani kehidupan normal kembali pada tahun 2021. Selain sudah exhaustive, mereka menaruh harapan besar vaksin
bisa memudahkan pencapaian ini. Dalam kenyataannya, tidak semudah itu. Covid-19 merupakan sebuah penyakit novel. Masih banyak hal terkait penyakit
ini yang belum dipahami secara jelas, bahkan oleh para ahli sekalipun.
Hingga kini, para ahli masih sering berbeda pendapat tentang etiologi, patogenesis, faktor risiko, pencegahan dan pengobatan penyakit ini. Fakta-fakta yang muncul masih sering berkonfl ik satu sama lain. Pada awal pandemi, covid-19 dianggap tidak menyebar lewat airborne; sekarang penyebaran airborne ini menjadi mungkin.
Awalnya, hydroxychloroquin dan plasma konvalens dianggap dapat menjadi terapi. Sekarang, hal ini dibantah. Intinya, masih banyak hal terkait covid-19 yang masih misterius. Karenanya, terlalu prematur menganggap bahwa kehidupan normal akan terjadi pada tahun 2021.
Pada tahun 2021, akan banyak ditemukan hal-hal baru terkait covid-19. Dalam bulan Desember ini saja, telah ditemukan paling tidak tiga jenis strain mutasi virus covid-19, yaitu B117, 501V2, dan 501Y. Jenis-jenis ini telah menyebar pada berbagai negara dengan potensi penyebaran infeksi yang lebih cepat. Meski dilaporkan tidak meningkatkan kefatalan langsung, peningkatan tingkat penyebaran akan meningkatkan penggunaan rumah sakit dan secara tidak langsung pada tingkat kematian. Hal baru lain, yang akan muncul berkaitan efektivitas, dan lama proteksi vaksin.
Saat ini, semua vaksin yang telah disetujui penggunaannya memiliki effi cacy level di atas 90%. Namun, saat vaksinasi diberikan di lapangan, bisa saja efektivitasnya berkurang karena pengaruh berbagai faktor. Hal lain berkaitan dengan lama proteksi vaksin. Ini belum diketahui hingga kini. Apakah efek proteksinya bertahan beberapa tahun, hanya setahun atau hanya beberapa bulan? Selain itu, para ahli juga masih akan mengamati efek jangka panjang vaksin.
Selama ini, efek yang dipelajari masih terbatas pada populasi puluhan ribu orang, dengan jangka waktu pengamatan beberapa bulan. Sedangkan efeknya, terhadap jutaan atau miliaran populasi, serta kemungkinan efek samping setelah setahun atau lebih masih belum diketahui. Semuanya masih akan diteliti para ahli. Banyak fakta-fakta atau hal-hal baru terkait covid-19 akan muncul dan mewarnai kehidupan pada tahun 2021. Intinya, bersiaplah menghadapi kejutan kejutan informasi
Di Indonesia, pemerintah menargetkan memvaksinasi 106 juta orang tahun 2021. Kalaupun target ini benar-benar tercapai, ambang herd immunity belum terpenuhi. Artinya, kekebalan kelompok belum terjadi. Kalau kekebalan kelompok belum terjadi, masyarakat belum bisa kembali menjalani kehidupan normal sebagaimana mestinya. Mereka tetap harus menerapkan 3M dan pemerintah masih harus terus menggalakkan 3T.
Alasan-alasan di atas menjadi justifi kasi bahwa tahun 2021 kehidupan normal seperti semula masih belum dapat terealisir, baik pada tingkat global maupun di Indonesia.
Harapan prematur
Penatalaksanaan covid-19 selama ini, jelas telah membuahkan sejumlah hasil positif, dan, vaksin akan menambah nilai positif ini. Terutama, dalam mengurangi tingkat penyebaran dan kematian covid-19. Meski demikian, terlalu prematur untuk menganggap semua akan kembali membaik, dan normal
pada tahun 2021.
Analisis di atas menunjukkan bahwa perkembangan pandemi tahun 2021 ditentukan oleh ekuilibrium faktor-faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukungnya meliputi pembatasan pergerakan (movement limitation), penerapan standard precautions (3M- 3T) yang konsisten, serta, ketersediaan vaksin. Adapun faktor penghambatnya ialah pandemic fatigue dan mutasi virus.
Selain itu, berbagai faktor lain, yang sifatnya kompleks dan novel, ikut bermain. Maka jadilah covid-19 ini menjadi sebuah multifaceted isue. Tidak mudah disimpulkan perjalanan dan akhirnya. Maka beralasan bila Direktur WHO Dr Tedros pernah mengingatkan, “Make no mistake: we have a long way to go. This virus will be with us for a long time.”
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved