Etika dan Hak Politik

Thomas Tokan Pureklolon Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta
20/11/2020 03:10
Etika dan Hak Politik
(Dok.Pribadi)

NILAI kebangsaan, dalam sebuah negara di setiap aktivitas netizen, selalu saja menyiratkan beberapa hal "favorit", yang dapat dijadikan sebagai anutan yang boleh jadi, bisa memengaruhi para penganutnya untuk taat dan terus setia.

Ketaatan dan kesetiaan dari para penganutnya, selalu saja juga menyiratkan sebuah nilai kebersamaan. Ia bersifat intrinsik kalau menyangkut hajat hidup orang banyak yang berkaitan langsung dengan hakikat dari kesetiaan dan ketaatan. Pada bagian ini, ketaatan dan kebersamaan berada dalam level sosial paling teratas. Bisa berpengaruh sangat luas, baik secara individual atau komunal dan tercakup di dalamnya. Inilah yang mungkin dinamakan nilai kebangsaan bersama atau nasionalisme.

Nilai kebangsaan pada level di atas, dapat dikatakan dengan cara lain dalam sebuah negara yang merangkul sebuah kebersamaan, yakni aspek pembangunan politik kebangsaan. Dengan demikian, terdapat sebuah benang merah yang bisa merajut dan menjadi milik bersama. Benang merah yang dimaksud ialah menghargai, menghormati, dan terus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dengan premis utamannya HAM yang menjadi hak dasar dan tujuan fundamental, optio fundamentalis, sekaligus supremasi perpolitikan negara.

HAM selalu saja bersifat inheren. Ia nyata dalam sebuah aktivitas bersama. Pun berada di sebuah realitas sosial yang hampir tak pernah absen terhadap problem sosial lainnya. Tentu hal ini selalu berurusan dengan kondisi sosial yang selalu kondusif, ramah, dan terus nyaman.

Dengan kata lain, pembangunan politik berjalan secara baik dalam pengertian sesuai dengan tujuan dasarnya, dan tak tak pernah otonom, tapi selalu mendapat pengaruh positif dari sebuah lingkungan yang damai, ramah, dan sejahtera. Argumentasi utamanya ialah seluruh netizen membentuk komunitas yang berpayungkan nasionalisme sebagai supremasi perpolikan negara.

Terhadap segala kedamaian, kenyamanan, dan kesejahteraan yang dialami dan dirasakan dalam realitas sosial politik yang bisa terus berkorelasi dan berkolaborasi dengan lingkungan sekitarnya, tetap diharapkan selalu berjalan tertib, kondusif, sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan yang terus mengikat dan terikat. Kemungkinan kedua sebagai afirmasi dalam aras ini adalah budaya yang dalam bahasa latinnya dinamakan cultura. Sebuah budaya yang bukan secara fisik menampak, tapi terus menjadi sebuah metode berpikir yang telah menyatu dengan urat nadinya kehidupan sebuah bangsa yang berasal dari netizennya.

Bapak HAM dunia, John Locke, dengan gigih mengargumentasikan dan menetapkan tiga potret utama yang ada secara inheren dalam diri dan kehidupan setiap manusia (Thomas Tokan Pureklolon: Negara Hukum Dalam Pemikiran Politik, 2020; 220-221). Ketiga hak-hak asasi itu adalah sebagai berikut. Pertama, hak hidup, yakni hak manusia yang langsung diberikan Tuhan sejak lahir. Sesuatu yang memiliki sifat secara kodrati yang tak dapat diganggu gugat.

Kedua, hak kebebasan, yakni kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintah yang memiliki kewenangan yang terbatas. Dalam konteks kebebasan ini, sebelum terbentuknya masyarakat dan pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama sekali, dan berkedudukan sama. Ketiga, hak kepemilikan, dengan argumentasi dasar yaitu setiap manusia di mana fungsi pemerintah secara langsung memelihara milik pribadi yakni perdamaian, keselamatan, dan kebaikan bersama (bonum commune) bagi setiap masyarakat.

 

Acuan

Afirmasi terhadap pemikiran John Locke, dapat menjadi anutan bersama seluruh warga dunia, dengan tekanan utamanya ialah menjadi acuan dalam pembangunan politik di dalam sebuah negara. Mengacu pada ketiga hak politik (HAM) di atas, setiap pribadi sebagai seorang individu bisa terus menjadikannya sebagai dasar pemikiran utama dalam upaya "sekuat tenaga", mewujudkan derap langkahnya pembangunan politik global yang mendunia, dan pembangunan politik di sebuah negara yang bersifat nasional.

Catatan utama dalam hal ini, baik pembangunan politik global yang mendunia atau pembangunan sebuah negara yang bersifat nasional, keduanya tentu saja bisa berjalan.

Mengapa? Kandungan utamanya ialah hak-hak politik yang menjelma utuh di dalamnya. Konsekuensinya, setiap netizen dalam sebuah negara terpanggil karena bergairah secara aktif di setiap kerja politik dalam pengertian luas. Dalam kerja politik di setiap pembangunan politik antara yang global dan yang nasional, selalu saja mesin penggerak utama yaitu SDM yang hadir menjadi premis mayornya akan terus berjalan lesat karena nilai utama yang menjadi esensi HAM tetap terus hadir sebagai rente politiknya dalam pengertian luas.

Kembali kepada pembangunan politik yang berbasis HAM, yang terus memperjuangkan hak-hak politik setiap pribadi. Premis mayor ini pun selalu taat dan terus setia pada mekanisme perpolitikan dunia baik secara global konvensional yang mengikuti tren perpolitikan dunia. Atau juga secara nasional mengafirmasi konsensus politik bersama yakni nasionalisme. Kedua hal ini tercakup secara inheren dalam dunia perpolitikan ketika menelisik derap langkahnya pembangunan politik.

Konsensus politik secara nasional dalam sebuah negara, dan percaturan politik global antarnegara. Dua premis mayor perpolitikan ini selalu saja menjadikan hak-hak politik (HAM) sebagai kompas, dan pedoman referensialnya. Kemungkinan berikut yang akan segera hadir ialah etika politik yang terus saja menjadi acuan penilaian setiap tindakan.

Etika politik inilah diharapkan menjadi kompas dan pedoman mengatasi setiap paradoks perpolitikan yang terjadi. Misalnya, demokrasi disebut kuat tapi lemah, berdaulat tapi tidak. Mengapa? Karena setiap saat negara selalu dikontrol oleh netizen nya.

Eksistensi etika politik dalam hal ini bisa menjadi sebab utama bagi setiap orang untuk saling mengajak dan selanjutnya bisa berperilaku dalam pembangunan politik negara yang tentu dibatasi dengan undang-undang atau regulasi yang bersifat nasional dalam pengertian yang sebenarnya.

Etika politik ini pula, tentu menjadi kunci pembuka problem perpolitikan yang berkedok suku, agama, ras dan antargolongan yang menghembuskan politik identitas. Etika politik dalam hal ini pun menjadi jalan untuk berekonsiliasi, sambil tetap mematuhi rule of law dalam sebuah negara.

Di sini pula, akan hadirlah harapan baru sebuah etika kebangsaan dalam sebuah negara yang bisa menjadi pemecah paradoksnya sebuah demokrasi yakni keikhlasan tanpa adanya kedok tertentu, dan teruslah memupuk kewibawaan yang bebas terhadap waspada. Inilah sebuah etika politik yang kapan pun hadir sebagai pemecah setiap problem dalam kehidupan sosial politik.

Pertanyaan kecil yang akan segera hadir menyapa kita, dan jawaban singkat yang terus menukik durjana kehidupan manusia, adalah seperti apa etika politik itu sesungguhnya hadir dalam paradoksnya pertikaian pembangunan politik? Terdapat sebuah jawaban tunggal yang luas nilainya dan terus menukik durjana kehidupan umat manusia sejagad adalah "Kasih". Kalau begitu, siap laksanakan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya