Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
BELAKANGAN, delapan hari berturut-turut tidak lagi ditemukan kasus baru penularan covid-19 di dalam Singapura. Itulah prestasi besar yang diraih 'Negeri Singa", dalam mengendalikan penyebaran covid-19. Kasus-kasus baru muncul dari pendatang, yang diperiksa ketika hendak memasuki Singapura, dan mereka yang dipastikan positif diharuskan menjalani karantina selama 14 hari.
Semua keberhasilan itu, tidak membuat pemerintah Singapura lengah dan kehilangan kewaspadaan. PM Lee Hsien Loong meminta seluruh warga tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan. Teknologi terus dikembangkan untuk memperbaiki sistem pengawasan. Terakhir, yang sedang dilakukan Singapura ialah menyempurnakan teknologi trace together, dan kemudian seluruh orang yang tinggal di Singapura akan diberikan alat monitor itu.
Pelajaran terpenting yang bisa dipetik dari Singapura, dalam mengendalikan penyebaran covid-19 ada dua. Pertama, bagaimana teknologi dipergunakan, mulai dari untuk memonitor isolasi mandiri, dari setiap warga yang berpotensi tinggi untuk terinfeksi, hingga pelacakan ketika seseorang positif terinfeksi. Kedua, konsisten dalam menerapkan peraturan, dan tidak mengenal kekecualian.
Rekan, seorang istri dubes Singapura yang kembali untuk menengok putrinya melahirkan, harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari, sama seperti semua orang yang baru datang ke Singapura. Petugas Badan Imigrasi dan Checkpoints (ICA) Singapura secara rutin mengecek keberadaan mereka yang sedang menjalani isolasi mandiri, baik dengan menemui langsung maupun dengan alat komunikasi.
Singapura, masih menetapkan negaranya berada pada fase kedua atau status oranye. Kegiatan sudah mulai dilonggarkan. Tetapi, tetap dalam pembatasan. Orang tidak diperbolehkan berkumpul lebih lima orang. Seseorang yang mengugah fotonya bertemu enam orang di media sosial, langsung diproses, dan restoran yang membiarkan orang bisa berkumpul sampai enam orang terancam dicabut izinnya.
Pandemi covid-19 tidak mungkin bisa berakhir, apabila semua orang tidak disiplin. Bahkan, dunia tidak pernah akan bisa aman apabila masih ada negara yang belum mampu mengendalikan penyebaran covid-19. Pertemuan para pemimpin dunia mulai APEC, KTT ASEAN, KTT Asia Timur, menekankan pentingnya kerja sama, di antara semua negara untuk menghadapi pandemi yang terjadi sekarang ini.
Tidak boleh ketinggalan
Indonesia, tidak boleh ketinggalan dalam pengendalian pandemi covid-19. Sudah lebih delapan bulan kita berjuang untuk bisa menghadapi penyakit yang membuat dunia lumpuh. Kasus yang terjadi di dunia tidak kunjung surut, tetapi justru malah semakin meningkat. Musim dingin yang terjadi di belahan utara dunia memunculkan gelombang kedua.
Kita harus mengatakan, kondisi yang kita alami di Indonesia juga belum stabil. Memang kasus aktif yang sempat meningkat di atas 20% di pertengahan September bisa kita turunkan di bawah 14% pada awal November. Sebaliknya, tingkat kesembuhan yang sempat berada pada kisaran 70% pada pertengahan September meningkat di atas 80% awal November.
Namun, sekarang ini kita merasakan kembali peningkatan kasus aktif. Liburan panjang dan kerumunan besar di Bandara Soekarno-Hatta, Tebet, dan acara pernikahan di Petamburan,--yang terjadi akhir pekan lalu--otomatis menciptakan penularan.
Sejak awal, yang dikhawatirkan ialah kelompok masyarakat yang asimptomatik atau orang tanpa gejala. Secara fisik mereka memang tidak menunjukkan gejala, tetapi di dalam tubuhnya ada covid-19. Kelompok masyarakat seperti itulah yang sering dikatakan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo sebagai "pembunuh potensial".
Apalagi, jika kelompok orang seperti itu tidak mau menerapkan protokol kesehatan. Mereka tidak mau menggunakan masker. Orang yang ditemuinya, juga tidak mau menggunakan masker. Ditambah, dengan jarak di antara mereka kurang dari 1,5 meter, l potensi untuk menjadi penularan bisa di atas 90%.
Peningkatan kembali kasus, memberikan beban berat kepada para dokter dan petugas medis. Mereka sudah bekerja di atas batas kemampuan dalam delapan bulan terakhir ini. Tanpa ada dukungan dari seluruh masyarakat untuk mau disiplin, menjalankan protokol kesehatan, maka dengan tenaga yang semakin menurun, semakin sulit bagi para dokter maupun petugas medis untuk bisa menjalankan tugasnya.
Sudah banyak dokter,dan petugas medis menjadi korban. Padahal jumlah dokter yang kita miliki tidak lebih dari 200 ribu orang. Jumlah dokter ahli paru yang paling dibutuhkan dalam penanganan covid-19 kurang dari 2.000 orang. Sementara, untuk menghasilkan seorang dokter spesialis setidaknya diperlukan waktu tidak kurang dari 10 tahun.
Konsistensi
Apabila kita ingin cepat keluar dari situasi pandemi covid-19, tidak ada jalan lain, kita harus konsisten menerapkan protokol kesehatan. Seperti halnya Singapura, mereka tidak mengenal kompromi dalam menegakkan aturan. Setiap orang yang keluar rumah tidak menggunakan masker otomatis didenda S$300. Mereka yang melanggar isolasi mandiri dikenakan denda S$10.000 atau hukuman enam bulan penjara. Bahkan, apabila pelanggarnya orang asing, pemerintah SIngapura tidak ragu untuk mendeportasi orang itu.
Semua itu bisa dilakukan karena warga ikut menjadi pengawas. Apabila ada orang yang melanggar protokol kesehatan, mereka akan melaporkan kepada pihak yang berwajib. Aparat hukum kemudian akan datang untuk menegakkan aturan.
Tentu, pengawasan dengan menggunakan tenaga manusia ada keterbatasannya. Oleh karena itu teknologi digunakan untuk bisa memonitor pergerakan orang. ICA mengembangkan teknologi yang bisa memantau pergerakan dari setiap orang yang baru masuk SIngapura.
Ada tiga alat yang diberikan kepada mereka yang harus menjalani stay home notice selama 14 hari. Satu adalah alat yang berbentuk jam tangan yang harus dipakai selama dalam pemantauan. Kedua, alat monitor yang selalu berhubungan dengan alat seperti jam tangan tadi, dan harus dimasukkan ke stop kontak di dalam kamar. Ketiga, orang yang baru masuk Singapura harus mengunduh aplikasi di telepon selulernya.
Apabila ketiga alat itu saling berdekatan, petugas ICA akan tahu bahwa orang itu menjalani isolasi mandiri dengan disiplin. Tetapi apabila ketiga alat itu berjauhan, petugas ICA akan langsung menghubungi orang yang sedang menjalani SHN. Bahkan petugas itu meminta menyalakan kamera di ponsel yang teregistasi, untuk meyakinkan bahwa orang itu ada di tempat menjalani SHN.
Pada hari ke-10 SHN, orang yang baru datang itu diminta melakukan tes polymerase chain reaction (PCR). Kalau beberapa hari kemudian hasilnya negatif, pihak ICA memberitahukan orang itu untuk bisa menjalani kegiatan normal pada hari ke-14. Namun, tetap menjalankan protokol kesehatan. Apabila hasil pemeriksaannya positif, orang itu akan dimasukkan karantina yang disediakan pemerintah untuk diawasi lagi selama 14 hari.
Dengan pengawasan isolasi mandiri yang ketat, Singapura bisa lebih yakin kepada orang-orang yang tinggal di negara itu. Buktinya, delapan hari tidak ada kasus penularan baru di antara warga Singapura. Selanjutnya, tinggal menjaga bagaimana jika terjadi kasus.
Teknologi untuk pelacakan terus disempurnakan. Setidaknya ada dua teknologi yang sudah dikembangkan yakni trace together, dan blue pass. Teknologi ini menyimpan data kontak setiap orang.
Apabila ada seseorang dinyatakan positif, semua orang yang pernah berdekatan lebih dari 30 menit, akan diminta melakukan testing. Dengan teknologi ini, testing bisa dilakukan agresif, tetapi tepat sararan sehingga tidak menghamburkan biaya.
Berbeda dengan di Indonesia, di Singapura orang tidak mudah untuk melakukan tes PCR apabila tidak ada kepentingan khusus. Bahkan, jumlah klinik yang bisa melakukan tes PCR terbatas jumlahnya. Biaya untuk melakukan tes PCR di Singapura memang tidak murah yakni Sin$ 186.
Untuk mendapatkan ketenangan, dan kenyamanan di masa pandemi covid-19 memang bukan perkara mudah. Harus ada upaya bersama, apabila kita ingin aman dari ancaman covid-19. Yang terpenting, adalah memanfaatkan teknologi untuk pengawasan bersama, dan konsistensi dalam menegakkan aturan. Salus populi suprema lex, keselamatan manusia merupakan hukum yang tertinggi. Kita jangan pernah ragu untuk menghukum siapa pun yang membahayakan nyawa orang lain.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved