Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Haruskah Buruh Menolak UU Cipta Kerja?

Zenwen Pador, Advokat, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI)
14/10/2020 20:05
Haruskah Buruh Menolak UU Cipta Kerja?
Zenwen Pador(Dok.pribadi)

BURUH dari berbagai serikat pekerja menggelar unjuk rasa di banyak kota dan daerah di Indonesia sebagai wujud penolakan atas disetujuinya RUU Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Salah satu organisasi pekerja yang menolak dan memotori aksi unjuk rasa di beberapa daerah adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). 

Setidaknya ada 7 (tujuh) alasan penolakan KSPI, antara lain RUU Cipta Kerja dinilai menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan outsourcing  (alih daya) yang tidak ada batas waktu (seumur hidup). Alasan berikutnya adalah pengaturan jam kerja yang eksploitatif atau tanpa batas, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti, serta terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup. Benarkah UU Cipta Kerja sangat merugikan buruh dan sebaliknya sangat menguntungkan pengusaha? 

Pekerja kontrak

UU Cipta Kerja memang mengubah aturan mengenai pekerja kontrak. Dalam Perubahan Pasal 59 UU No. 13 tahun 2003 diatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Kriterianya adalah pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, bersifat musiman, berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan atau pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

Namun, pasal ini menegaskan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bila tidak memenuhi ketentuan kriteria tersebut, demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau pekerja tetap. 

Perubahan norma lebih mengedepankan kepada syarat PKWT, bukan kepada jangka waktu yang sebelumnya maksimal 2 tahun dan boleh diperpanjang selama 1 tahun, sebagaimana  dicantumkan  pasal lama. Dalam UU Cipta Kerja untuk jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Artinya ada pemahaman bahwa tidak selalu pekerjaan yang termasuk kriteria PKWT itu maksimal harus selesai dalam jangka waktu 3 tahun sebagaimana dibatasi dalam UU No. 13 tahun 2003. Bisa jadi syarat-syarat pekerjaan dimaksud penyelesaiannya lebih dari dari 3 (tiga) tahun atau malah bisa juga lebih cepat, sehingga akan lebih fleksibel kalau diatur dengan peraturan pemerintah. 

Namun demikian UU Cipta Kerja menambahkan aturan baru bagi PKWT. Aturan itu ialah kewajiban membayar konpensasi bagi pengusaha sesuai masa kerja sebagaimana dimuat dalam aturan baru yaitu Pasal 61A, yang menegaskan dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerjanya.

Pekerja alih daya 
Dalam perubahan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja mengatur hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh, yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. 

Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada. Selanjutnya UU Cipta Kerja juga menegaskan bahwa perusahaan alih daya berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.

Bila dicermati, dalam UU Cipta Kerja, pekerja alih daya wajib mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan alih daya bukan dengan perusahaan pemakai tenaga kerja, baik PKWT maupun PKWTT. Bila perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

Sebelumnya pekerja alih daya memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja dan biasanya PKWT bukan dengan dengan perusahaan alih daya. Dengan demikian UU Cipta Kerja lebih mempertegas posisi hukum pekerja alih daya. Kalaupun misalnya kontraknya dengan perusahaan alih daya adalah PKWT maka pekerja berhak atas konpensasi sesuai masa kerja ketika kontrak berakhir.

Upah minimum
Terkait upah UU Cipta Kerja menambahkah pasal baru antara pasal 88 dan pasal 89 yaitu pasal 88A – 88 E. Pasal baru ini mengatur antara lain tentang upah minimum provinsi (UMP) yang wajib ditetapkan oleh gubernur. Sedangkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dapat ditetapkan juga untuk setiap kabupaten/kota. UMK harus lebih tinggi dari UMP.

Namun memang upah minimun berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota ditiadakan. Faktanya selama ini juga Upah sektor ini jarang diterapkan. Namun demikian ketentuan upah minimum tidak berlaku bagi usaha menengah dan kecil, upah dibuat berdasarkan kesepakatan pengusaha dengan pekerja.

Terkait upah ini UU Cipta Kerja menambahkah pasal  90B yang menegaskan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditangguhkan oleh pengusaha. sebelumnya UU No. 13 tahun 2003 membolehkan penangguhan pembayaran upah. Selanjutnya menurut pasal 92A Upah dapat ditinjau secara berkala memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas pekerja. Juga UU Cipta Kerja menghilangkan ketentuan denda bagi pekerja dan pengusaha. Namun dalam hal pailit tetap pesangon pekerja menjadi prioritas pembayaran, sebagaimana diatur dalam perubahan pasal 95 UU Ketenagakerjaan. 

Selain itu UU Cipta Kerja menghapus ketentuan daluarsa. Sebelumnya pasal 96 mengatur bahwa tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi daluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Pasal ini dihapus yang sudah tentu menguntungkan pekerja tidak kehilangan hak untuk tetap mengajukan tuntutan kepada pengusaha.

Dengan demikian secara umum menurut saya, UU Cipta Kerja justru lebih banyak yang memberikan kepastian dan keberpihakan kepada pekerja dan sektor usaha kecil menengah. Kalaupun ada beberapa pengurangan hak seperti jam istirahat nampaknya itu adalah kompromi dan sebagai hasil evaluasi atas praktek kerja yang telah berlangsung selama ini. 

Kalaupun serikat pekerja tetap mau melancarkan demonstrasi besar-besaran, langkah tersebut seharusnya tetap dilaksanakan dalam koridor hukum yang ada. Langkah yang lebih tepat seharusnya uji materil ke Mahkamah Konstitusi. Pada akhirnya kita berharap ada saling pemahaman antara pihak pekerja dan pengusaha serta pemerintah sebagai regulator mampu mengambil langkah win-win solution bagi kepentingan kedua belah pihak. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya