Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Gerhana dan Memori Kolektif Bangsa

Unggul Sudrajat Peneliti Sejarah dan Budaya Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan,Balitbang,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
08/3/2016 06:00
Gerhana dan Memori Kolektif Bangsa
(MI/TIYOK)

ALKISAH, pada suatu hari pemimpin tertinggi kayangan, Batara Guru dan istrinya Batari Uma, sedang bercengkerama di atas samudra.

Melihat kecantikan istrinya, Batara Guru tersulut berahinya.

Namun, ajakan tersebut ditolak halus oleh Batari Uma.

Batara Guru yang telanjur tersulut berahinya bahkan sampai mengeluarkan air maninya.

Air mani milik Batara Guru tersebut lantas jatuh ke dasar samudra, menggumpal, terus membesar, dan perlahan berubah menjadi makhluk raksasa bertaring mengerikan yang merusak segala apa yang di depannya.

Makhluk raksasa tersebut lantas membuat gonjang-ganjing di kayangan.

Bangunan para dewa dirusak, kayangan porak-poranda.

Banyak dewa yang mencoba menghancurkan raksasa tersebut, tapi semuanya gagal.

Mereka beramai-ramai meminta bantuan Batara Guru untuk mengalahkan makhluk tersebut.

Batara Guru kemudian melawan raksasa tersebut dan pada suatu kesempatan berhasil mematahkan kedua taringnya yang merupakan sumber kesaktiannya.

Raksasa yang telah dipotong taringnya tersebut lantas diminta turun ke dunia dan diberi nama Batara Kala.

Taring yang sudah dipatahkan tersebut lantas dibawa Batara Guru dan dibuat menjadi dua keris lurus yang masing-masing berdhapur Kala Nadah dan Kala Dete.

Kedua keris tersebut nantinya menjadi pusaka senapati perang Pandawa dan Kurawa, Arjuna dan Adipati Karna.

Arjuna dianugerahi dewa untuk memegang Keris Kiai Kala Nadah, sedangkan Adipati Karna memegang Keris Kiai Kala Dete.

Kedua keris tersebut memiliki kesaktiannya masing-masing.

Keris Kiai Kala Dete milik Adipati Karna diceritakan memiliki kelebihan dapat mengeluarkan suara yang amat mirip suara pemiliknya.

Suara keris itu terdengar beberapa saat setelah senapati Astina tersebut gugur dalam perang melawan Arjuna.

Kisah itu diceritakan dalam lakon Karna Tandhing yang merupakan bagian dari kisah Baratayuda (Haryono Haryoguritno, 2005: 16).

Kisah tentang Batara Kala masih berlanjut. Pada suatu hari, Batara Guru mengadakan pertemuan di kayangan dengan mengundang seluruh dewa.

Para dewa yang hadir akan mendapatkan Tirta Amertasari, Air Keabadian.

Konon, siapa pun yang meminum air tersebut, entah ia dewa atau manusia akan dapat hidup abadi selamanya.

Batara Kala yang mengetahui hal tersebut lantas menyamar dan terbang ke kayangan.

Namun, malang bagi Batara Kala, Batara Surya (Dewa Matahari), dan Batara Candra (Dewa Bulan) mengetahui penyamaran Batara Kala dan kemudian melaporkannya kepada Batara Guru.

Mendapat laporan tersebut, Batara Guru murka lalu memerintahkan Batara Wisnu untuk membunuh Batara Kala.

Batara Wisnu dengan sigap segera meraih senjata cakra dan melepaskannya ke Batara Kala.

Saat Batara Kala sedang minum air Tirta Amertasari tersebut, senjata cakra tersebut berhasil mengenai leher Batara Kala yang membuatnya terpenggal dari tubuhnya.

Bagian kepalanya yang terpenggal melayang di angkasa dan tetap hidup abadi karena telanjur minum air Tirta Amertasari sampai kerongkongan, sedangkan bagian tubuhnya yang lain jatuh ke bumi dan berubah menjadi lesung.

Karena Batara Candra dan Batara Surya telah melaporkan penyamarannya, Batara Kala di setiap kesempatan selalu berusaha untuk membalas dendam kepada Batara Surya dan Batara Candra dengan berusaha memakan bulan dan matahari.

Untuk membantu Batara Surya dan Batara Candra, Batara Wisnu memerintahkan kepada penduduk di bumi memukul lesung sebagai pertanda datangnya Batara Kala.

Dengan adanya peringatan dari penduduk bumi tersebut, Batara Surya dan Batara Candra selalu dapat terbebas dari serangan Batara Kala.

Menjajal pariwisata gerhana
Mitologi rakyat ihwal mengenai peristiwa gerhana ini hingga kini terus tumbuh di kalangan masyarakat, khususnya di perdesaan Jawa.

Kisahnya selain diwariskan melalui tradisi tutur, juga jamak dimainkan dalam berbagai pertunjukan rakyat tradisional semisal Gejog Lesung dan wayang kulit.

Apabila diperhatikan secara saksama, mitos terjadinya gerhana tidak hanya ada di Jawa saja, tetapi juga menyebar rata di setiap penjuru Nusantara ini.

Berbagai cerita rakyat tersebut menjadi identitas kultural yang seyogianya dapat dimanfaatkan dan ditransformasikan agar kontekstual dengan perkembangan zaman.

Gerhana matahari total (GMT) pada 9 maret 2016 diprediksi akan melintasi 12 provinsi di Indonesia, seperti Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Sumatra Barat.

Wilayah yang dilintasi GMT ini diharapkan akan mendapat manfaat besar dari momen langka ini.

Melalui penyelenggaraan berbagai event wisata, Kementerian Pariwisata bahkan telah mematok target lima juta wisatawan domestik dan seratus ribu wisatawan mancanegara.

Target wisatawan tersebut tentu tidak mudah dicapai.

Untuk itu, perlu strategi guna mencapainya, salah satunya membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk berwisata gerhana.

Membangun kesadaran kolektif
Upaya membangun kesadaran kolektif masyarakat selain melalui berbagai promosi dan iklan, juga dapat dilakukan dengan menggandeng pelaku dan komunitas budaya untuk membuat program edukasi wisata berbasis budaya.

Untuk itu, dalam wisata gerhana yang digelar, selain menyuguhkan atraksi budaya, juga wajib memberikan informasi lengkap mengenai gerhana, baik dari sudut pandang ilmiah maupun mitologi yang melingkupinya.

Mitologi gerhana ini justru yang akan menjadi nilai tambah, roh utama dari gelaran yang disajikan.

Upaya ini diharapkan semakin meneguhkan mitologi nusantara sebagai identitas kultural bangsa yang perlu terus lestari keberadaannya sehingga wisata gerhana tidak hanya menjual fenomena alam semata, tetapi juga sebagai gerakan bersama melestarikan tradisi dan memori kolektif bangsa.

Dengan demikian, akan terbangun kesadaran kolektif masyarakat dalam memaknai gerhana sebagai peristiwa kultural.

Kesadaran ini jualah yang akan memandu mereka untuk datang dan mengikuti berbagai rangkaian ritus dan gelaran wisata yang disuguhkan.

Bila ini dipenuhi, niat baik negara untuk menghadirkan berbagai manfaat dari wisata gerhana ini bukan sekadar impian semata.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya