Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Guru dan Literasi Emosi

Fuad Fachruddin, Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
15/6/2020 06:15
Guru dan Literasi Emosi
Fuad Fachruddin, Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma.(DOK. PRIBADI)

“Few children come to school physically malnourished in the affluent world, but many children come to school malnourished in their hearts.” (Sherwood: 2008)

PERISTIWA pemukulan seorang siswa sekolah dasar di wilayah Kebon Manggis, Jakarta Timur, oleh gurunya, hingga korban mengalami luka lebam di mata kanan menjadi perhatian media massa nasional beberapa saat yang lalu.

Diawali permintaan guru kepada sejumlah siswa yang sedang bermain sepak bola di halaman sekolah untuk segera masuk ke ruang kelas.

Namun, perintah tersebut tidak digubris sehingga membuat guru lepas kontrol dan memukul korban tanpa menanyakannya terlebih dahulu apakah murid tersebut turut bermain sepak bola atau tidak. Kejadian ini telah diselesaikan secara kekeluargaan antara pelaku dan korban. Pihak sekolah juga telah menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat dan keluarga korban atas kejadian ini.

Peristiwa di atas dapat dilihat paling tidak dari dua jenis kajian, yaitu kajian kekerasan di sekolah dan literasi emosi. Tulisan ini akan difokuskan pada literasi emosi, yakni terjadinya tindak kekerasan di sekolah dapat disebabkan literasi emosi.

Kita acap kali mendengar domain dalam pembelajaran, yaitu domain kognitif dan domain afektif atau emosi, keduanya saling beririsan.

Namun, domain afeksi atau emosi terkesan agak terabaikan dalam perbincangan serius dan mungkin praktik pembelajaran di kelas sehingga memunculkan literasi emosi. Kemungkinan lain ialah kita masih terlalu disibukkan dengan menjamin keberhasilan domain kognitif yang dilihat dari, misalnya, hasil tes PISA/ TIMSS.

Kognitif dan afektif

Kajian literatur terhadap domain emosi dalam pendidikan menunjukkan beberapa faktor, antara lain pertama, penerapan konsep pendidikan dalam kelas lebih kuat diwujudkan dalam konteks subjek akademik dengan titik tekan pada cognitive learning, yaitu bagaimana siswa lulus ujian. Praktik pedagogi seperti ini lebih kuat difokuskan pada penguasaan pengetahuan, spesialisasi, dan stratifikasi. Dengan kata lain pengetahuan menjadi tujuan akhir (Mathews: 2006).

Dalam belajar mengajar, domain kognitif dipandang secara kuat sebagai hal yang paling pokok untuk meraih kesuksesan pascaseseorang menyelesaikan studi, sedangkan domain afeksi tidak atau belum dinilai seperti domain kognitif. Dengan anggapan— bahkan menjadi norma— semacam ini, anak didorong/dipaksa untuk melakukan banyak kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan domain kognitif (Sherwood: 2008).

Kedua, orangtua siswa cenderung mengabaikan dimensi afeksi (literasi emosi) dalam melihat pendidikan.

Orangtua cenderung tidak merespons hal-hal berkaitan dengan emosi karena untuk menangani emosi diperlukan keterampilan emosi (emotional skills) yang belum tentu mereka memiliki.

Padahal, problem emosi dapat memicu problem perilaku di sekolah.

Misalnya, beberapa contoh perilaku yang berpotensi mengganggu situasi belajar, seperti siswa atau anak marah, merasa takut atau takut gagal atau tidak percaya diri, juga situasi di rumah, misalnya anak mengalami persoalan dalam keluarga, seperti breakdown atau menggunakan sebagian besar waktunya untuk nonton TV yang pada akhirnya akan memberi kontribusi terhadap efektivitas belajar (Killick: 2006).

Ketiga, tidak adanya cara yang secara intrinsik efektif dan autentik dapat menyuplai dan memenuhi kebutuhan emosi.

Hal ini menimbulkan kevakuman yang terjadi lantaran kegagalan masyarakat modern memberikan pendidikan dasar/pokok (core education) terkait dengan nilai-nilai yang memberi makna pada diri anak (Sherwood: 2008).

Defisit sosial dan emosi dapat memberi kontribusi terhadap tindakan yang merusak diri seseorang atau orang lain seperti heroin (Wallace: 1998)

Literasi emosi

Literasi emosi, menurut Matthews yang mengutip Claude Steiner (1997), merupakan kemampuan memahami emosi diri sendiri, kemampuan mendengar dan berempati terhadap emosi orang lain, serta kemampuan mengungkap emosi secara produktif.

Seseorang disebut melek emosi apabila ia mampu menangani emosi dengan suatu cara yang dapat memperbaiki kekuatan diri (personal power) dan memperbaiki kualitas kehidupan di sekitarnya.
Literasi emosi dapat memperbaiki relasi dan menciptakan kasih sayang antarorang dan bekerja sama serta memfasilitasi penumbuhan perasaan saudara sebagai suatu komunitas (feeling of community).

Dalam literasi emosi terdapat lima pilar atau skill yang dikembangkan, yaitu (i) memahami perasaan sendiri, (ii) memiliki rasa empati, (iii) belajar mengelola emosi, (iv) memperbaiki kerusakan emosi, dan (v) menerapkan keempatnya dalam rumusan interaktivitas emosi (Matthews: 2006).

Literasi emosi merupakan kemampuan memahami diri dan orang lain, menyadari dan memahami serta menggunakan keadaan emosi diri sendiri dan emosi orang lain secara baik.

Termasuk kemampuan memahami, mengungkap, dan mengelola emosi sendiri, dan merespons emosi orang lain dengan cara yang dapat membantu dirinya dan orang lain (Mathews: 2006).

Dalam dunia sekolah, literasi emosi dicerminkan dalam jenis kegiatan dan tujuan yang diperlukan sekolah dengan titik tekan pada relasi interpersonal yang dicirikan dengan dialog antara murid dan murid, juga murid dan guru (Mathews: 2006).

Literasi emosi memberikan latihan nonverbal dan artistik yang memberi murid alat dan bahasa yang digunakan untuk menggali dan mengelola perasaan mereka.

Murid belajar mengidentifikasi emosi dasar dari masa anak-anak, seperti marah, takut, sedih, serta takut kehilangan dan kesunyian dalam dirinya.

Mereka memperoleh alat untuk mengelola emosi dan mentransformasi jenis-jenis emosi tersebut ke dalam suasana damai, aman/selamat, menyenangkan dan bersahabat melalui latihan ekspresi dalam suara, warna, gerakan, gestur dan berempati (Sherwood: 2008; Kucuktepe, Akbag, Ozmercan: 2017). Juga murid belajar manangani ketidaksepakatan, penuh perhatian kepada orang lain dan berinteraksi (Bump: 1995).

Guru perlu memahami  

Kajian literasi emosi dalam konteks dunia persekolahan dalam konteks Indonesia belum banyak diungkap.

Seperti halnya tulisan sebelumnya tentang Pedagogi dan Emosi, literasi emosi bagi guru/pendidik penting karena pertama, literasi emosi mempunyai dampak terhadap pencegahan drop out di kalangan murid.

Kedua, keterampilan literasi emosi, yaitu (i) memahami/menyadari perasaan sendiri, (ii) mengembangkan empati, (iii) mengelola emosi, (iv) merestorasi kerusakan emosi, dan (v) mengembangkan interaksi emosional (Kucuktepe, Akbag, Ozmercan: 2017), dapat berpengaruh positif terhadap kemampuan akademik seorang murid, persahabatan, kesehatan mental, keterampilan sosial, dan membentuk konsep diri, sikap yang baik terhadap sekolah.   

Literasi emosi merupakan faktor yang signifikan untuk membangun dan mempertahankan komunikasi interpersonal secara sehat.

Seperti halnya pedagogi, ia merupakan domain yang memberi kontribusi secara positif terhadap pencapaian atau hasil belajar dan pengembangan diri. Wallahualam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik