Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Kebebasan dan Kemerdekaan Peserta Didik

Ade Mulyono, Pemerhati Pendidikan
15/6/2020 06:00
Kebebasan dan Kemerdekaan Peserta Didik
Ilustrasi(MI/DUTA)

DONGENG Little Prince dibuka dengan cerita anak kecil yang menggambar ular boa sedang menyantap gajah. Lalu, si anak menunjukkan hasil menggambarnya kepada orang dewasa. Namun, bukan pujian yang didapat, melain­kan olok-olok sebelum disuruh berhenti menggambar dan menyuruh si anak untuk belajar mata pelajaran lainnya.

Barangkali pangeran kecil dalam dongeng Antoine de Saint-Exupery itu akan berujar dalam hati, “Orang dewasa selain aneh juga susah dimengerti.” Tentu ular memakan gajah tidak logis, tetapi bukan kelogisan dan nilai estetika yang diburu si anak, melainkan kebahagiaan.

Kisah Little Prince hanyalah satu dari banyak cerita tentang pendidikan yang meringkus kebebasan peserta didik dan membatalkan eksistensi kemerdekaan dirinya, dan orang dewasa hanya menganggukan kepala seakan-akan mengerti bahwa begitulah praksis pendidikan. Tentu dengan mengira bahwa demikianlah menyiapkan masa depan bagi peserta didik. Menyuntikkan ketakutan terhadap peserta didik dengan aturan norma dan agama ialah salah satunya. Para orangtua ingin agar anak-anaknya patuh, mengangguk, dan membungkuk supaya fit and proper dengan peradaban yang tolok ukur keberhasilannya ialah materiil.

Summerhill School

Betapa sekolah dari dulu gemar memaksa peserta didik untuk mematuhi aturan yang dibuatnya, tecermin dalam ungkapan masyhur Rabindranath Tagore (1924), “Ketika aku masih sangat belia aku berhenti belajar dan lari dari pelajaranku. Langkah itu telah menyelamatkanku, dan aku mendapatkan semua apa yang kuperoleh kini berkat langkah yang berani itu. Aku melarikan diri dari kelas-kelas yang mengajar, tapi yang tidak mengilhamiku, dan aku memperoleh kepekaan terhadap hidup serta alam.”

Akan tetapi, tidak demikian dengan Alexander Sutherland Neill. Menurutnya, bukan peserta didik yang dipaksa mengikuti aturan sekolah, melainkan sekolah yang harus menyesuaikan dengan peserta didik. AS Neill dengan sekolah alterna­tifnya, Summerhill School, yang didirikannya pada 1921 berhasil menjungkirbalikkan pendapat umum, sekaligus menyindir sistem pendidikan arus utama yang gemar mengengkang kebebasan peserta didik.

Dalam kurikulum yang di­terapkannya di Summerhill School, tidak ada aturan yang bersifat mengikat. Peserta didik bebas dan merdeka. Keduduk­an pengajar dan peserta didik sejajar sebagai subjek, bukan sebagai subjek-objek sebagaimana sistem pendidikan arus utama, yang melanggengkan paternalisme antara pengajar dan peserta didik.

Konsep kebahagiaan

Dalam menjalankan praksis pendidikan di Summerhill School, konsep kebahagiaan ialah suatu hal yang harus diperoleh peserta didik. Menurut AS Neill seperti dikutip Andriyati (2014), “Kami berupaya menciptakan sekolah yang membiarkan anak-anaknya bebas jadi diri mereka sendiri.[...] Kami dianggap berani, tetapi langkah ini tidak membutuhkan keberanian apa pun. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan penuh bahwa anak-anak adalah makhluk yang baik, bukan makhluk yang jahat.”

Konsep kebahagiaan inilah yang sepertinya tidak ada dalam sistem pendidikan kontemporer di Indonesia. AS Neill selama mengelola Summerhill School jarang sekali mendapati peserta didik tidak masuk sekolah karena sakit atau takut lantaran praksis pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, AS Neill hendak mengatakan tidak ada peserta didik yang lari dari sekolah (bolos) ataupun sakit karena praksis pembelajaran yang melelahkan dan hanya membuat stres.

Secara psikologi jika batin seorang anak bahagia, sehat pula jasmaninya. Melihat konsep pendidikan AS Neill dalam mendidik peserta didik membuat kita sedih jika dibandingkan dengan praksis pendidikan di Indonesia. Dalam beberapa ka­sus banyak peserta didik lari dari kelas (bolos), seakan-akan hal itu sudah menjadi kegemaran lain peserta didik. Tindakan peserta didik itu kurang dicermati dan dicari akar persoalannya.

Terbukti terjadinya ‘kenakal­an’ yang dilakukan peserta didik di berbagai sekolah, maka menjadi jelas ada ketidakbahagiaan yang dialami peserta didik. Kita sering mendengar dehumanisasi dalam praksis pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Pengekangan ego dan kebebasan peserta didik yang terampas itulah salah satu penyebab ketidakbahagiaan dialami peserta didik.

Akibatnya, peserta didik berusaha mencari kebahagiaannya sendiri di luar kelas dengan tindakan yang salah, yakni bolos dan tawuran salah satunya. Terlebih dalam kondisi problematik seperti sekarang ini karena penyebaran pandemi covid-19 mengancam kebahagiaan peserta didik dalam praksis pembelajaran. Tentu ada keraguan yang muncul mengingat pemerintah tidak cukup tangguh untuk menyelesaikan persoalan praksis pembelajaran di rumah.

Oleh karena itu, menjadi wajar jika keberhasilan Summerhill School telah menginspirasi dunia pendidikan pada dekade 1960-an terutama di daratan Inggris. Tentu keberhasilan konsep pendidikan ala AS Neill dengan sekolah alternatifnya itu diikuti juga pertanyaan pragmatis yang muncul, yakni tujuan pendidikan seperti apa yang hendak dihasilkan dari kurikulum di Summerhill School?

Agama mengajarkan, “Jadilah orang baik, maka engkau akan bahagia.” Tapi peribahasa mengatakan hal sebaliknya, “Berbahagialah, maka engkau akan menjadi orang baik.” Kurang lebih selama 45 tahun memimpin Summerhill School, AS Neill lebih meyakini ungkap­an peribahasa. Menurutnya, kebahagiaan ialah hak semua anak. Apa yang telah dilakukan AS Neill dengan sekolah alternatifnya itu, sejatinya ia sedang memberi kuliah pendidikan tentang konsep kebahagiaan, kebebasan, dan kemerdekaan bagi peserta didik baik.

Membicarakan konsep pendidikan, AS Neill berbeda dengan Ivan Illich yang radikal dan cenderung utopia. Siapa saja yang mendengarkan gagasan Ivan Illich akan ciut. Sebaliknya, siapa saja yang mempelajari gagasan AS Neill akan terpincut. AS Neill ialah seorang totalitas yang terbukti berhasil mencairkan kebekuan sistem pendidikan arus utama.

Jika kita undang Mochtar Buchori (1994), untuk memeriksa secara kritis gagasan AS Neill tentang pendidikan sebagai sarana dan tujuan, AS Neill termasuk orang yang melihat pendidikan secara makro, yakni maksudnya melihat pendidikan sebagai sarana, bukan tujuan. Pemikir seperti AS Neill akan melontarkan pertanyaan fundamental-universal.

Jika dikaitkan dengan pendidikan kontemporer di Indonesia yang sepertinya hanya menekankan pada aspek teknis-pragmatis bukan etis-humanistik, pertanyaan penting yang muncul ialah apakah sistem pendidikan dan praktik pendidikan yang berlangsung selama ini dapat membuat tranformasi sosial dari masyarakat kelas menengah bawah menjadi kelas atas?

Apakah negara dapat menjamin bahwa pendidikan murah dan bermutu dapat diakses lapisan masyarakat kelas sosial bawah? Apakah kebahagiaan dapat diperoleh peserta didik selama belajar di rumah karena pandemi covid-19? Itulah pertanyaan yang harus dijawab otoritas pendidikan: pemerintah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya