Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
MILENIAL merupakan ungkapan bagi generasi yang kerap diasosiasikan dengan gawai dan aneka kecanggihan teknologi, jadi rebutan di mana-mana, beriringan dengan boom bonus demografi— sebuah istilah yang tak kalah problematisnya.
Tidak di panggung budaya, tak di panggung ekonomi, sampai panggung politik, bias kota dan kelas ketika seseorang menyebut kata milenial pun kerap dikesampingkan, dianggap tak penting-penting amat. Padahal tak semua milenial —atau katakanlah anak muda— hidup di kota-kota besar dengan segala aksesnya terhadap pendidikan dan teknologi. Bahkan milenial yang hidup di kota besar seperti Jakarta pun belum tentu memiliki privilege tersebut.
Laporan The Jakarta Post pada Januari silam, misalnya, menunjukkan bahwa sebanyak 36,59% atau mayoritas milenial hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Masih dari laporan yang sama, berdasarkan data dari Wittgenstein Centre for Demography and Global Human Capital, hanya 14,4% yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas.
Dari sisi penghasilan, rata-rata yang diperoleh milenial hanya Rp2,1 juta per bulan saja. Jauh dari kata memadai. Dari semuanya, kaum perempuanlah yang menanggung beban paling berat. Sebanyak 56% milenial perempuan yang hidup di Jakarta adalah seorang ibu, dan lebih dari dua per tiganya tidak memiliki pekerjaan (unemployed).
Maka, cuitan seorang anggota DPR beberapa waktu lalu bahwa ia bangga dengan milenial yang suka membaca buku-buku tebal karena sekarang sudah jarang ditemuinya, menjadi bermasalah. Sebagai orang yang punya privilege terhadap informasi, bukan saja ia gagal memahami realitas di lapangan, tapi juga bernada tendensius dalam melihat apa yang dilakukan milenial-milenial ini. Dan tak hanya ia seorang yang melontarkan pernyataan semacam itu. Masalahnya, sebuah generasi tidak bisa ditekuk dalam satu lipatan. Apalagi jika hanya melihat 'wujud' mereka yang bernaung di bawah kekuasaan.
Dari berbagai 'wujud' milenial, tujuh staf khusus (stafsus) milenial yang diangkat Presiden Jokowi pada November silam tengah menjadi sorotan belakangan ini. Diangkat karena dianggap dapat menjadi jembatan antara pemerintah dan generasi milenial pada umumnya, yang terjadi justru blunder demi blunder.
Kritik yang disampaikan banyak orang di awal bahwa stafsus ini hanya memboroskan anggaran— stafsus milenial memperoleh gaji Rp50 juta per bulan— mulai terbukti. Tepatnya, kemungkinan besar bukan karena stafsus yang diisi milenial cum pebisnis ini tak mampu mengomunikasikan kepentingan pemerintah dengan bahasa populer, tapi karena paradigma yang keliru sejak awal; tokenisme.
Pengangkatan tujuh stafsus milenial merupakan praktik tokenisme, yakni memasukkan orang-orang yang dianggap merepresentasikan generasi milenial ke dalam lingkaran kekuasaan. Untuk melihat nilai-nilai yang direpresentasikan oleh ketujuh stafsus, perlu dilihat juga komposisinya.
Empat dari ketujuh stafsus adalah Chief Executive Officer (CEO). Mereka adalah Andi Taufan Garuda Putra sebagai CEO Amartha; Adamas Belva Syah Devara sebagai CEO Ruang Guru; Putri Indahsari Tanjung sebagai CEO Creativepreneur; dan Angkie Yudistia sebagai CEO Thisable Enterprise. Sedangkan tiga yang lain, Ayu Kartika Dewi, Billy Gracia Yosaphat Mambrasar, dan Aminuddin Ma’ruf adalah 'aktivis' di bidangnya masing-masing.
Dengan kata lain, sebagian besar dari stafsus ini mewakili nilai-nilai kewirausahaan (entrepreneurship) yang sejalan dengan visi Presiden Jokowi terhadap generasi milenial secara khusus, dan model ekonomi secara umum. Presiden melihat bahwa dalam tingkat pengangguran yang masih tinggi di Indonesia saat ini, pengusaha sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja dan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.
Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan, menurutnya universitas juga harus mampu membuat 'ekosistem untuk menciptakan sociopreneur'. Dan untuk menambah jam terbang, Presiden Jokowi mengupayakan keterlibatan para pengusaha muda ini dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah.
Lantas, mengapa kewirausahaan nampak menjadi satu-satunya model ekonomi yang memungkinkan sehingga pemerintah sangat menggadang-gadang hal itu? Sukarieh dan Tannock (2008) melihat kaitan erat antara proyek neoliberalisme, kaum muda, dan kewirausahaan. Sebelum memasuki abad ke-21, kaum muda dilihat sebagai ancaman karena disrupsi-disrupsi yang dihasilkannya, dan dipandang sebagai ticking bomb.
Namun sejak awal abad ke-21, untuk pertama kalinya kaum muda menjadi perhatian utama dari organisasi-organisasi internasional, seperti World Bank, PBB, dan International Labour Organisation (ILO) sebagai ‘prioritas global’ menciptakan lapangan kerja.
Berkurangnya jaminan sosial dari negara yang menyebabkan pengangguran kian meningkat hanya dapat diatasi jika kaum muda diberi pelatihan kewirausahaan (2008: 309). Model ekonomi dominan inilah yang kini sedang gencar dilakukan pemerintah, terakhir dengan melakukan praktik tokenisme dengan melakukan pengangkatan stafsus milenial.
Tapi celakanya, segera setelah si stafsus yang juga pengusaha ini terserap ke dalam lingkar kekuasaan, saat itu juga ia segera terpasung ke dalam konflik kepentingan (conflict of interest). Birokrasi yang dilangkahi dalam kasus Andi Taufan Garuda Putra sebagai CEO Amartha juga harus dilihat dalam kerangka ini. Tidak saja telah terjadi maladministrasi seperti disampaikan Ombudsman RI, tapi pertanyaan mendesaknya adalah bagaimana mungkin seorang CEO mampu melepas kepentingan pribadinya ketika menjadi pejabat publik?
Ibaratnya, bagaimana mungkin seorang pengusaha minyak memberikan harga minyak yang adil bagi masyarakat, sementara ia sendiri membutuhkan profit dari usahanya tersebut? Konflik kepentingan ini juga terjadi pada Adamas Belva Syah Devara.
Sebagai mitra Kartu Prakerja, Ruang Guru disorot karena masalah pengadaan yang dinilai tak transparan dan hanya menguntungkan startup tersebut. Belva kemudian menjawab bahwa ia siap mundur dan kabarnya ia memilih mundur dari jabatannya sebagai stafsus tersebut. Namun, itu tentu bukan jawaban yang memuaskan masyarakat yang kadung marah karena video-video pelatihan yang salah satunya diperoleh dari Ruang Guru, sebetulnya dapat diakses secara gratis di platform-platform seperti Youtube.
Dalam situasi pandemi seperti saat ini, jutaan orang telah diPHK, dan angkanya akan terus meningkat seiring nihilnya pemasukan dari sektor-sektor terdampak. Minimnya jaminan sosial dan jaring pengaman yang sudah dipangkas sejak privatisasi sektor-sektor strategis seperti kesehatan, pendidikan, dll. memperparah kondisi yang ada.
Di tengah semua itu, kita tak membutuhkan lilin sembari menghindari mengutuk kegelapan seperti ucapan seorang stafsus, karena kegelapan itu berdiri sangat dekat dengan si pengucap, dan mirisnya, ia tak mengutuknya lebih awal.
Dunia akademik, khususnya lingkungan kampus perlu berperan aktif dalam menciptakan inovasi-inovasi yang menekankan pentingnya keberlanjutan.
Tidak masalah soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto yang menyerahkan 10 Capim dan Dewas KPK ke DPR.
MANTAN Asisten Staf khusus (Stafsus) Presiden, Yasmin Nur, meminta maaf atas kegaduhan pernyataan di media sosial. Hal ini terkait gaji pembantu asisten staf khusus presiden.
Jokowi telah memenuhi janjinya untuk berkantor di Ibu Kota Nusantara (IKN) sebelum HUT Ke-79 RI. Kehadiran Presiden Jokowi di IKN sekaligus mengawasi langsung penyelesaian pembangunan IKN.
Presiden Jokowi angkat Grace Natalie dan Juri Ardiantoro sebagai staf khusus presiden
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menegaskan hingga saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menjadi ketua umum dari partai manapun.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved