Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
SEORANG murid masih kanak-kanak yang paling sering membuat onar, suatu ketika melarikan diri dari desa tempat tinggalnya. Ia pergi ke kota besar, hidup sebagai gelandangan, tak bisa pulang. Di desa, penduduk resah. Keresahan itu membuat Wei Minzhi, gurunya yang masih remaja, pergi ke kota untuk mencari.
Pencarian dilakukan karena guru lain yang lebih senior, guru Gao, yang sedang memiliki tugas lain, telah berpesan kepada guru muda penggantinya itu; jangan ada satu pun yang hilang.
Perjalanan sang guru ke kota amat melelahkan. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya mereka pun bertemu. Film Not One Less besutan Zhang Yimou (1999) menggambarkan dengan indah sukacita seseorang yang didapatkan kembali setelah hilang sekian lama dan dicari-cari. Si murid dan guru berangkulan dalam perjalanan pulang, menangis bersama. Muridnya berjanji akan memberi bunga untuk gurunya.
Dalam film itu kita dapat melihat suasana kelas yang sederhana-- untuk tidak menyebutnya memprihatinkan--mirip sekolah-sekolah di daerah pedalaman di Indonesia, guru yang sangat minim pengalaman mengajar, dan fasilitas yang serbaterbatas. Namun, pendidikan menjadi hidup karena sang guru memiliki semangat dan kasih sayang yang besar dalam mengajar dan mendidik. Film lawas itu pun menghadirkan refleksi mendalam tentang pendidikan berlandaskan cinta. Ia ialah napas yang menghidupkan pendidikan, di tengah segala keterbatasan dan kekurangan.
Merdeka sekaligus aman
Belakangan, kita mungkin sering mendengar istilah Merdeka Belajar, program yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Di laman Kemendikbud, disebutkan bahwa program itu berhubungan dengan perubahan pelaksanaan atau pembuatan ujian berstandar nasional (USBN), ujian nasional (UN), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan peraturan penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi.
Keempat hal di atas digagas demi menunjang ‘kemerdekaan’ yang berhubungan dengan berbagai hal teknis dalam pendidikan. Perubahan USBN dan UN dilakukan demi memperbaiki kualitas lulusan sekaligus memerdekakan siswa dari tuntutan belajar yang tak signifikan, seperti yang dibebankan dalam format atau soal ujian sebelumnya. Perombakan format RPP untuk menyederhanakan dan memerdekakan guru dari segala tetek bengek administrasi yang tidak perlu. Lalu, PPDB zonasi diubah agar penerimaan siswa di sekolah-sekolah berlangsung lebih fleksibel.
Namun, dalam empat fokus itu, ada satu persoalan yang perlu dikaji lebih mendalam, yaitu soal rasa aman saat belajar di sekolah. Dari waktu ke waktu, berita muram yang mencoreng dunia pendidikan kita terus tersiar dan menyedot perhatian publik.
Pada 14 Januari lalu, seorang siswi di sebuah SMP di Jakarta terjun dari lantai empat sekolahnya. Dua hari kemudian ia meninggal dunia. Motifnya sampai sekarang masih belum bisa dipastikan, tapi diduga kuat ia bunuh diri karena persoalan dalam keluarga. Kemudian, pada 24 Januari, ada tujuh siswa yang melakukan perundungan kepada seorang teman mereka di sebuah SMP di Malang, membuat teman mereka itu sampai dirawat di rumah sakit karena jarinya memar parah.
Kasus bunuh diri itu pun ditanggapi Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa mestinya sekolah membuat program sekolah ramah anak (Detik, 30/1). Program itu dapat diwujudkan dengan mengembangkan kepedulian guru pada kondisi psikologis anak didik, juga pengetahuan akan kondisi keluarganya. Itu tidak hanya menjadi tugas guru bimbingan dan konseling, tapi semua guru, terutama wali kelas. Begitu pula pada kasus perundungan yang terjadi di Malang itu.
Dalam empat poin Merdeka Belajar, hal-hal yang berhubungan dengan berbagai kasus kekerasan di sekolah tampaknya akan diintegrasikan dalam asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, yang disebut-sebut akan menggantikan UN. Survei seperti apa nantinya yang akan dikembangkan? Semoga itu dapat menjadi solusi, mengurangi kasus demi kasus kekerasan yang telah terjadi di dunia pendidikan kita.
Yang perlu diingat, jangan sampai kita membuat perubahan dan gebrakan hanya demi alasan agar tidak tertinggal dari bangsa lain yang lebih maju. Tentu kita senang kalau kemampuan kita dalam ilmu pengetahuan dan sains juga berkembang bila diukur dengan acuan internasional seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) atau Program for International Student Assessment (PISA). Namun, dari sejarah kita dapat belajar bahwa kecerdasan pikiran tak selalu berbanding lurus dengan semangat menghargai martabat manusia.
Kecerdasan dan cinta kasih
Dalam Kunci Kedamaian Pribadi, buku kecil yang ditulis dua tahun setelah Serangan 11 September 2001, Pendeta Billy Graham mengisahkan kunjungannya ke Auschwitz, Polandia. Dia menyaksikan kawat berduri, alat-alat penyiksaan, sel-sel hukuman yang pengap, kamar gas, dan krematorium.
Setelah meletakkan karangan bunga untuk mengenang korban yang tewas di sebuah kamp yang pernah digunakan untuk membunuh ribuan orang, ia berlutut, berdoa. Saat berdiri, matanya kabur oleh air mata. Ia kemudian merenung, ‘Bagaimana hal semengerikan itu dapat terjadi--direncanakan dan dilaksanakan--oleh bangsa yang telah menghasilkan beberapa orang berpendidikan paling tinggi di dunia?’ (hlm 20).
Begitu banyak filsuf, rohaniwan, dan komponis yang lahir di Jerman; tapi pada suatu masa yang begitu kelam, inteligensia dan rasa kemanusiaan terkubur kesewenang-wenangan tiran. Kita pun mungkin bertanya-tanya, mengapa sebagian orang dapat menjadi begitu bengis dan kejam, bahkan kekejaman itu menjangkiti pikiran orang atau bangsa yang paling cerdas? Itu terjadi karena kasih sayang tidak diajarkan dalam pendidikan.
Bangsa kita sedang berusaha mentransformasi pendidikan. Sekian lama kita bergonta-ganti kurikulum dan kebijakan, seakan-akan kehilangan jati diri. Kita malu melihat tingkat literasi yang rendah dan dalam tolok ukur lainnya turut tertinggal. Namun, jangan sampai itu semua hanya membuat kita melakukan segala sesuatu ‘agar tidak tertinggal’, tapi melupakan napas utama pendidikan, yaitu cinta kasih.
Kini banyak orang ingin menjadi guru karena memungkinkan untuk meraih penghidupan yang sejahtera. Namun, semoga kita tidak lupa dengan tugas untuk menghidupkan pendidikan, tidak hanya ‘menumpang hidup’ dari pendidikan. Cinta kasih akan menghidupkan pendidikan. Ketika guru mendidik dengan cinta, bukan hanya kemerdekaan yang didapatkan, melainkan juga martabat. Siswa dimanusiakan, bukan sekadar jadi bahan percobaan perubahan kebijakan.
Pendidikan pada usia dini merupakan fase yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak di masa depan.
Dalam aturan baru ini, beban kerja tatap muka guru minimal 24 jam per minggu yang dapat dipenuhi dengan pemenuhan tugas pokok, tugas tambahan, dan tugas tambahan lain.
SEBANYAK 1.411 guru swasta kategori prioritas (R1D) di Jawa Tengah telah lulus seleksi pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sejak 4 tahun lalu, namun belum penempatan
GUBERNUR Kalimantan Timur Rudy Mas’ud (Harum) menyerahkan bantuan dan insentif melalui program Gratispol dan Jospol di tiga wilayah, yakni Bontang, Kutai Timur, dan Berau.
Keresahan terkait dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi para guru.
Program ini memberikan banyak peluang agar mengefektifkan dan mengefisienkan proses pembelajaran.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved