Rabu 19 Februari 2020, 06:40 WIB

Perempuan dan Politik

Dwi Septiawati Djafar Ketua Umum DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) | Opini
Perempuan dan Politik

Medcom

 

PEMILU legislatif baru akan diselenggarakan pada 2024. Bagaimana regulasinya, masih belum ditetapkan. Ada banyak catatan sebagai evaluasi atas pelaksanaan Pileg Serentak 2019. Usulan revisi atas UU Pemilu sudah ketuk palu masuk dalam prioritas bahasan prolegnas DPR RI tahun 2020. Perempuan politik harus segera bergegas jika ingin memastikan tercapainya target minimal 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada 2024.

Tindakan afirmasi dan SDGs

Perjuangan meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen sudah dilakukan sejak genderang reformasi 1998 menggema di negeri ini melalui dorongan kebijakan affirmative action. Tindakan afirmatif ialah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar perempuan memperoleh peluang dan akses yang setara dalam bidang politik.

Ini dapat dianggap sebagai tindakan memberikan keistimewaan sementara pada perempuan hingga dicapai representasi perempuan 30% sebagai critical mass dalam parlemen. Kebijakan afirmasi melalui mekanisme kuota ini dianggap sebagai salah satu sarana memberi ruang yang lebih besar pada perempuan untuk meraih kursi legislatif.

Implementasi kebijakan itu berupa kuota perempuan dalam kepengurusan parpol, penempatan perempuan di struktur kepemimpinan parpol, pencalonan minimal 30% di daftar caleg, serta penempatan minimal satu perempuan di antara tiga dalam daftar caleg parpol.

Sayangnya, upaya memasukkan klausul penempatan perempuan caleg di nomor urut 1 di minimal 30% daerah pemilihan (dapil) dalam daftar caleg setiap parpol belum berhasil. Pada Pemilu 2019, sebagian besar perempuan caleg tidak berada pada nomor urut kecil. Padahal, hasil penelitian Puskapol UI menunjukkan, lebih dari 60% anggota legislatif terpilih berada pada nomor urut satu.

Bagai gayung bersambut, Perpres No 59/2017 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dikenal dengan istilah SDGs, dalam lampirannya menyebutkan salah satu sasaran pemberdayaan perempuan adalah untuk menjamin partisipasi penuh dan efektif. Lalu, kesempatan yang sama bagi perempuan memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat dengan sasaran nasional RPJMN, meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR RI.

Sayangnya, sebagaimana kita tahu, Pemilu Legislatif 2019 menempatkan perempuan anggota legislatif (aleg) sejumlah 20,8%, yang belum memenuhi kuota minimal representasi perempuan di parlemen. Bagaimana perempuan politik menyikapi realitas ini?

Tren global keterwakilan perempuan

Dalam 20 tahun terakhir ini, sebagaimana laporan Inter-Parliamentary Union pada 2015, telah terjadi peningkatan luar biasa dari keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam parlemen di seluruh dunia. Rata-rata keterwakilan perempuan dalam parlemen nasional secara global meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 11,3% di 1995 menjadi sekitar 20,8% di 2019 (naik 13,5 point).

Hampir semua kawasan di dunia memperlihatkan peningkatan keterwakilan perempuan yang sangat luar biasa antara 1995 hingga 2019. Di antara negara-negara itu ialah Rwanda (61,3% pada 2015), Kuba (53,2% pada 2015), dan Bolivia (53,1% pada 2019).

Data yang menarik, negara yang pernah menjadi bagian dari kedaulatan RI, yakni Timor Leste, pada 2019 berhasil melampaui threshold 30%, yaitu 40%, diikuti Nepal (32,7%). Sementara itu, negara lain yang mendekati perolehan itu ialah Filipina (29,5%), Vietnam (26,7%), Tiongkok (24,9%), dan Afghanistan (23,6%).

Sebaliknya, Indonesia yang memberikan peluang partisipasi politik sejak pemilu pertama pada 1955 justru mengalami kemunduran dari 18,2% pada 2009 menjadi 16,8% pada 2014 (turun 1,4%). Secara terpisah, setelah lima pemilu dilaksanakan secara demokratis di Indonesia, perolehan kursi perempuan di tingkat nasional (DPR) masih belum menembus angka 30%. Pada Pemilu 2014, jumlah kursi perempuan di DPR berkisar 17%--angka ini lebih rendah dari Pemilu 2009 (18%). Pada 2019 mencapai angka 20,8%.

KPPI wadah perempuan politik

Kaukus Perempuan Politik Indonesia, disingkat KPPI, adalah gerakan perempuan politik lintas parpol. Didirikan 17 Agustus 2000, yang memperjuangkan pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak politik perempuan guna berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang maju, adil, sejahtera, dan bermartabat. Di KPPI berhimpun perempuan politik dari 15 parpol yang kini memiliki perwakilan di 32 provinsi di RI.

KPPI memiliki tugas besar, antara lain mengawal proses demokrasi agar lebih berkualitas dan berkeadilan, melakukan advokasi kebijakan publik sebagai kekuatan pressure group terdepan, melakukan pendidikan politik, dan penguatan kapasitas bagi perempuan politik. Lalu, menjadikan KPPI sebagai pusat rujukan bagi upaya-upaya memperkuat hak-hak perempuan, khususnya dalam bidang politik.

Dalam menghadapi Pilkada Serentak 2020 dan mempersiapkan momentum Pemilu 2024 diperlukan penguatan dan pengembangan organisasi. Khususnya dalam menyiapkan kader perempuan politik untuk berkompetisi di Pemilihan Legislatif 2024.

Oleh karena itu, konsolidasi struktural pasca-Pileg 2019 telah dilakukan guna mengukuhkan organisasi, menyiapkan peta jalan sukses perempuan caleg pada Pemilu 2024 dalam bentuk rencana aksi nasional, regional, dan daerah. Kemudian, memberi masukan terhadap regulasi untuk mendorong 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada 2024.

Dalam pandangan KPPI, politik ialah jalan dedikasi dalam memperjuangkan tujuan kehidupan yang mulia, terciptanya masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.

Oleh karena itu, perempuan politik secara individu dan institusional diharapkan mampu memberi solusi atas persoalan kritis dan mendesak, seperti mengawal SDGs. Pertama, SDGs diharapkan bisa mengakhiri segala bentuk kemiskinan di semua negara mana pun.

Kedua, SDGs bertujuan mengakhiri segala bentuk kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian berkelanjutan. Ketiga, target SDGs menjamin kehidupan sehat serta mendorong kesejahteraan untuk semua orang di dunia pada semua usia.

Tentu saja, cara efektif mengawal pencapaian tujuan SDGs ialah memastikan perempuan politik mengambil peran strategis dengan memenuhi 30% perempuan aleg pada 2024. Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Namun, tak ada pekerjaan yang sulit jika dikerjakan secara gotong royong dan kerja sama yang setara dan saling menguatkan dengan para stakeholder, termasuk dengan pemerintah, LSM, perguruan tinggi, ormas perempuan, media, pihak swasta, dan kelompok think tank.

Baca Juga

Dok. Pribadi

Awas Budaya Tiktok

👤Khoiruddin Bashori Dewan Pengawas Yayasan Sukma Jakarta 🕔Senin 02 Oktober 2023, 05:10 WIB
AKHIR-AKHIR ini pendidik sering mengeluhkan siswa yang lebih suka bermain-main, bercanda, dan kurang serius dalam...
MI/Duta

Guru dan Kecerdasan Buatan

👤Muazzah Muhammad Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie 🕔Senin 02 Oktober 2023, 05:05 WIB
KINI dunia dihebohkan banyaknya penemuan di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang diyakini dapat memudahkan hidup...
Dok pribadi

Efektifkah Bea Masuk Menahan Laju Impor?

👤Marsanto Adi Nurcahyo, Politeknik Keuangan Negara STAN 🕔Minggu 01 Oktober 2023, 20:50 WIB
SUDAH sering kita dengar kalau barang dari Tiongkok itu lebih murah harganya dibandingkan produk dalam...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

MI TV

Selengkapnya

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya