Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Omnibus Law, Menimbang Pajak Orang Pribadi

Dosen Keuangan Negara Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs UGM Yogyakarta Haryo Kuncoro
11/2/2020 08:00
Omnibus Law, Menimbang Pajak Orang Pribadi
Dosen Keuangan Negara Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs UGM Yogyakarta Haryo Kuncoro(Dok Pribadi)

NASKAH RUU Omnibus Law Perpajakan pada 5 Februari 2020 telah diserahkan pemerintah untuk kemudian di­­bahas bersama DPR. Secara umum, RUU Omnibus Law Per­pa­jakan berisikan ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian nasional.

Substansi RUU Omnibus Law Perpajakan menyangkut enam pilar, yakni pendanaan investasi, sistem teritori perpa­jakan, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak (WP), keadilan iklim berusaha, dan fasilitas perpajakan. Dari enam pilar di atas, subjek pajak orang pribadi sepertinya merupakan pekerjaan yang pa­ling berat.

Klaim di atas bukan mengada-ada. Struktur penerimaan per­pajakan di Indonesia masih sangat rapuh. Penerimaan pajak penghasilan (PPh) secara umum hanya sedikit di atas pajak pertambahan nilai (PPN). Sementara itu, penerimaan PPh sangat didominasi oleh PPh badan (90%) relatif terhadap PPh orang pribadi (OP).

PPh merupakan pajak langsung. Pembayar pajak sekaligus penanggung beban akhir pajak. Sebaliknya, PPN ialah pajak tidak langsung. Beban pajak bisa dialihkan ke pihak lain.

Akibatnya, ketimpangan beban pajak (tax incidence) juga besar yang berujung pada disparitas penerima manfaat dari belanja pemerintah yang dibiayai dari pajak.

Besarnya porsi kontribusi pajak dari wajib pajak (WP) badan terhadap total penerima­an PPh juga perlu diwaspadai. Kondisi keuangan negara seca­ra tidak langsung memiliki ke­tergantungan yang tinggi terhadap para WP badan. Pe­ne­rimaan pajak negara yang terkonsentrasi pada WP badan tentu sangat berisiko.

Kalau kinerja badan usaha itu sedang menurun, misalnya, atau tengah mengalami masalah finansial, niscaya akan berdampak secara langsung ke penerimaan negara. Ringkasnya, ada isu kesinambungan (sustainability) penerimaan pe­merintah yang akan dipertaruhkan di masa depan.

Sementara itu, penerimaan PPh OP juga sangat timpang. Pendapatan PPh OP dari karya­wan (payroll tax) dengan basis pajak perolehan upah/gaji malah relatif lebih tinggi ketimbang PPh OP nonkaryawan (dengan basis pendapatan dari usaha secara mandiri) yang potensinya justru lebih besar.

Pada penerimaan PPh OP nonkaryawan pada 2019, ter­ca­tat hanya sebesar Rp11,23 triliun. Realisasi tersebut berbanding terbalik dari PPh Pa­sal 21 yang dibayarkan oleh karyawan. Secara total, realisa­sinya jauh lebih tinggi yang mencapai Rp148,63 triliun. Ar­tinya, ada orang berpengha­silan tinggi, tetapi tidak mau membayar pajak.

Besarnya kontribusi WP kar­yawan relatif terhadap WP nonkaryawan ini juga menunjukkan tingginya ketimpang­an pendapatan di Indonesia. Meski persentase penduduk miskin terus turun, indeks rasio Gini yang hanya turun 0.02 dalam lima tahun terakhir sudah dengan sendirinya menjelaskan hal ini.

Dari sini muncul persoalan klasik ‘lingkaran setan’ yang sulit ditangani. Ketimpang­an pendapatan menentukan besar­­an penerimaan perpajak­an, sementara perpajakan di­desain untuk memperbaiki dis­­­tribusi pendapatan. Intinya, persoalan ‘dahulu mana telur dengan ayam’ akan tetap menghadang perekonomian Indonesia.

Dengan konfigurasi proble­matika di atas, RUU Omnibus Law Perpajakan sejauh mungkin harus bisa menanggulangi sumber pokok penye­babnya. Ironisnya, fokus diskusi omni­bus law perpajakan belakangan ini justru lebih banyak tersedot pada pemotongan tarif PPh badan alih-alih subjek pajak OP.

Upaya ekstra

Praktik terbaik secara internasional menyarankan penerimaan pajak langsung lebih tinggi daripada pajak tidak langsung dan perolehan PPh OP lebih dominan daripada PPh badan. Dalam perekonomian yang bergejolak, PPh lebih stabil daripada PPN dan upah/gaji karyawan jarang (untuk tidak mengatakan mustahil) turun. Intinya, PPh OP lebih andal.

Alhasil, pemerintah perlu me­ningkatkan upaya (effort) ekstra untuk melakukan intensifikasi pajak. Artinya, Direktorat Jenderal Pajak mesti le­bih giat menggali potensi penerimaan pajak dari WP lain. Konkretnya, untuk mengejar tar­get rasio pajak 11-12%, so­kongan dari WP nonkaryawan sangat diperlukan.

Dorongan untuk memperoleh penerimaan pajak dari WP nonkaryawan sangat logis. Bangun usaha di Indonesia 80% berskala kecil dan menengah (UMKM). Bidang usaha ini mampu menyerap 98% tenaga kerja. Artinya, setoran pajak da­ri segmen ini niscaya sangat material untuk menggenjot penerimaan perpajakan.

Faktanya, kebocoran pajak di UMKM masih terjadi, seperti penerbitan faktur fiktif, pengecilan omzet supaya tetap dianggap UMKM, dan tidak mendaftar sebagai pengusaha kena pajak, padahal sudah ma­suk kategori pengusaha kena pajak. Kalau dikurangi dengan mereka yang pendapatannya di bawah PTKP sekalipun, angkanya masih sangat signi­fikan.

Modus yang mirip juga ter­jadi pada karyawannya. Kar­yawan cenderung menyembu­nyikan pendapatan sebenarnya agar nilai pajak yang dibayarkan lebih rendah. Atau pendapatan yang sebenarnya telah dia la­porkan sebagai dasar pembayaran pajak. Sementara itu, pendapatan dari sumber lain, dari aktivitas daring, misalnya, tidak dia ungkap.

Signifikansi potensi penerimaan yang belum tergarap ini niscaya lebih besar lagi jika dipertimbangkan keakuratan laporan pajaknya. Dari yang memiliki NPWP (nomor pokok wajib pajak), berapa yang me­laporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Dari yang melaporkan SPT-nya, berapa yang mengisi dan membayar pajaknya dengan benar.

Sejalan dengan pertukaran informasi keuangan untuk ke­pentingan perpajakan, peme­rintah perlu mengakses in­for­masi data keuangan WP OP nonkaryawan ini guna men­cocokkan kinerja kuangan dengan pajak yang dibayar. Dengan cara ini, WP OP nonkaryawan niscaya lebih patuh untuk membayar pajak.

Klausul denda kekurangan pembayaran pajak yang bisa mencapai 48% dalam RUU Omnibus Law Perpajakan memang bisa menjadi terapi kejut bagi WP OP yang lalai.

Namun, tetap saja law enforcement harus menjadi instrumen utama dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment.

Alhasil, fenomena manipulasi pajak jika terjadi lagi di masa depan dengan berbagai macam modifikasinya bisa diantisipasi dengan elegan. Karena itu, premis klise bahwa regulasi selalu ketinggalan dengan perkembangan zaman akan terpatahkan oleh komprehensivitas RUU Omnibus Law.

Pada akhirnya, RUU omnibus law harus diletakkan pada se­mua aspek yang melingkupi­nya. Persoalan perpajakan bu­kan hanya problem besaran tarif, melainkan juga lingkung­an strategis yang terus berkembang. Urgensinya, penerimaan perpajakan mampu secara berkelanjutan menjadi penopang pendanaan pembangunan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya