Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
NASKAH RUU Omnibus Law Perpajakan pada 5 Februari 2020 telah diserahkan pemerintah untuk kemudian dibahas bersama DPR. Secara umum, RUU Omnibus Law Perpajakan berisikan ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian nasional.
Substansi RUU Omnibus Law Perpajakan menyangkut enam pilar, yakni pendanaan investasi, sistem teritori perpajakan, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak (WP), keadilan iklim berusaha, dan fasilitas perpajakan. Dari enam pilar di atas, subjek pajak orang pribadi sepertinya merupakan pekerjaan yang paling berat.
Klaim di atas bukan mengada-ada. Struktur penerimaan perpajakan di Indonesia masih sangat rapuh. Penerimaan pajak penghasilan (PPh) secara umum hanya sedikit di atas pajak pertambahan nilai (PPN). Sementara itu, penerimaan PPh sangat didominasi oleh PPh badan (90%) relatif terhadap PPh orang pribadi (OP).
PPh merupakan pajak langsung. Pembayar pajak sekaligus penanggung beban akhir pajak. Sebaliknya, PPN ialah pajak tidak langsung. Beban pajak bisa dialihkan ke pihak lain.
Akibatnya, ketimpangan beban pajak (tax incidence) juga besar yang berujung pada disparitas penerima manfaat dari belanja pemerintah yang dibiayai dari pajak.
Besarnya porsi kontribusi pajak dari wajib pajak (WP) badan terhadap total penerimaan PPh juga perlu diwaspadai. Kondisi keuangan negara secara tidak langsung memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap para WP badan. Penerimaan pajak negara yang terkonsentrasi pada WP badan tentu sangat berisiko.
Kalau kinerja badan usaha itu sedang menurun, misalnya, atau tengah mengalami masalah finansial, niscaya akan berdampak secara langsung ke penerimaan negara. Ringkasnya, ada isu kesinambungan (sustainability) penerimaan pemerintah yang akan dipertaruhkan di masa depan.
Sementara itu, penerimaan PPh OP juga sangat timpang. Pendapatan PPh OP dari karyawan (payroll tax) dengan basis pajak perolehan upah/gaji malah relatif lebih tinggi ketimbang PPh OP nonkaryawan (dengan basis pendapatan dari usaha secara mandiri) yang potensinya justru lebih besar.
Pada penerimaan PPh OP nonkaryawan pada 2019, tercatat hanya sebesar Rp11,23 triliun. Realisasi tersebut berbanding terbalik dari PPh Pasal 21 yang dibayarkan oleh karyawan. Secara total, realisasinya jauh lebih tinggi yang mencapai Rp148,63 triliun. Artinya, ada orang berpenghasilan tinggi, tetapi tidak mau membayar pajak.
Besarnya kontribusi WP karyawan relatif terhadap WP nonkaryawan ini juga menunjukkan tingginya ketimpangan pendapatan di Indonesia. Meski persentase penduduk miskin terus turun, indeks rasio Gini yang hanya turun 0.02 dalam lima tahun terakhir sudah dengan sendirinya menjelaskan hal ini.
Dari sini muncul persoalan klasik ‘lingkaran setan’ yang sulit ditangani. Ketimpangan pendapatan menentukan besaran penerimaan perpajakan, sementara perpajakan didesain untuk memperbaiki distribusi pendapatan. Intinya, persoalan ‘dahulu mana telur dengan ayam’ akan tetap menghadang perekonomian Indonesia.
Dengan konfigurasi problematika di atas, RUU Omnibus Law Perpajakan sejauh mungkin harus bisa menanggulangi sumber pokok penyebabnya. Ironisnya, fokus diskusi omnibus law perpajakan belakangan ini justru lebih banyak tersedot pada pemotongan tarif PPh badan alih-alih subjek pajak OP.
Upaya ekstra
Praktik terbaik secara internasional menyarankan penerimaan pajak langsung lebih tinggi daripada pajak tidak langsung dan perolehan PPh OP lebih dominan daripada PPh badan. Dalam perekonomian yang bergejolak, PPh lebih stabil daripada PPN dan upah/gaji karyawan jarang (untuk tidak mengatakan mustahil) turun. Intinya, PPh OP lebih andal.
Alhasil, pemerintah perlu meningkatkan upaya (effort) ekstra untuk melakukan intensifikasi pajak. Artinya, Direktorat Jenderal Pajak mesti lebih giat menggali potensi penerimaan pajak dari WP lain. Konkretnya, untuk mengejar target rasio pajak 11-12%, sokongan dari WP nonkaryawan sangat diperlukan.
Dorongan untuk memperoleh penerimaan pajak dari WP nonkaryawan sangat logis. Bangun usaha di Indonesia 80% berskala kecil dan menengah (UMKM). Bidang usaha ini mampu menyerap 98% tenaga kerja. Artinya, setoran pajak dari segmen ini niscaya sangat material untuk menggenjot penerimaan perpajakan.
Faktanya, kebocoran pajak di UMKM masih terjadi, seperti penerbitan faktur fiktif, pengecilan omzet supaya tetap dianggap UMKM, dan tidak mendaftar sebagai pengusaha kena pajak, padahal sudah masuk kategori pengusaha kena pajak. Kalau dikurangi dengan mereka yang pendapatannya di bawah PTKP sekalipun, angkanya masih sangat signifikan.
Modus yang mirip juga terjadi pada karyawannya. Karyawan cenderung menyembunyikan pendapatan sebenarnya agar nilai pajak yang dibayarkan lebih rendah. Atau pendapatan yang sebenarnya telah dia laporkan sebagai dasar pembayaran pajak. Sementara itu, pendapatan dari sumber lain, dari aktivitas daring, misalnya, tidak dia ungkap.
Signifikansi potensi penerimaan yang belum tergarap ini niscaya lebih besar lagi jika dipertimbangkan keakuratan laporan pajaknya. Dari yang memiliki NPWP (nomor pokok wajib pajak), berapa yang melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Dari yang melaporkan SPT-nya, berapa yang mengisi dan membayar pajaknya dengan benar.
Sejalan dengan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, pemerintah perlu mengakses informasi data keuangan WP OP nonkaryawan ini guna mencocokkan kinerja kuangan dengan pajak yang dibayar. Dengan cara ini, WP OP nonkaryawan niscaya lebih patuh untuk membayar pajak.
Klausul denda kekurangan pembayaran pajak yang bisa mencapai 48% dalam RUU Omnibus Law Perpajakan memang bisa menjadi terapi kejut bagi WP OP yang lalai.
Namun, tetap saja law enforcement harus menjadi instrumen utama dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment.
Alhasil, fenomena manipulasi pajak jika terjadi lagi di masa depan dengan berbagai macam modifikasinya bisa diantisipasi dengan elegan. Karena itu, premis klise bahwa regulasi selalu ketinggalan dengan perkembangan zaman akan terpatahkan oleh komprehensivitas RUU Omnibus Law.
Pada akhirnya, RUU omnibus law harus diletakkan pada semua aspek yang melingkupinya. Persoalan perpajakan bukan hanya problem besaran tarif, melainkan juga lingkungan strategis yang terus berkembang. Urgensinya, penerimaan perpajakan mampu secara berkelanjutan menjadi penopang pendanaan pembangunan.
WAKIL Ketua MPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas mengajak seluruh masyarakat, terutama warga Bali untuk sama-sama memperjuangkan UU Kebudayaan.
Omnibus Law: Kupas tuntas kebijakan ekonomi terbaru, dampak, dan peluangnya. Panduan lengkap untuk memahami perubahan signifikan ini!
DIREKTUR Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura berpendapat rancangan undang-undang Kepemiluan rawan diakali ketika menggunakan model omnibus law.
Kajian itu pun, kata dia, akan membahas agar produk undang-undang tak menyalahi aturan yang ada.
Bima memastikan bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah akan berkomunikasi dengan Komisi II DPR RI mengenai putusan MK tersebut.
Saat ini anggota DPR RI masih menjalani masa reses. Setelah reses berakhir, Rifqi memastikan pihaknya bakal melakukan rapat dengan pimpinan DPR RI.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved