Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Kenapa DPR Awali Tugas dengan Tancap Gas?

Margana Wiratma Dosen Fakultas Ekonomi dan Komunikasi, Universitas Bina Nusantara
28/12/2019 06:40
Kenapa DPR Awali Tugas dengan Tancap Gas?
Ilustrasi PELANTIKAN ANGGOTA DPR(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/)

SETELAH pelantikan, DPR tancap gas: memasang target 248 RUU, ngebut rapat, dan kunjungan kerja. Sejak dilantik pada Oktober lalu, dalam masa sidang pertama yang usianya cuma 56 hari, DPR mengebut menyusun rencana kerja dan mengesahkan alat kelengkapan dewan (AKD).

Mereka dengan cepat melakukan bagi-bagi kursi pimpinan, seperti para ketua DPR, pemimpin komisi, badan, dan kelengkapan dewan lainnya.

Setelah alat kelengkapan dewan komplet, DPR langsung melaksanakan tiga fungsi utamanya, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Menurut evaluasi kinerja Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) yang dirilis pada 20 Desember lalu, DPR dinilai memang ngegas-ngegas pada awalnya. Peneliti senior Formappi, M Djadijono, menunjuk target dewan di bidang legislasi.

Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah menghasilkan daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2020-2024 sebanyak 248 daftar RUU dan 50 RUU Prolegnas prioritas untuk 2020. Bandingkan dengan DPR periode 2014-2019 yang baru merampungkan tugas serupa tahun kedua atau Februari 2015. Jumlahnya pun lebih sedikit, hanya 189 RUU.

Formappi juga mencatat, selama masa sidang pertama, DPR menggeber dengan menggelar 237 rapat komisi. Artinya, dalam sehari setidaknya ada empat rapat. Mereka membahas tiga fungsi utama dewan. Rapat yang terkait dengan fungsi legislasi sebanyak 23 kali, anggaran 35 kali, dan pengawasan 179 kali.

Khusus rapat tentang fungsi pengawasan, yang paling banyak berkaitan dengan kebijakan pemerintah (113 kali), pengawasan terhadap pelaksanaan UU (38 kali), dan rapat pengawasasn pelaksanaan APBN (24 kali). Selebihnya, rapat sebagai tindak lanjut temuan BPK, dll.

Yang juga terasa 'kejar tayang' ialah kunjungan kerja. Dalam kurun waktu 58 hari kerja, DPR mengadakan 48 kunjungan kerja ke berbagai daerah dan objek. Hitung-hitung nyaris saban hari ada kunjungan kerja. Hasilnya? Belum ketahuan. Yang sudah ada hasilnya baru kunjungan BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) ke sejumlah RS. DPR menego RS agar mau menjadi rujukan para anggota DPR dan keluarganya. Semua RS yang dikunjungi langsung menyatakan siap melayani anggota DPR dan keluarganya sebagai peserta jaminan kesehatan kelas utama.

Asal punya target

Penetapan AKD 2019-2024 berlangsung lebih cepat jika dibandingkan dengan DPR periode lima tahun lalu. Sistem pemilihan DPR periode sebelumnya dengan sistem paket dan yang sekarang dengan sistem proporsional.

Ketika itu, dengan sistem paket, DPR tersandera pertikaian berkepanjangan antara dua koalisi (Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih). Kini, dengan sistem proporsional, pemilihan pimpinan AKD bisa cepat, seolah seperti bagi-bagi kursi saja.

Soal target Prolegnas 2019 yang terdiri atas 248 RUU plus 5 RUU kumulatif terbuka. Berdasarkan target itu, rata-rata tiap tahun mereka harus merampungkan 50 RUU menjadi UU. Padahal, DPR periode sebelumnya, dari target 189 RUU untuk lima tahun yang diselesaikan cuma 90 atau kurang dari 50%. Artinya, rata-rata satu tahun mereka hanya menghasilkan 18 RUU.

Kini, DPR boleh dibilang terlalu ambisius dan kurang realistis dengan target 248 RUU untuk lima tahun. Mereka tidak mengukur kemampuan dalam menyelesaikannya menjadi UU. Mereka juga tidak mempertimbangkan kebutuhan yang sesuai dengan kepentingan rakyat dan program pemerintah. Bahkan, beberapa RUU diperkirakan berpotensi menimbulkan kegaduhan atau tak ada urgensinya bagi rakyat.

Walaupun dilakukan dalam tempo singkat, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ibnu Multazam, menepis anggapan bahwa penetapan daftar RUU yang disahkan pada Sidang Paripurna 17 Desember itu dilakukan serampangan. Menurut dia, prosesnya cukup panjang dengan rapat-rapat panitia kerja Baleg dan ada pula rapat maraton Baleg dengan pemerintah. Selain itu, mereka juga mengadakan kunjungan ke sejumlah provinsi untuk menjaring aspirasi rakyat akan kebutuhan hukum.

Apa pun dalihnya, penetapan target besar itu menunjukkan DPR masih mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas. Padahal, evaluasi kinerja legislasi DPR yang dilakukan Baleg pada awal November lalu sudah merekomendasikan agar selanjutnya DPR menyusun Prolegnas yang sederhana dan mementingkan kualitas.

Penetapan target 248 RUU itu menunjukkan DPR sekadar mau pasang daftar banyak. Dalam sistem anggaran, setiap nomor RUU yang diprolegnaskan kiranya ada hitung-hitungan biayanya. Selain itu, DPR juga dinilai kurang memperhatikan semangat omnibus law atau menyederhanakan perundangan-undangan dengan menggabungkan atau menghapuskan peraturan atau perundangan menjadi satu UU.

Tidak peduli kepentingan rakyat

Dalam kaitan dengan fungsi anggaran, pada awal November DPR menggelar rapat dengan Menteri Keuangan. Dalam rapat itu, pemerintah melaporkan bahwa penerimaan negara yang ditargetkan Rp2,16 triliun tidak tercapai. Realisasi sampai akhir Oktober hanya Rp1,5 triliun alias 69,69%. Apa pandangan DPR? Dewan hanya secara normatif menyarankan agar Menkeu memperkuat terobosan kebijakan yang lebih inovatif menghadapi tantangan pelemahan ekonomi nasional dan global.

DPR juga meminta Menkeu menyiapkan mitigasi atas pelaksanaan APBN. Sampai akhir tahun belum ditemukan solusinya, kecuali catatan bahwa target penerimaan negara belum tercapai.

Dalam kurun Oktober-Desember ini, pemerintah menurunkan enam kebijakan yang berdampak luas terhadap rakyat. Di antaranya Perpres 75/2019 tentang naiknya iuran peserta BPJS Kesehatan. DPR periode ini tampaknya kurang gigih berusaha mencegah keputusan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan. DPR hanya meminta untuk tidak ada kenaikan premi JKN bagi peserta, bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III. Alhasil, iuran peserta BPJS Kesehatan pun tetap dinaikkan.

Menghadapi kebijakan pemerintah dalam penangangan radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN) tampaknya DPR dingin-dingin saja. Kebijakan itu tertuang dalam SKB enam menteri dan lima kepala lembaga nonkementerian.

Begitu pula dengan rencana Menteri BUMN Erick Thohir dalam membenahi BUMN. Langkah Menteri Erick dilakukan bukan tanpa alasan. Soalnya, dari 142 BUMN yang ada, hanya 15 saja yang menyetor keuntungan kepada negara. Lainnya rugi atau bahkan minta suntikan modal. DPR masih santai dan belum jelas sikapnya.

Menanggapi rencana penghapusan ujian nasional (UN) untuk siswa pada 2021, DPR menghargai dan mendukung kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. DPR berkomitmen mengawal kebijakan Mas Menteri yang berdampak positif itu, yakni penghapusan UN diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

Dalam bidang pengawasan, DPR belum menunjukkan diri sebagai lembaga kontrol yang serius dalam mencermati kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas bagi rakyat. Pengawasan DPR belum menunjukkan kegigihannya membela kepentingan rakyat. Mungkin DPR baru meraba-raba. Apalagi sebagai anggota dewan yang baru dilantik, mereka bisa saja berdalih masih belajar.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya