Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Merdeka dari Rasywah

Jurnalis Media Indonesia Ade Alawi
20/8/2019 21:05
Merdeka dari Rasywah
Jurnalis Media Indonesia Ade Alawi(Dok Pribadi )

HARAP-harap cemas mewarnai seleksi calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seleksi capim lembaga antirasywah kini memasuki uji publik hingga akhir Agustus untuk menjaring masukan dari masyarakat terhadap 40 calon yang lolos tes psikologi.

Selanjutnya pada awal September akan dilakukan wawancara bagi yang lulus uji publik untuk mencari 10 capim yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Presiden kemudian akan menyerahkan kepada Komisi III DPR RI untuk dilakukan fit and proper test. Parlemen nantinya akan memilih lima nama yang akan menjadi pimpinan KPK periode 2019-2024.

Wajar bila kecemasan publik menguat setelah melihat mereka yang lolos bukan dalam barisan sosok yang kuat rekam jejaknya dalam pemberantasan korupsi.

Terlebih, mencuat pula keputusan dari Panitia Seleksi Capim KPK yang tidak mensyaratkan para calon melampirkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) saat mereka mendaftar. Pansel memutuskan syarat LHKPN ketika mereka terpilih sebagai capim KPK.

Terlepas dari riuh rendah kecemasan publik akan masa depan lembaga yang bertugas memerangi rasywah, sejatinya jihad melawan penggarong uang negara menjadi tugas bersama. Artinya, tidak semata-mata diserahkan kepada lembaga pemberantasan korupsi.

Meski KPK akan menjadi motor perang melawan korupsi dengan segala kewenangan istimewanya, hal itu belum cukup untuk membuat ciut nyali para koruptor melancarkan aksi.

Baca juga: Mabrur Sampai Akhir Hayat

Bayangkan, KPK jilid IV masa bakti 2015-2019 di bawah komando Agus Rahardjo adalah periode yang sangat tinggi frekuensi Operasi Tangkap Tangan (OTT)-nya, sehingga bisa disebut terbanyak dalam sejarah KPK. Bahkan, di penghujung jabatannya, lembaga ini masih getol menggelar OTT.

Pertanyaannya, sampai kapan OTT? Pemberantasan korupsi yang berorientasi pada penindakan tidak akan menyelesaikan masalah. Pasalnya, pemberantasan korupsi seharusnya dari hulu sampai hilir.

Penguatan aspek hulu seperti penguatan sistem yang membuat penyelenggara negara sulit untuk melakukan korupsi harus dilakukan. Namun, man behind the gun, di belakang sistem itu adalah faktor sumber daya manusianya yang mengendalikan sistem harus dibenahi. Penguatan integritas aparatur negara sangat menentukan bagaimana sebuah sistem bisa berjalan dengan baik, sehingga menutup celah untuk melakukan praktik lancung.

Masih di sektor hulu, upaya menciptakan kesadaran di masyarakat untuk tidak korupsi, baik kecil-kecilan atau gede-gedean, adalah variabel determinan yang bisa mencegah praktik haram berkembang menjadi habitus korupsi di masyarakat.

Dalam budaya paternalistik, keteladanan dari para pemimpin ikut menentukan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan kehidupan yang bebas korupsi. Lingkungan-lingkungan antikorupsi harus diciptakan sebanyak mungkin, mulai dari keluarga, sekolah, dan organisasi lainnnya. Sikap hidup yang menghargai proses (process oriented) akan meminimalisasi mental menerabas yang selalu berorientasi kepada hasil (result oriented).

Di usia kemerdekaan ke-74 tahun, menjadi keniscayaan apabila kita melakukan refleksi, sejauhmana kita sudah memperjuangkan cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers), yakni menciptakan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Kemakmuran tentu saja jauh panggang dari api jika korupsi di republik ini. Kekayaan negara masih dihisap oleh sebagian kalangan yang memiliki akses terhadap sumber keuangan negara. Para pelaku dengan berbagai peran secara berjemaah berpesta pora menjarah keuangan negara.

Bila korupsi masih menggejala, bahkan menjadi-jadi, tidak ada maknanya lagi kemerdekaan. Bersatu, berdaulat, dan adil, hanya akan impian yang kian jauh dijangkau.

Peringatan kemerdekaan yang dirayakan secara gegap gempita dari kota hingga ke pelosok desa dengan aneka ragam kegiatan yang kompetitif, gotong royong, dan menghibur, perlu dijadikan momentum dibangunnya nasionalisme antikorupsi.

Bila di zaman pergerakan kemerdekaan, nasionalisme dibangun untuk melawan kolonialisme, maka nasionalisme saat ini di masa pembangunan adalah menciptakan masyarakat yang bersih dan bebas korupsi. Terlebih korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) sesuai konsideran UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Seiring dengan itu, menjadikan korupsi sebagai musuh bersama (public enemy) perlu digelorakan di masyarakat. Kesadaran kolektif sebagai bangsa untuk merdeka dari korupsi akan menjadi kekuatan dahsyat menuju terwujudnya cita-cita para pendiri bangsa. Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan disegani di antara bangsa-bangsa.

Dari mana memulai semua itu? Tentu dari diri sendiri untuk menjauhkan dari gaya hidup yang hedonistik. Ulama yang juga penyair KH Mustafa Bisri pernah mengutip sebuah hadis bahwa hubbu ad-dunya ra’su kulli khathi’ah, artinya cinta dunia adalah sumber malapetaka. Saatnya merdeka dari rasywah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya