Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Relasi Kuasa dan Langkah Politik Megawati

Jurnalis Media Indonesia Irvan Sihombing
26/7/2019 19:09
Relasi Kuasa dan Langkah Politik Megawati
Jurnalis Media Indonesia Irvan Sihombing(Dok Pribadi)

FILSUF asal Prancis, Michel Foucault dikenal dengan pemikiran relasi kuasa dan pengetahuan (Haryatmoko: 2004). Ia mendedikasikan sebagian besar karier intelektualnya untuk membedah bagaimana kuasa dipraktikkan, diterima, dan dilihat sebagai kebenaran.

Bagi Foucault, kuasa bukan semata-mata sesuatu yang dimiliki. Contoh kuasa model ini ialah seorang bos berkuasa memutasi karyawan ke pos 'lahan kering' lantaran tidak bisa diajak kongkalingkong. Contoh lain ialah kakak senior bebas memelonco junior di kampus.

Akan tetapi, bukan itu yang menjadi perhatian Foucault. Ia lebih tertarik untuk membedah jenis kuasa yang tersebar dan berada di mana-mana. Kuasa yang bermain di tempat yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya termasuk dalam dialektika ilmiah.

Menurut Foucault, ada dua jenis kuasa yakni represif dan normalisasi (normalization power). Normalization power itu yang menjadi perhatian Foucault karena membentuk apa yang kita percayai, apa yang kita inginkan, dan apa yang menjadi keputusan kita.

Normalization power memberikan ide bahwa hal-hal itu merupakan keyakinan, hasrat, dan keputusan kita sendiri. Tidak ada satupun yang memaksakan hal-hal tersebut kepada kita.

Contoh sederhana dari normalization power ialah seseorang akan mengembalikan dompet yang terjatuh ke sang pemilik berikut seluruh uang di dalamnya. Seseorang juga tidak akan pernah berpikir mencuri saat berbelanja ke supermarket.
   
Dompet terjatuh dikembalikan ke pemilik karena itulah yang seharusnya dilakukan oleh 'orang baik-baik'. Orang tidak mencuri di supermarket karena berpandangan hanya pelaku kejahatan yang berbuat demikian.

Contoh-contoh di atas hendak memberikan kontras bahwa kuasa tidak melulu soal siapa yang memiliki tetapi bagaimana kuasa beroperasi. Foucault meyakini kuasa bukanlah milik melainkan strategi.

Pemikiran Foucault tentang normalization power dapat kita bawa ke konteks perpolitikan Indonesia. Salah satu tokoh politik yang berpengaruh di Tanah Air misalnya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Megawati sudah menjadi ketua umum sejak 22 Januari 1993 ketika itu PDIP masih bernama PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Itu artinya Mega sudah berkuasa sejak 26 tahun atau hampir tiga dekade. Sebagai ketua umum, ia tentu memiliki sejumlah instrumen untuk melanggengkan kekuasaan.

Bila ingin menggunakan pemikiran Foucault sebagai pisau analisis, yang menarik untuk diteliti bukanlah soal instrumen kekuasaan milik seorang ketua umum, melainkan bagaimana kader partai berlambang banteng moncong putih itu melihat sosok ketua umum partai yang 'itu-itu terus' sebagai sesuatu yang normal.

Foucault meyakini relasi kuasa dan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan.

Dalam hal ini, menarik untuk diketahui pengetahuan seperti apa yang diproduksi Megawati dalam konteks seorang ketua umum sehingga seluruh kadernya taat. Pengetahuan seperti apa yang ia produksi sehingga kader-kader akan melihat sesuatu yang tidak sejalan dengan perintah Megawati sebagai 'tidak normal'.

Untuk mengetahui pengetahuan seperti apa yang diproduksi, kita bisa mencermati bagaimana wacana beredar. Megawati adalah anak biologis bapak proklamator Indonesia, Soekarno.

Dan turunannya, Megawati seakan juga mewarisi penderitaan yang dialami sang ayahnya selama masa Orde Baru. Megawati kemudian melawan dan terus berjuang hingga Orde Baru runtuh. Buah dari perlawanan itu membuat partai besutannya menjadi pemenang Pemilu 1999.

Akan tetapi, meski PDIP memimpin perolehan kursi di DPR, Megawati gagal menjadi Presiden berdasarkan hasil pemilu. Meskipun, pemilihan presiden dan wakil presiden saat itu dilakukan oleh anggota MPR. Selama 1999-2001, Megawati menjadi orang nomor dua di republik ini mendampingi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Perlawanan Megawati terhadap ketidakadilan berlanjut. Ia melawan dalam diam terhadap kenyataan dirinya menjadi wakil presiden.

Hingga akhirnya, pada 23 Juli 2001, perempuan bernama asli Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri itu akhirnya bisa menjadi pemimpin Indonesia setelah Sidang Istimewa MPR pada 2001. Sidang Istimewa MPR itu terkait langkah Presiden Gus Dur yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Dalam periode itu, Megawati berdampingan dengan Hamzah Haz.

Pada 2004, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi harus mengakui kekalahan dalam pemilu menghadapi dua mantan pembantunya di kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla. Dan pada 2009, Megawati yang menggandeng Prabowo Subianto juga tidak mampu menyaingi SBY yang berpasangan dengan Boediono.

Selama dua periode itu, PDIP tidak memiliki kader yang menjadi anggota kabinet. Hingga pada 2014, Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla memenangi pemilihan menghadapi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Dan selama dua periode kepemimpinan SBY, wacana 'pemberani' dan 'penentang ketidakadilan' yang hadir sejak sebelum Megawati menduduki pucuk pimpinan bangsa ini terus dikembangbiakkan. Melalui narasi dan wacana tersebut kader-kader PDIP meneguhkan sosok Megawati. Sehingga, ketidakhadiran kader PDIP di kabinet SBY diwacanakan sebagai wujud keberanian Megawati.

Wacana yang merupakan wujud dari pengetahuan sekaligus produksi kuasa bekerja lewat cara yang lebih halus dan kurang terlihat. Wacana membentuk apa yang kader-kader partai percayai, apa yang mereka inginkan, dan apa yang kemudian menjadi keputusan mereka.

Megawati dan Prabowo pernah bermitra saat Pemilu 2009. Sejak itu, langkah politik mereka sebagai rival karena PDIP memilih mengusung Joko Widodo dan tidak mendukung langgam Prabowo.

Baca juga: Catatan Sebelum Evaluasi Pemilu Serentak 2019

Setelah palu hakim konstitusi diketuk dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengesahkan Joko Widodo sebagai presiden terpilih 2019-2024, rivalitas Mega-Prabowo berakhir. Bukan tidak mungkin, pertemuan tersebut akan menjadi pintu masuk menuju Pemilu 2024.

Kader-kader PDIP yang sudah 'terdisiplinkan' tentu tidak akan melawan Megawati bila memang benar berkoalisi dengan rival mereka. Termasuk, bila kader PDIP harus berupaya keras mengegolkan perwakilan Gerindra duduk sebagai Ketua MPR 2019-2024 demi pentas kekuasaan lima tahun mendatang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya