Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DEBAT pasangan Capres dan Cawapres 2019 akan lebih menantang ketimbang pergulatan dengan insinuasi (sindiran) dan praktik-praktik antipolitik lainnya. Para kandidat dapat menjelaskan gagasan mereka, menyerang proposal lawan, dan bertahan dari kritisisme dengan sejumlah argumentasi. Kontestasi semacam itu berpeluang menyumbang kemajuan diskursus politik dan demokrasi.
Selain memungkinkan diseminasi gagasan kandidat lewat liputan meluas media, debat tersebut juga memberi kesempatan publik pemilih untuk membandingkan pasangan kandidat. Melengkapi pendekatan otentik, pasangan kandidat dengan keunggulan integritas, kapabilitas, dan personalitas, dapat menggerakkan publik untuk datang memilih mereka pada 17 April 2019 nanti.
Kontestasi gagasan
Sejak diperkenalkan seiring bermulanya pemilihan langsung presiden dan wakil presiden pada 2004, debat antarkandidat secara umum belum memberi kontribusi memadai. Dari sisi kandidat, debat sebagai bagian kampanye belum menghasilkan lonjakan dukungan. Adapun dari sisi pemilih, debat serupa belum menyumbang pencerdasan berarti yang menjadikan publik lebih rasional.
Hal ini tidak lepas dari model pemasaran politik terdahulu, yang lebih banyak mengeksploitasi personalitas dan citra diri kandidat dibandingkan mengeksplorasi visi, misi, dan program aksi. Padahal, selain status, yang memberi kesan tentang karakter sang kandidat, kampanye cerdas, mestilah pula tentang actus, yang meyakinkan tawaran tindakan dalam program dan kebijakan.
Khusus bagi para kandidat, debat tersebut sangat strategis untuk memengaruhi perilaku calon pemilih. Di dalamnya pasangan kandidat bukan hanya dapat menjelaskan detail gagasan mereka, melainkan juga bisa menyerang gagasan lawan atau mempertahankan pandangan sendiri dari serangan lawan. Perdebatan yang hidup dapat mendorong keterlibatan audiens menjadi pemilih kritis.
Pada paruh pertama masa kampanye Pemilu 2019, terdapat tiga hambatan besar yang menghalangi hadirnya proses politik yang cerdas sekaligus kritis. Pertama, berlanjutnya politik kebencian berbasis identitas. Kedua, insinuasi mengarah tudingan keburukan lawan. Ketiga, penyebarluasan disinformasi demi menciptakan kebingungan publik maupun untuk memukul lawan.
Ambisi untuk merebut kekuasaan, sedemikian rupa, telah melalaikan sebagian politikus dari praktik etis untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Yang lebih mengemuka justru beragam cara untuk menjatuhkan lawan lewat reproduksi insinuasi dan disinformasi. Terdampak kebencian, polarisasi tajam antarkelompok cenderung mengarah pada suatu tribalisme politik.
Adalah normal bahwa petahana cenderung menjadi target dalam pesan-pesan kampanye yang ofensif. Namun, politik kebencian dan kebohongan sama sekali tidak terkait dengan kelemahan yang mungkin diidap kebijakan pemerintah berkuasa. Lebih daripada itu, hoaks dan pesan-pesan bernada ancaman bahkan mengarah pada upaya untuk melakukan delegitimasi penyelenggaraan Pemilu.
Debat antarkandidat yang dimulai pada 17 Januari 2019 besok dapat menjadi momentum untuk mengembalikan esensi kampanye sebagai bagian komunikasi politik yang mencerdaskan. Dibandingkan menyuguhkan drama konfliktual, publik pemilih sebenarnya lebih menunggu kontestasi gagasan argumentatif yang mencerminkan integritas, kapabilitas, dan
personalitas para kandidat.
Mengesankan pemilih
Studi William L Benoit (2013) menunjukkan bahwa dalam debat kampanye politik, para kandidat lebih banyak melakukan pendakuan atas karakter, capaian –terutama bagi petahana, dan rencana-rencana mereka dibandingkan menyerang lawan. Sementara, laporan-laporan media cenderung lebih kritis dibandingkan sekadar merinci pendakuan para kandidat dalam debat semacam itu.
Debat antarkandidat dapat berlangsung sengit. Tetapi, para kandidat selalu ditantang untuk menemukan suatu keseimbangan antara tampak unggul dibandingkan lawan dan tampak simpatik di hadapan audiens. Adu argumentasi, yang mengajak lawan debat maupun audiens untuk menalar gagasan, dapat jauh lebih meyakinkan dibandingkan insinuasi, yang sekadar berisi tudingan bahkan cemooh.
Panggung debat merupakan juga suatu gelanggang untuk menunjukkan titik keseimbangan antara karakter dan gagasan. Tidaklah cukup bagi para kandidat untuk mengesankan publik pemilih lewat kualitas karakter mereka. Gagasan yang masuk akal dan bersesuaian dengan kepentingan lebih inklusif dapat dikemas dalam suatu strategi pemasaran politik yang hidup dari diskursus publik.
Menimbang luasnya tema debat dan kompleksnya masalah nasional, para kandidat memang perlu menguasai secara ekstensif berbagai lingkup persoalan. Namun, pada akhirnya, publik pemilih cenderung berfokus pada objek tertentu sesuai kepentingan dan preferensi mereka. Kandidat yang mampu membaca kecenderungan mayoritas kiranya memiliki peluang lebih baik untuk unggul.
Penting pula untuk dipahami bahwa debat antarkandidat bukanlah suatu deskripsi sederhana. Selain menjelaskan tentang ‘apa’ program yang ditawarkan, dalam situasi kompetitif, para kandidat perlu menerangkan secara komprehensif ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ suatu program itu masuk akal. Hal ini mungkin berefek ganda mendapatkan nilai pemberitaan media sekaligus meyakinkan calon pemilih.
Debat antarkandidat biasanya cukup menentukan untuk menggaet dukungan pemilih bimbang, yang secara umum lebih rasional. Menimbang hal tersebut, para kandidat perlu menegaskan dan memelihara otentisitas. Dalam suatu pemilu dengan nuansa personalized politics, otentisitas itu dapat dibentuk antara lain melalui konektivitas dengan massa pemilih dalam suatu gerak bersama (Gillies, 2018).
Lebih daripada cara berpakaian atau gaya retorika tertentu, otentisitas politik dapat kukuh terbangun dari pertautan gagasan –yang tidak harus baru. Tetapi dapat pula rebranding gagasan terdahulu– untuk menggerakkan perubahan sosial. Harapannya, perdebatan sebagai kontestasi gagasan argumentatif dapat menjadi filter untuk memilah pemimpin unggul yang otentik dari yang superfisial.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved