Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
KEMENTERIAN Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memperkenalkan kebijakan baru terkait dengan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) 2019. Menristek-Dikti Mohamad Nasir, sebagaimana dilaporkan sejumlah media, menyebutkan terdapat beberapa ketentuan baru yang berbeda terkait dengan SMPTN 2019 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang meliputi; kedudukan institusi penyelenggara, prosedur pendaftaran, dan administrasi tes. Kebijakan SMPTN 2019 akan mengacu pada prinsip adil, transparan, fleksibel, efisien, dan akuntabel. Kebijakan ini juga mencakup pemanfaatan kemajuan teknologi informasi di era digital (paperless test).
Hal yang menarik untuk dicermati dari kebijakan baru ini, antara lain; pertama, dibentuknya Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), yang disebutkan merupakan lembaga permanen, independen, dan bersifat nirlaba. Kebijakan yang satu ini bukan saja menarik, tapi juga patut diapresiasi. Selama ini ujian masuk perguruan tinggi hanya diselenggarakan kepanitiaan yang bersifat sementara dan anggotanya silih berganti sehingga riset dan pengembangan instrumen belum dapat dilakukan dengan baik. Karena bersifat adhoc, tenaga yang dilibatkan untuk mengelola ujian juga lebih banyak berdasarkan penugasan, bukan keahlian dan komitmen. Padahal, teknologi testing dalam dua dekade ini sudah sangat maju dan berkembang sehingga membutuhkan tenaga yang memiliki keahlian khusus untuk mengelolanya agar prinsip-prinsip dasar tes, seperti valid, reliable, adil, dan hasilnya dapat dibandingkan, dapat diwujudkan.
Kedua, digunakannya dua macam jenis tes yang substansi materinya sangat berbeda, yaitu tes potensi skolastik (TPS) dan tes kompetensi akademik (TKA). Jika instrumen tes yang pertama basisnya bisa di luar mata pelajaran atau beyond curriculum; sedangan yang ke dua ialah alat tes yang disusun berdasarkan kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran (achievement test).
Ketiga, administrasi tes dilakukan lebih awal, artinya peserta dapat menempuh ujian masuk PTN tanpa harus menunggu ujian akhir/ujian nasional jenjang SLTA. Kesempatan untuk menempuh tes pun diberikan dua kali sehingga peserta punya peluang untuk memperbaiki perolehan hasil (skor tes) sebelum digunakan untuk melamar ke PTN. Namun, Kemenristek-Dikti belum (mungkin terlewatkan) menjelaskan secara teknis tentang bagaimana penggabungan (composite scores) kedua jenis skor tes yang sangat berbeda substansinya itu. Apabila masing-masing tes itu akan dianalisis secara terpisah, bagaimana menetapkan bobot untuk masing-masing jenis tes itu, dan kenapa? Penjelasan ini perlu disampaikan (menjadi bagian dari test manual) atau dalam bentuk petunjuk teknis pelaksanaan, kepada para peserta tes. Mereka bisa membuat persiapan dan strategi yang benar dalam menempuh ujian tulis berbasis komputer (UTBK).
Keempat, meskipun UTBK dengan menggunakan dua macam jenis tes diyakini akan lebih menjamin keadilan, kenapa SNMPTN melalui jalur undangan masih dipertahankan dengan porsi minimal sebesar 20% dari kuota bangku yang ditawarkan? Bukankah akan lebih adil dan efisien apabila SNMPTN melalui jalur undangan ini dihapuskan? Apalagi, nilai rapor yang digunakan untuk kepentingan ini ditengarai masih banyak yang bermasalah. Apabila akan tetap dipertahankan, hendaknya jalur undangan ini diarahkan kepada sekolah-sekolah di daerah tertentu saja, yang kualitas SDMnya masih rendah dan terbatas sehingga dapat membantu mereka lebih cepat maju dan berkembang (affirmative actions).
Begitu juga dengan jalur mandiri (30%), apakah masih patut dipertahankan? Bukankah dengan diselenggarakannya UTBK lebih awal memungkinkan panitia seleksi masing-masing universitas (admission committee) untuk bekerja lebih panjang dalam proses penyaringan calon? Selain itu, panitia seleksi universitas dimungkinkan untuk meminta informasi akademik tambahan jika diperlukan agar bukti-bukti validitas (validity evidences) yang digunakan sebagai dasar pembuat keputusan seleksi akan lebih kuat.
Seleksi masuk perguruan tinggi diselenggarakan untuk mengetahui apakah calon yang diterima akan mampu mengikuti/menyelesaikan perkuliahan dengan baik; sedangkan studi yang dilakukan untuk memperoleh informasi ini disebut predictive validity study. Sebaliknya, ujian kelulusan (seperti ujian nasional), bertujuan mengetahui penguasaan siswa terhadap kurikulum yang sudah diajarkan selama periode tertentu, bisa tiga tahun (SLTA/SLTP) atau enam tahun (SD). Pertimbangan utama dalam membuat interpretasi hasil skor tes peserta ujian ialah validitas. Konsep validitas ini sebelumnya dipahami sebagai sebuah konsep yang terfragmentasi yang terdiri atas; content validity, criterion-related validity (meliputi concurrent validity dan predictive validity), dan construct validity sehingga sering mengantarkan praktisi penilaian/peneliti kepada kebingungan dan berpikir secara keliru.
Unified validity
Studi validitas dilakukan untuk membuktikan bahwa kegiatan interpretasi dan pemanfaatan hasil skor tes yang ada sudah sesuai dengan tujuan diselenggarakan ujian (Messick: 1988). Jadi, validitas itu sebenarnya berkaian dengan proses interpretasi dan penggunaan terhadap skor yang diperoleh dari hasil tes. Validitas itu tidak melekat pada sebuah alat tes. Mengatakan bahwa tes itu valid atau tidak akan dianggap sebuah kekeliruan (misleading).
Karenanya, sebuah hasil tes akan mengandung nilai indeks validitas, apakah digunakan untuk tujuan prediksi (predictive validity) atau mengukur keberhasilan belajar/kurikulum sebelumnya (content validity). Yang membedakan hanya tingkatnya. Jika alat tes itu didesain khusus untuk mengukur keberhasilan belajar/kurikulum, indeks validitas kecenderungannya diduga akan lebih tinggi. Selanjutnya, bagaimana cara kita menilai apakah proses interpretasi hasil ujian itu sudah dilakukan secara valid?
Untuk keperluan ini, kita harus membuat sejumlah pertanyaan, antara lain apakah hasil skor tes itu sudah merupakan alat ukur yang sesuai dan tepat untuk tujuan dimaksud, yaitu untuk mengukur keberhasilan belajar di SLTA sebagai misal.
Atas dasar itu, bukti-bukti validitas yang diperlihatkan harus mampu membuktikan bahwa skor yang diperoleh benar sudah mengukur pengetahuan dan keterampilan, sebagaimana yang diuraikan pada tujuan kurikulum. Terdapat banyak sekali bukti yang perlu dikumpulkan untuk melakukan kegiatan interpretasi terhadap hasil skor tes itu. Kita dapat menunjukkan bahwa instrumen tes yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan diselenggarakan suatu tes. Apabila kita tidak mampu menunjukkan seluruh bukti di muka, validitas interpretasi yang dibuat terhadap hasil skor tes sangat lemah.
Selain itu, kita juga harus mampu membuktikan bahwa skor yang tinggi yang diperoleh siswa bukan semata-mata sebagai akibat dari test wiseness, yaitu kemampuan siswa menjawab soal dengan benar sebagai akibat dari format soal pilihan ganda, menyontek, dan seterusnya. Lebih dari itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa skor rendah yang diperoleh siswa bukan hanya semata-mata disebabkan oleh faktor kegugupan pada diri siswa pada saat ujian. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa latar belakang budaya siswa tidak membawa pengaruh terhadap kemampuan mereka menjawab soal tes dengan benar. Semua faktor yang disajikan di muka, dapat merupakan ancaman terhadap interpretasi validitas sebuah alat ukur yang digunakan untuk mendeteksi penguasaan pengetahuan dan keterampilan siswa terhadap suatu kurikulum.
Kesimpulan
Kita harus mampu menunjukkan bukti dan penalaran yang logis untuk membuat keputusan pemanfaatan atas hasil skor tes, baik itu untuk keperluan seleksi atau kelulusan (sertifikat). Untuk keperluan itu, kita tidak bisa hanya berpatokan pada hasil satu kali tes dan mengklaim bahwa kita sudah memiliki hasil yang valid serta dapat digunakan untuk berbagai keperluan.
Atas dasar ini, panitia seleksi masuk perguruan tinggi yang berada di tiap-tiap universitas, meskipun UTBK sudah menggunakan dua jenis tes berbeda, disarankan untuk juga mempertimbangkan informasi akademik dan nonakademik tambahan, seperti hasil UN, nilai rapor, prestasi pada berbagai kegiatan ilmiah, pengabdian masyarakatan, dan olahraga untuk melengkapi bukti sebelum menetapkan/menerbitkan keputusan seleksi. Wallahu a’lam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved