Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Jokowi dan Politisi Sontoloyo

Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang
25/10/2018 05:15
Jokowi dan Politisi Sontoloyo
(Thinkstock)

DI acara pembagian 5000 sertifikat tanah di lapangan sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada 22 Oktober 2018, Presiden Jokowi meradang. Di sela-sela pengarahannya, ia menyuruh masyarakat hati-hati terhadap politisi karena ada politisi yang baik-baik, tetapi juga ada politisi yang sontoloyo (konyol, tidak beres, bodoh). Terlontarnya kalimat nyelekit tersebut terkait dengan rencana pengguliran dana kelurahan pada tahun depan.

Jokowi heran, anggaran senilai Rp3 triliun yang diambil dari alokasi dana desa itu masih juga diributkan oleh sejumlah politisi. Menurut presiden, dana itu semata-mata untuk menjawab kebutuhan infrastruktur dan upaya menyejahterakan rakyat (kelurahan). Menkeu Sri Mulyani sudah mengatakan, masih banyak kelurahan di Indonesia yang miskin dan memiliki anggaran minim yang potensial melahirkan tensi kecemburuan dengan desa (Media Indonesia.com, 22/10/2018).

Lebih dari sekadar marah, ungkapan ‘sontoloyo’ oleh presiden bisa dibilang sebagai penguatan frekuensi komitmen politik anggaran Pemerintahan Jokowi, yang berbasis langsung pada kesejahteraan rakyat lewat pembangunan infrastruktur untuk masyarakat (tertinggal). Hal tersebut bisa dilihat pada komitmen peningkatan anggaran infrastruktur tiap tahun. Pada 2015, misalnya, anggaran infrastruktur sebesar Rp256,1 triliun, dan di 2016 naik menjadi Rp269,1 triliun. Di 2017, anggaran itu naik menjadi Rp388,3 triliun. Hingga kemudian meningkat lagi menjadi Rp410,7 triliun di 2018.

Sekadar ambisi

Lantas, apakah kenaikan itu sekadar ambisi-populis kebijakan presiden? Ini yang selalu dipertanyakan sebagian politisi. Sama persis manakala Jokowi memutuskan mencabut subsidi bahan bakar minyak dan listrik untuk dialihkan kepada pembangunan infrastruktur di daerah luar Jawa, yang di era Orba merupakan ‘kubangan’ dari ‘sejuta’ diskriminasi dan ketertinggalan akibat rezim pembangunan yang sentralistis.

Jokowi tak peduli kebijakannya akan ditentang dan dicibir banyak pihak, termasuk ketika kebijakannya itu akan mengorbankan popularitas dan elektabilitasnya. Bagi presiden, melihat RI tentu bukan hanya dari Jawa saja yang sudah dipenuhi ‘hutan-hutan besi’ dengan segala lanskap keangkuhan modernitasnya. Indonesia ialah imajinasi dan keyakinan bersama yang koherensial dengan rasa keadilan dan kepastian berbangsa.    

Maka Indonesia harus juga dipandang dari wilayah lain, termasuk dari wilayah Timur (luar Jawa) melalui sentuhan infrastruktur. Ini ialah kata kunci kebijakan untuk mengeliminasi lebarnya kesenjangan pembangunan Jawa-luar Jawa sehingga aktivitas dan pertumbuhan ekonomi masyarakat periferial yang selama ini dipandang sebelah mata, bisa tumbuh menggeliat.

Memang efek dari geliat pembangunan tersebut tidak bisa langsung dirasakan saat ini. Implikasinya secara efektif akan terbaca dan dinikmati rakyat dalam jangka panjang. Namun, bukankah sejumlah data empiris sudah menunjukkan progresivitas secara sosial maupun ekonomi di balik pembangunan tersebut? Sebut saja proyek ketenagalistrikan yang berhasil menerangi 1,7 juta rumah tangga baru (6,7 juta jiwa), proyek air bersih, dan irigasi yang telah meningkatkan kapasitas air hingga 10,140 liter per detik sehingga memenuhi kebutuhan air bersih untuk 1,5 juta rumah tangga (5,8 juta jiwa) atau proyek irigasi yang telah mengairi 96 ribu hektare area persawahan.

Ini belum termasuk dampak konektivitas jalan, bandara, dan pelabuhan yang tidak hanya dinikmati masyarakat di sekitar insfrastruktur tersebut, tetapi juga masyarakat umum (FGD Lansekap Dasawarsa Infrastruktur Indonesia, 14 Agustus 2018).
Di sisi lain, tak sedikit yang menilai statement Presiden Jokowi tentang ‘politikus sontoloyo’ tersebut merupakan ekspresi kemarahan yang tak tertahankan dari berlapis-lapisnya fenomena ‘politik konfrontatif’ yang terjadi belakangan, manakala ruang kekuasaan dihujani sinisme dan kritik yang tidak konstruktif.

Presiden juga manusia. Ia mungkin sudah jengah dengan ruang politik yang digerojoki kegaduhan dan residu isu yang tak perlu, yakni politisasi segala isu melimpah dan meluber melampaui kapasitas berpikir rakyat, yang membuat rakyat tidak lagi bisa menakar mana yang benar dan mana yang irasional.

Politik dipersonalisasi dengan kerapuhan para politisi menyelami data, melakukan verifikasi, dan membaca berbagai isu dan persoalan secara jernih dan objektif. Yang muncul ke ruang publik ialah informasi dan penggiringan opini sesat. Termasuk memprovokasi rakyat untuk memfalsifikasi apa pun yang dikerjakan oleh kekuasaan.  

Menghukum politisi

Bagi kita yang menjadi penonton dari segala keruwetan politik, yaitu yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Ketika etika dan moralitas kian dikesampingkan dan diganti dengan kehebohan politik yang nir-substantif, di panggung-panggung pembicaraan politik penuh ‘silat lidah’ itu, istilah ‘sontoloyo’ mungkin bisa menjadi diksi yang adaptif. Cocok untuk membongkar ruang kesadaran politisi yang selama ini asyik dan larut dalam glorifikasi politik instrumental Machiavelli-nya yang potensial melahirkan rusuh.

Segala cara dan strategi diborong dan diaktualisasi demi mengejar kepentingan elektoral. Pencitraan politik yang hanya melemahkan energi kolektif bangsa untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Kita butuh wajah politik yang lebih adem. Menyejukkan dengan nuansa dialogis mencari kebenaran yang semestinya di atas falsafah etis dan moral. Bukan wajah politik bertopeng yang pintar mendramatisasi segala keadaan secara dramaturgi: di depan sama-sama berikrar kampanye damai dan anti-SARA, tapi di belakang diam-diam menginisiasi politik jalan pintas.

Rakyat kini sudah semakin cerdas dan kritis untuk memutuskan masa depannya. Termasuk kemana ia harus melabuhkan pilihan politiknya. Meminjam konsepsi Walter Lipman (1922): picture in our head (gambaran-gambaran di kepala kita) bahwa individu (rakyat) bertindak tidak dengan kepala kosong ketika melakukan konstruksi terhadap realitas.

Di kepala mereka telah terbentuk gambaran, merupakan akumulasi, kristalisasi pengalaman yang tanpa disadari memengaruhi kecenderungan kognitifnya untuk mempercayai apa yang menurutnya benar dan terbukti. Dengan politik yang kegaduhan dan irasionalitasnya makin tak terurai ini, rakyatlah sendiri yang akan menghukum politisinya dengan tidak lagi mempercayai jargon atau slogan-politik an-sich. Melainkan, lebih mempercayai yang slogan dan kerja yang sudah terbukti dan dirasakan langsung.    

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya