Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
INDONESIA jangan lagi dipandang sebagai supermarket bencana, tapi lebih dalam lagi sebagai laboratorium bencana yang memberikan energi positif bagi masyarakat. Posisi geografi dan geologi Indonesia membuat bangsa ini kerap dihampiri bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, longsor, letusan gunung berapi, dan banjir. Di samping kombinasi fenomena alam, perilaku manusia juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap bencana.
Peningkatan populasi dan urbanisasi yang tidak dikontrol dengan baik tentu akan menjadi tantangan tersendiri sehingga dapat menyebabkan degradasi lingkungan (konversi lahan dan deforestasi). Hal itu akan diperparah oleh penataan ruang yang tidak tepat dan tata kelola yang tidak baik, serta lemahnya pengendalian.
Tantangan penegakan hukum juga menjadi masalah dan berkontribusi terhadap bencana ketika regulasi dan kewenangan belum sepenuhnya diimplementasikan. Semua hal itu didukung juga oleh budaya kesadaran terhadap bencana yang belum tumbuh dengan baik di tengah masyarakat.
Kerangka kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2015-2030 telah menyusun prioritas aksi dalam menghadapi tantangan risiko bencana. Pertama, memahami risiko bencana. Kedua, memperkuat tata kelola risiko bencana dan manajemen risiko bencana. Ketiga, investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan. Keempat, untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif, dan untuk build back better dalam pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Pengurangan risiko bencana ialah investasi, yang di dalamnya mencakup pencegahan, kesiapsiagaan, dan pemberdayaan masyarakat. Cara-cara penanganan bencana saat ini seharusnya dilakukan secara holistik. Penanganan dilakukan pada semua fase, mulai prabencana, pada saat dan pascabencana. Hal tersebut dilakukan pemerintah, masyarakat, serta dunia usaha.
Tangguh bencana
Kejadian bencana Palu, Sigi, dan Donggala menambah deretan catatan kebencanaan yang terjadi di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga saat ini mencatat setidaknya telah terjadi 362 kali kejadian gempa bumi di Provinsi Sulteng. Kekuatan gempa Palu dan Donggala mencapai 7,4 SR yang mengakibatkan bencana susulan berupa tsunami di sepanjang pantai Talise, Kota Palu, dan di sepanjang pantai di Kabupaten Donggala.
Bencana alam itu juga disertai likuifaksi, yaitu kondisi yang terjadi akibat goncangan gempa yang memampatkan tanah berpasir yang menyebabkan air dari lapisan tanah terdorong dan mengalir ke permukaan.
Kondisi bencana Palu, Sigi, dan Donggala dapat dikatakan sebagai bencana alam terparah sepanjang 2018. Bencana datang silih berganti, bertubi-tubi menghantam Sulteng. Efek yang ditimbulkan akibat kejadian bencana alam itu mengakibatkan kerusakan dan kerugian serta menghambat proses pembangunan.
Salah satu target utama dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 ialah penurunan indeks risiko bencana pada 2019 sehingga dirasa perlu pertimbangan besaran kontribusi dari teknologi penanggulangan risiko bencana (TPRB).
Kerugian sementara akibat kerusakan yang disebabkan gempa dan tsunami di Palu, Sigi, Donggala, dan daerah lain di Sulteng kurang lebih mencapai Rp10 triliun, lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan gempa Lombok. Angka tersebut diperoleh dari hasil perhitungan BNPB yang dilakukan oleh tim Damage and Loss Assessment.
Pengurangan risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi belum begitu dapat dijawab dengan baik. Belajar dari kejadian gempa Lombok kemudian disusul kejadian gempa dan tsunami di Palu, Sigi, dan Donggala dirasa perlu untuk meningkatkan ketangguhan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Sinergi bersama
Paradigma baru yang perlu kita galakkan bersama ialah dapat melihat Indonesia sebagai Pusat Industri Teknologi Keselamatan Bencana. Indonesia memiliki modal besar sebagai pemeran utama dalam industri kebencanaan di dunia dengan kekayaan pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman yang dimiliki.
Peluang riset dan pengaplikasian teknologi penanggulangan risiko bencana sangat luas. Dimulai dari pemahaman terhadap karakteristik ancaman, kerentanan, dan kapasitas masyarakat. Termasuk juga di dalamnya prediksi cuaca, kesiapsiagaan, dan komunikasi risiko sehingga dirasa perlu untuk melakukan kolaborasi dengan semua pihak. Kolaborasi yang dimaksud dapat berupa penguatan regulasi, institusi, serta perencanaan berbasis penanggulangan risiko bencana sesuai dengan amanat UU No 24 Tahun 2007.
Kapasitas dan pendidikan masyarakat terhadap kebencanaan tentu harus juga ditingkatkan. Tujuannya ialah agar kapasitas kesiapsiagaan masyarakat dalam memahami dan menghadapi bencana dapat membaik dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Bidang teknologi juga harus ambil peran dalam mengembangkan inovasi-inovasi sistem peringatan dini (early warning system). Dan juga inovasi pada bidang mitigasi multibencana yang akurat serta mudah dipahami masyarakat yang ada kaitannya langsung dengan bencana.
Ketika kita dihadapkan dengan era Revolusi Industri 4.0, penerapan Revolusi Industri 4.0 untuk pengambilan keputusan penanggulangan bencana harus sudah dapat diterapkan. Dengan cara peningkatan pemanfaatan internet of things, big data, dan artificial intelligence (AI) sehingga dari beberapa hal tersebut di atas, dirasa perlu dukungan dan sinergi dari berbagai pihak untuk mendorong riset kebencanaan nasional agar dapat lebih masif dan bernilai ekonomi, serta mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045: berdaulat, adil, dan makmur.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved