Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Penyesuaian Proyek Pembangkit Listrik

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas
25/9/2018 20:10
Penyesuaian Proyek Pembangkit Listrik
(ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

PEMERINTAHAN Joko Widodo tampaknya tetap secara serius dan terus menerus berupaya mengatasi pelemahan rupiah, yang pernah menembus angka Rp15.200 per dolar Amerika Serikat (AS), secara istiqomah dan berjemaah. Semua kementerian terkait dikerahkan secara terintegrasi untuk menggeber ekspor dan menghadang laju impor untuk menekan defisit neraca perdagangan, yang diharapkan bisa menguatkan kurs rupiah.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya telah meluncurkan 5 Jurus Jonan dongkrak devisa, di antaranya meningkatkan volume ekspor batu bara, mengurangi impor dengan meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) industri hulu migas, minerba dan kelistrikan, penurunan impor BBM melalui pembelian crude (minyak mentah) jatah kontraktor, penurunan impor BBM melalui penggunaan BBM biodesel (B20), dan digitalisasi SPBU. Kelima jurus Jonan itu akan memberikan kontribusi pada peningkatan ekspor batu bara sebesar US$1,5 miliar dan total penghematan impor diperkirakan sebesar US$27,09 miliar, yang berasal dari penghematan impor TKDN US$20 miliar, penghematan impor BBM US$5,09 miliar, dan penggunaan B20 US$2 miliar. Penghematan sebesar itu akan diwajibkan untuk disimpan di bank nasional, melalui cabang perbankan Indonesia, di dalam dan luar negeri.

Sebagai implementasi pengurangan impor dengan peningkatan kandungan dalam negeri (TKDN) industri hulu migas, minerba dan kelistrikan, Kementerian ESDM menyesuaikan pencapaian kapasitas proyek pembangkit listrik yang dimundurkan jadwal operasinya alias commercial on date (COD) bagi 15.200 MW yang belum financial closed. Meskipun demikian, penyesuaian pembangkit listrik itu masih sejalan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RPTUL) 2017-2026 yang mengamanatkan pembangunan proyek sebesar 72 gigawatt (GW), yang kemudian diubah pada 2018-2027 menjadi 56 GW.

Tujuan penyesuaian itu ialah menahan laju impor sehingga berkontribusi dalam menekan defisit neraca perdagangan untuk mengatasi pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Pasalnya, proyek-proyek listrik tersebut berkontribusi cukup signifikan terhadap defisit neraca perdagangan lantaran impor barang modalnya yang cukup besar. Selain itu, penyesuaian proyek pembangkit listrik, yang merupakan bagian dari proyek 35.000 MW, juga sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang saat penyusunan proyek 35.000 MW, dipatok 7,2%, sedangkan capaian pertumbuhan ekonomi saat ini masih berkisar sebesar 5,02%, sehingga asumsi pertumbuhan listrik juga disesuaikan dari 8,3% menjadi 6,86%.

Kendati ada penyesuaian kapasitas pembangkit listrik, pemerintah tetap bertekad untuk melanjutkan proyek pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) dengan kapasitas sebesar 3,51 GW, utamanya bagi pembangkit EBT yang telah meneken perjanjian jual beli gas (PJBG), serta terkait dengan power purchase agreement (PPA) dan harga yang telah disetujui oleh Menteri ESDM. Selain untuk memprioritaskan pengembangan pembangkit EBT, pelanjutan pembangkit listrik EBT hingga 6,40 GW untuk tetap menjaga reserve margin kelistrikan sebesar 30%. Komitmen pelanjutan proyek pembangkit EBT juga sejalan dengan upaya membatasi impor lantaran EBT yang termasuk renewable energy itu konten lokalnya tinggi.

Kendati ada penyesuaian pembangkit listrik, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga bertekad menuntaskan tingkat elektrifikasi hingga mencapai 99% pada 2019, yang pada Agustus 2018 tingkat rasio elektrifkasi sudah mencapai 97,13%, dengan rasio desa berlistrik sudah 97,99%. Pencapaian tingkat rasio elektrifikasi diprioritaskan pada percepatan elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik, utamanya perdesaan belum berkembang, perdesaan terpencil, perdesaan perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk.

Penyesuaian proyek pembangkit listrik itu sebagai kebijakan rasional yang fleksibel sesuai dengan sensitivity analysis untuk ikut berkontribusi dalam menghadapi permasalahan bangsa, yakni menekan defisit neraca perdagangan untuk menguatkan kurs rupiah terhadap dolar AS. Namun, upaya itu masih tetap pada koridor RPTUL dan tetap memprioritaskan pada tidak hanya pengembangan EBT, clean and renewable energy, tetapi juga pada pencapaian 100% tingkat rasio elektrifikasi, utamanya di perdesaan. (X-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya