Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
TADI malam, dalam perbincangan usai mengisi acara Economic Challenge di Metro TV, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar melontarkan pertanyaan kepada kami "Apakah bila Steve Jobs atau Mark Zuckerberg dilahirkan di Indonesia, Apple atau Facebook akan mendunia seperti sekarang ini atau tidak?".
Saya, Mas Suryopratomo dan Leonard Samosir host acara Economic Challenge sepakat menjawab tidak.
Sang Wamen Arcandra pun sependapat. Jawabannya tidak, karena atmosfer yang melingkupinya berbeda jauh. Di Amerika, orang bebas melakukan apa saja sejauh itu tidak dilarang dalam suatu peraturan. Beda dengan di negeri kita sekarang, orang baru melakukan sesuatu karena disuruh atau menunggu diperintah.
"Ellon Musk tidak menunggu disuruh-suruh untuk mengembangkan mobil listrik Tesla atau menciptakan perjalanan ke luar angkasa. Dia kerjakan saja yang dia mau buat. Tapi kalau di Indonesia, orang mau buat mobil listrik saja masih menunggu dan bertanya Perpres-nya mana," ujar Arcandra yang kami tanggapi dengan tawa terkekeh-kekeh.
Apa yang dilontarkan pak Wamen ESDM itu menarik. Banyak benarnya bahwa kita di Indonesia memang banyak sekali menunggu arahan atau perintah untuk melakukan sesuatu.
Penyakit ini saya duga tidak hanya melanda kalangan birokrasi pemerintah tapi juga kalangan swasta. Bukan tidak ada inisiatif dan upaya terobosan yang dilakukan. Tapi jumlahnya sangat minim.
Kita patut berterimasih kepada Nadiem Makarim Go Jek, William Tanuwijaya Tokopedia dan Ahmad Zaki Bukalapak yang telah menjadi Unicorn Indonesia di ranah dunia fintech. Bila mereka terbiasa berpikir ribet dengan berbagai aturan yang mengungkung, bisa jadi Go Jek, Tokopedia dan Bukalapak hanya masih perusahaan yang biasa-biasa saja.
Bila ada yang mengambil langkah terobosan, seringkali lebih banyak menimbulkan pro dan kontra.
Contoh teranyar adalah upaya pemerintah menyelamatkan keuangan Pertamina tanpa perlu menggelontorkan subsidi terlalu besar. Surat Menteri BUMN ke direksi Pertamina disalahartikan sebagai rencana pelepasan aset-aset Pertamina.
Padahal mengajak kerja sama dalam bentuk pembentukan kerja sama, pengakomodasian participating interest adalah hal yang biasa dan jamak dilakukan di perusahaan migas di belahan dunia.
Kembali ke soal aturan, kebiasaan kita yang sangat 'aturan minded' seringkali direcoki juga dengan perdebatan mengenai aturan itu sendiri. Bahkan kadang malah ingin melepaskan diri dengan mengubah atau memberi tafsir atas aturan yang sudah ada.
Hari-hari ini kita dipertontonkan pada fenomena keinginan mengubah kembali aturan yang sudah ada. Itu terlihat dalam upaya uji materi terhadap UU Pemilu yang melarang calon presiden dan wakil presiden maju lagi setelah dua kali menjabat.
Padahal UUD 1945 pasal 7 jelas membatasi masa bakti presiden dan wakil presiden hanya dua periode.
Wapres Jusuf Kalla dengan alasan demi kepentingan yang lebih besar bagi bangsa dan negara mengajukan diri untuk menjadi pihak terkait judicial review ini.
Sebuah langkah yang patut disesalkan karena bila ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi bisa berimplikasi panjang pada perjalanan demokrasi ke depan. Akan ada masanya aturan baru itu akan dibajak.
Akan timbul pada waktunya presiden dua periode akan memilih menjadi wakil presiden setelah menjabat dua periode demi mengamankan kepentingan bangsa dan negara. Akan terjadi wakil presiden menjadi presiden di belakang layar.
Dan itu semua mungkin terjadi sejauh watak mengakali-akali peraturan terus dipertahankan oleh sebagian besar dari kita.
Semoga lebih banyak lagi orang Indonesia yang memilih untuk terus berkarya tanpa perlu ribet memikirkan aturan dan posisi yang didapat. Lakukanlah apa yang ingin dilakukan tapi rambunya jelas yakni tidak melakukan apa yang dilarang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved