Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
MASYARAKAT di 169 dari 171 daerah telah memilih pemimpinnya. Dua kabupaten di Provinsi Papua (Nduga dan Pinai) belum bisa melakukan pencobolsan hari ini karena alasan teknis dan keamanan. Beberapa lembaga survei pun telah merilis hasil surveinya. Yang menang dan kalah sudah diketahui, minimal menurut hasil hitung cepat (quick count).
Soal selanjutnya ialah praksis legitimasi sosial dan legalitas politik di level empirik. Dua soal ini penting didiskusikan karena setiap kemenangan yang diraih seseorang dalam kontestasi politik tentu didasari pada pengakuan akan kerja nyata dan integritas diri orang tersebut di mata masyarakat. Selanjutnya, jika telah mengikuti beragam aturan dalam proses pemilihan, mereka yang menang tentu mendapatkan legalitas politik.
Keberhasilan pelaksanaan pilkada kemarin menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki usia dewasa dalam politik dan demokrasi. Riak kecurangan dan konflik nyaris tidak terjadi. Kedewasaan politik benar-benar ditunjukkan para calon pemimpin. Harapan akan munculnya negarawan yang datang dari pemimpin lokal bisa saja terwujud.
Oleh karena itu, momen pemilihan kemarin menjadi amat penting bagi masyarakat di 169 daerah tersebut. Penting bukan saja karena setelah proses itu pemimpin yang terpilih harus mengisi kursi kepemimpinan yang telah dan akan berakhir pada daerahnya. Penting dan terutama urgen karena proses politik kemarin, menjadi waktu ketika terjadi pertarungan legalitas hukum dan politik di satu sisi dengan legitimasi sosial di sisi yang lain.
Keengganan menyelaraskan dua aspek itu akan berpotensi pada munculnya pemimpin yang tanpa legalitas sekaligus rendah dari aspek legitimasi sosial. Hal ini berimplikasi pada tumbuhnya bibit otoritarianisme di dunia politik Indonesia.
Fakta menunjukkan, di beberapa daerah, masih saja terjadi banyak sekali pelanggaran pemilu dalam fase kampanye kemarin. Hal ini harus menjadi perhatian pihak penyelenggara agar segera mengambil langkah tegas. Ketegasan amat diperlukan terutama untuk menyelaraskan dua aspek di atas tadi.
Pertarungan legitimasi dan legalitas
Kleden (1999) menjelaskan legalitas sebagai pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum yang demokratis sesuai regulasi atau peraturan yang ada. Sebaliknya, legitimasi ialah pemerintahan dari rakyat dan dipilih oleh rakyat dan kemudian digunakan untuk rakyat. Dengan kata lain, legitimasi berkaitan erat dengan proses sosial, sedangkan legalitas berhubungan dengan aspek hukum.
Merujuk pada kerangka konseptual di atas, proses pemilihan yang terjadi kemarin harus disebut sebagai pertarungan legalitas di satu sisi dengan legitimasi di titik yang lain. Tiga kondisi yang muncul sekaligus di sini. Pertama, proses kemarin akan menentukan apakah pemimpin yang terpilih memenuhi unsur legalitas dan legitimasi sekaligus. Seseorang dipilih menurut aturan yang berlaku dan karena itu mendapatkan legitimasi sosial di kemudian hari. Kedua, karena satu dua sebab tertentu, penyelewengan, misalnya, seseorang terpilih secara legal, tetapi tidak mendapatkan legitimasi sosial. Ketiga, berkaitan dengan hal kedua tersebut, seseorang terpilih dengan menghalalkan segala cara (mengabaikan aspek legalitas) dengan konsekuensi tidak mendapatkan legitimasi di kemudian hari.
Berkaitan dengan realitas seperti yang disampaikan di atas, pilkada, hemat saya, tidak hanya bertujuan memilih pemimpin politik. Proses itu tidak hanya menjadi pintu masuk untuk proses pembangunan politik dan demokrasi selanjutnya. Selain sebagai tolok ukur perkembangan demokrasi, hemat saya, pilkada kemarin kental menguji daya legitimasi seseorang yang akan menjadi pemimpin di hari esok.
Karena posisi penting tersebut, esensi pemilihan pemimpin politik perlu didalami dengan agak serius. Hal ini disebabkan karena setiap orang yang ingin memahami politik Indonesia dan ingin belajar mengenai perkembangan demokrasi Indonesia akan berhadapan dengan realitas kosong.
Politik berujung pada kehampaan politik dan kebingungan demokrasi. Hal ini disebabkan karena dari aspek infrastruktur demokrasi, Indonesia jauh melampaui negara dengan perkembangan demokrasi yang paling modern sekali pun. Sementara itu, dari aspek substansi demokrasi, negara ini masih tertatih-tatih.
Di level itu, pertarungan antara legalitas dan legitimasi dalam pandangan Kleden mendapat kepenuhan sebab dukungan terhadap pasangan calon yang memenangi pertarungan menjadi ujian akan legitimasi sosial di satu sisi dengan legalitas politik di titik yang lain.
Yang memenangi pertarungan bisa saja mendapatkan dukungan mayoritas, tetapi belum tentu absolut. Artinya, dari aspek legalitas politik, yang mendapat suara terbanyak sah secara hukum dan politik. Masalahnya, belum tentu banyaknya jumlah suara bisa mewakili aspek legitimasi sosial. Inilah kelemahan dasar demokrasi seperti dibahas oleh banyak ahli.
Syarat imperatif
Persoalan legalitas dan legitimasi tentu berhubungan tidak saja dengan integritas individu yang bersangkutan secara pribadi, tetapi juga berkaitan dengan praktik hukum dan sosial orang tersebut di lapangan. Pada saatnya, dari sana akan muncul penilaian masyarakat terhadap pemimpin yang bersangkutan untuk dipilih dalam sebuah proses pemilihan seperti kemarin.
Dalam banyak diskusi, sering disebutkan bahwa politik kita identik dengan uang, barang, dan jaringan. Politik Indonesia hanya menghasilkan politisi, tetapi tidak pernah memproduksi pemimpin. Ini soal.
Di Indonesia, pemimpin itu terlalu banyak, orang cerdas seliweran di mana-mana. Yang kurang ialah orang yang dapat mengatur berbagai kecerdasan secara cerdas. Gubernur, bupati, dan atau wali kota ialah pemimpin yang dapat menjadi manajer, tidak hanya mengeksplorasi potensi dan kekuatan, tetapi mengatur kekuatan bangsa dan negara secara baik. Oleh karena itu, pemimpin ialah pelayan dan bukan yang dilayani.
Merujuk pada praktik politik di lapangan, sulit untuk tidak mengatakan bahwa elite kekuasaan memang tidak menginginkan lahirnya pemimpin-pemimpin berkualitas di semua level. Kita gagal merancang sistem politik yang berujung pada munculnya pemimpin yang berwawasan kebangsaan.
Mereka yang terlibat dalam politik menjadi sangat pragmatis. Politik dianggap sebagai lapangan pekerjaan yang bisa mendatangkan uang. Politik bahkan tidak pernah dilihat sebagai tanggung jawab untuk kesejahteraan bersama. Politik mengandaikan adanya rekrutmen dan proses pendidikan politik. Di sana ditanam nilai-nilai kebangsaan. Sulit rasanya mendapatkan manusia politik yang cerdas (bukan pintar), jika proses itu dibuat menjadi sangat instan. Kita gagal di situ.
Di titik yang lain, pilihan seseorang menjadi pemimpin, hemat saya, lebih didorong oleh dua motif utama, yakni ekonomi dan kekuasaan. Perselingkuhan dua motif itu menyebabkan bangsa ini berjalan di tempat. Bahkan, ketika dua hal itu tidak dikontrol, maka peradaban bangsa berjalan mundur dan perkembangan demokrasi menjadi sangat lamban.
Maka, memeriksa karakter individu dan praksis sosial calon pemimpin saat memimpin di kemudian hari menjadi penting untuk dilakukan setiap orang. Termasuk di dalamnya ialah rekam jejak seorang calon pemimpin.
Karakter pemimpin jelas tidak ditentukan seberapa keras suaranya, seberapa gagah penampilan, seberapa fasih berbicara, dan lain-lain. Penampilan fisik belum cukup. Munafik, simbolik, dan artifisial kental ditunjukkan oleh banyak elite kita saat ini. Hipokrit di ujungnya. Berbagai soal yang terus menerus menghantui Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, hemat saya, salah satunya, disebabkan karena pemimpin tidak mampu mengelola beragam potensi dan kekuatan bangsa menjadi peluang.
Dibutuhkan sebuah kekuatan besar untuk membongkar kedok kepalsuan ideologi politik. Proses politik kemarin termasuk di dalamnya. Ketika masyarakat telah memilih pemimpin secara cerdas berdasarkan pertimbangan rasional dan bukan emosional, ujian akan legitimasi secara sosial bisa dilalui. Selanjutnya, orang yang berkarakter demikian akan mendapatkan legalitas politik dalam proses berikutnya. Dengan begitu, keberhasilan seseorang menjadi pemimpin tidak saja karena mengikuti lorong legalitas politik, tetapi karena mendapatkan legitimasi sosial.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved