Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Ayo Gunakan SARA dalam Pilkada

Gantyo Koespradono, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
25/6/2018 18:45
Ayo Gunakan SARA dalam Pilkada
(youtube)

RABU (27/6) Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) digelar serentak di 171 daerah. Tidak. Saya tidak keliru. Saya memang dengan sadar menulis judul tulisan ini seperti itu. Ya, mari kita berpartisipasi ikut pilkada menggunakan SARA.

Mengapa saya minta kita menggunakan SARA dalam berpilkada? Iizinkan saya menjelaskan latar belakangnya. SARA adalah singkatan dari kata "suku", "agama", "ras" dan "antargolongan".

Istilah itu pertama kali dipopulerkan oleh Laksamana Sudomo pada era 1980-an ketika pemerintahan Presiden Soeharto membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dipimpin Sudomo selaku Panglima Kopkamtib.

Kopkamtib dibentuk lantaran di sejumlah daerah pada waktu itu ada gerakan melawan pemerintah lewat kerusuhan yang para aktornya, baik yang berada di balik layar, maupun di lapangan menyalahgunakan SARA.

SARA sesungguhnya kata yang netral. Namun, belakangan karena sering disalahgunakan, kata itu menjadi sesuatu yang menakutkan, bahkan mengerikan, karena kerap dipakai oleh para bandit politik untuk memecah belah anak-anak bangsa. Ya, persaudaraan kita dipecah belah.

Para bandit politik itu lazimnya menyalahgunakan SARA, terutama untuk meraih kemenangan lewat momentum pemilu, termasuk pilkada. Di zaman now, penyalahgunaan SARA itu dikapitalisasi dengan menggunakan media sosial.

Karena kerap disalahgunakan, SARA akhirnya selalu jadi kambing hitam, padahal, sekali lagi, ia netral, bahkan unsur-unsur di dalamnya mengandung nilai-nilai positif.

Coba kita lihat makna kata-kata dalam SARA dengan mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut KBBI, suku antara lain dimaknakan dengan golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar (contoh Jawa dan Sunda). Suku juga berarti golongan orang sebagian dari kaum yang seketurunan.

Fakta di Indonesia banyak suku. Selain Jawa dan Sunda sebagaimana disebut dalam KBBI, ada Minang, Batak, Ambon, Bugis, dan masih banyak lagi. Saya tidak mungkin sebut satu per satu, sebab berdasarkan Sensus Penduduk 2010, terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia, tepatnya ada 1.340.

Semua suku bangsa pasti punya adat istiadat yang baik, luhur dan mulia. Sekadar contoh, suku Jawa menanamkan nilai menghormati orang yang lebih tua. Suku Batak punya nilai kekerabatan yang sangat kuat. Suku Minang menanamkan kemandirian dan toleransi, kebersamaan.

Adakah nilai-nilai negatif yang diwariskan para pewaris suku yang jumlahnya ribuan itu? Jawabnya, tidak ada. 

 Jika memang begitu, ayo kita berpartisipasi dalam pilkada dengan mengingat ajaran mulia yang ada di suku-suku bangsa kita. Suku apa pun yang sampai sekarang masih ada di Indonesia tak pernah mengajarkan kebencian dan perpecahan.

Oleh sebab itu, jika kebetulan Anda hari-hari ini menemukan selebaran bernada kebencian, apalagi fitnah terhadap calon kepala daerah tertentu yang berlaga dalam kontestasi pilkada, sebaiknya hiraukan. Pelakunya layak kita ragukan bahwa mereka sepertinya bukan orang Indonesia, atau sedang lupa dengan nilai-nilai luhur sukunya.

Jika mereka melakukan gerakan negatif itu demi kemenangan calon kepala daerah yang didukung, ada baiknya Anda jangan pilih jagoan mereka. Jika sang calon yang didukung menang, sangat mungkin kebiasaan buruk itu akan mereka lestarikan untuk kepentingan yang berbeda. 

Sekarang mari kita lihat makna "agama" dalam kata SARA. KBBI menyebut agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Di dalam agama ada ajaran yang super mulia. Agama apa pun yang diakui di negeri ini mengajarkan kebaikan dan cinta kasih yang bersumber dari Allah.

Pilkada adalah hajatan demokrasi, bukan hajatan agama. Karena itu jika ada kontestan, pendukung atau tim sukses yang menyalahgunakan ajaran agama untuk menebar kebencian dan permusuhan demi kemenangan kandidat kepala daerah, kita patut meragukan mereka sesungguhnya bukan penganut agama yang baik. Mereka layak disebut sebagai pedagang agama, bahkan penista agama yang sesungguhnya.

Di Jawa Barat saya masih menemukan ujaran kebencian dan fitnah yang dialamatkan kepada salah seorang calon gubernur Jawa Barat yang memiliki elektabilitas tertinggi.  

Di sana beredar selebaran yang ditempel di tiang listrik bertuliskan: "Apa iya, gubernur Jabar akan dipimpin orang yang suka sesama jenis (homoseks/gay/LGBT)...... Bertaubatlah". Maaf, saya tidak sebut nama sang calon gubernur.

Ada pula selebaran yang nadanya benar-benar sarat dengan fitnah yang amat menjijikkan seperti ini: "Wahai ...... (lagi-lagi saya tidak salin nama yang ditulis). Apa gak takut Allah murka seperti kepada kaum Nabi Luth yang juga penyuka sesama laki-laki."

Tanpa harus menyebut siapa yang memproduksi selebaran itu -- juga meme-memenya di media sosial --, Anda pasti tahu siapa pelakunya dan mereka mendukung calon gubernur yang mana?

Mari kita jujur dan bertanya cara-cara seperti itukah yang diajarkan oleh agama kita? Menebar kebencian dan fitnah untuk mendapatkan kemenangan? Akankah Anda memilih calon kepala daerah yang para pendukung dan mungkin tim suksesnya jelas-jelas menistakan ajaran agama?

Mari kita gunakan SARA (unsur agama) dalam pilkada untuk berdoa agar pilkada 27 Juni besok berlangsung damai dan masyarakat tidak terprovokasi oleh fitnah dan ujaran kebencian yang sengaja dilakukan oleh mereka yang mengaku bertuhan namun berkelakuan (maaf) setan.

Lewat SARA (agama) mari kita berdoa agar dalam pilkada 27 Juni yang digelar di 171 daerah, Tuhan menghadirkan gubernur, wali kota dan bupati yang benar-benar mau melayani rakyat, jujur, antikorupsi dan menjadikan Indonesia ke depan jauh lebih baik. Semoga Tuhan menghadirkan pemimpin yang beriman namun tidak menghalalkan segala cara, termasuk menodai agama untuk meraih kemenangan.

Lalu bagaimana dengan orang-orang jahat yang telah menebar fitnah dengan menunggangi agama? Dengan SARA (agama), mari kita berdoa agar Tuhan mengampuni mereka, sebab sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang dilakukannnya lantaran kebodohan mereka.

Sekarang coba kita telaah kata "ras" dan "antargolongan" dalam SARA. Ras sebenarnya identik dengan suku. Dalam KBBI, golongan antara lain disebut dengan kelompok (orang); sekelompok bangsa (Cina, Arab, dan sebagainya).

Dalam konteks politik, KBBI mendefinisikan dengan golongan masyarakat yang mempunyai kepentingan khusus di dalam negara.

Dari batasan itu, dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah bagian dari golongan. Dalam pilkada sebagaimana diatur dalam UU, partai politik-lah yang memainkan peran.

Kecuali partai yang satu itu, parpol yang mengusung dan mencalonkan para calon kepala daerah semuanya berasaskan Pancasila. Konsekuensinya, pengurus dan kader parpol berkewajiban untuk menjaga keutuhan negeri ini. Jangan gara-gara pilkada, mereka malah merusak persatuan dan kesatuan yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa ini.

Dalam menghadapi pilkada besok dan juga Pemilu Serentak 2019, kita masih mendengar ada tokoh politik yang mengeluarkan pernyataan (asal ngomong) dan melontarkan tuduhan bahwa oknum TNI, Polri, dan BIN tidak netral dalam pilkada. Tokoh ini sepertinya sengaja ingin memperkeruh suasana menjelang pilkada.

Dari pernyataannya, selayaknya kita meragukan kenegarawan tokoh tersebut. Sayang memang, padahal dia sudah senior.

Kita tidak bisa memungkiri, di antara kita pasti berlainan golongan, terutama dalam hal pilihan politik. Dalam pilkada ini, mari kita gunakan SARA (golongan) bukan untuk memeruncing perbedaan, namun sebaliknya memperteguh komitmen kebangsaan kita. Ayo ingat lagi apa visi dan misi parpol yang kita dirikan dan kita berada di dalamnya? Untuk Indonesia, kan? Bukan untuk kepentingan pribadi, juga bukan untuk kepentingan anak dan menantu?

Dengan SARA, mari kita buka mata tentang fakta-fakta berikut ini bahwa dalam Pilkada 2018, PDIP berkoalisi dengan Gerindra di 48 wilayah (5 provinsi, 37 kabupaten, dan 6 kotamadya).

PDIP juga berkoalisi dengan PKS di 33 wilayah (3 provinsi, 24 kabupaten, dan 6 kotamadya). Selain itu PDIP berkoalisi bersama Gerindra dan PKS di 21 wilayah (2 provinsi, 16 kabupaten, dan 3 kotamadya).

Dari beberapa fakta di atas, kita seharusnya dapat memahami bahwa dalam pilkada, SARA bersaudara. Ini hajatan demokrasi guna meraih kekuasaan dan kepemimpinan belaka. 

Jadi kalau dikotomi "Islam versus non-Islam", "partai Allah vs partai setan", "pertarungan antara yang haq dan bathil" dan sejenisnya dimunculkan dalam pilkada, sesungguhnya itu semua adalah dusta politik dengan mengatasnamakan agama. Jangan percaya, sebab SARA itu netral dan baik adanya.

Ada baiknya pula kita ingat kata-kata yang pernah dilontarkan Franz Magnis Suseno SJ bahwa pemilu (termasuk pilkada) bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Selamat memilih. Tuhan memberkati bangsa Indonesia.(*)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya