Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
EVALUASI menyeluruh terhadap penyelenggaraan negara era reformasi menunjukkan masih minimnya pelayanan publik yang berkualitas, sederhana, tepat waktu, dan murah. Pada saat bersamaan kasus korupsi yang melibatkan aktor politik tingkat pusat dan daerah terus menggurita meski KPK setiap saat gencar melakukan OTT.
Kenyataan ini mendasari kelahiran UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang pada 30 April genap berusia 10 tahun. Keterbukaan informasi merupakan instrumen penting untuk pencerdasan rakyat, mendorong demokrasi, serta mengakselerasi pelayanan publik dan mencegah korupsi dengan mewujudkan pemerintahan yang terbuka, bersih, dan akuntabel.
Budaya keterbukaan
UU KIP diharapkan menjadi tonggak untuk mengakhiri budaya ketertutupan dan kerahasiaan yang biasanya menjadi karakter dasar rezim otoriter sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Dalam sistem tersebut kebebasan pers dihambat, hak rakyat untuk berekspresi dan berpendapat dihilangkan. Negara memonopoli sekaligus mengendalikan informasi.
Gelombang Reformasi 1998 menggusur rezim ketertutupan tersebut. Sistem pemerintahan yang tertutup, eksklusif dan proteksionis sudah tak relevan lagi dipertahankan. Presiden ke-4 AS James Madison mengingatkan kerahasiaan merupakan musuh peradaban karena menghambat pendidikan politik, menumpulkan inisiatif publik, dan menumbuhkan sangkaan buruk serta ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tanpa keterbukaan informasi, pemerintahan akan menjadi tragedi karena akan membenihkan berbagai penyimpangan.(Pope, 2003; 429).
Jika demikian, UU KIP membantu Indonesia mengarungi era reformasi dengan budaya keterbukaan. Sejak abad ke-18 Francis Bacon mengingatkan pengetahuan ialah kekuasaan. Itu berarti negara harus mencerdaskan bangsa dengan menjamin hak atas informasi. Rakyat yang banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi dan berbagai kebijakan publik diambil dengan melibatkan partisipasi luas. Di atas segalanya, rakyat yang banyak mendapat informasi akan menjadi energi kreatif untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
Menurut evaluasi Komisi Informasi Pusat, kini kesadaran rakyat untuk mendapat informasi secara perlahan mulai tumbuh. Komisi informasi di pusat dan daerah menjadi tumpuan rakyat untuk mengadukan berbagai instansi yang abai terhadap permintaan informasi. Banyak badan publik termasuk kementerian dan lembaga dihadirkan untuk bersidang di Komisi Informasi.
Saat ini tercatat 2083 sengketa informasi harus disidangkan Komisi Informasi Pusat. Jika ditambah dengan sengketa informasi di provinsi dan kabupaten/kota, tentu lebih banyak lagi.
Permintaan informasi oleh rakyat mencakup banyak bidang, seperti informasi tentang pemecatan semena-mena, alasan ketidaklulusan ujian laporan pengembangan riset seorang calon doktor di UI, informasi tentang dana desa, dan kasus penggusuran lahan. Khusus di daerah perkebunan seperti Sumatra dan Kalimantan kasus yang paling menonjol ialah konflik lahan, sengketa perizinan perkebunan, tenggang HGU, dsb.
Tiga persoalan
Memasuki usia 10 Tahun, implementasi UU KIP dirasakan berjalan lamban. Kalaupun Badan Publik sudah mulai memberikan pelayanan informasi, hal tersebut dilakukan secara parsial, apa adanya, tanpa sistem dan perencanaan yang baik. Akibatnya, berbagai informasi seperti proses legislasi di DPR/D, data BUMN/D, perizinan perkebunan, proses penganggaran APBD, dan alokasi dana desa masih sulit diakses publik. Bahkan soal nama saja, UU KIP belum dikenal luas, termasuk di kalangan elite politik. Ini tentu catatan serius yang memacu Komisioner Komisi Informasi di pusat dan daerah untuk bekerja lebih sistematis dan masif.
Setidaknya ada tiga persoalan yang menghambat implementasi UU KIP.
Pertama, minimnya kemauan dan kesadaran elite di berbagai kementerian dan lembaga tentang peran keterbukaan informasi. Kewajiban Badan Publik untuk membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) belum semua terlaksana. Praktik serupa terjadi di berbagai partai politik. Implikasinya, begitu sedikit informasi yang bisa diakses masyarakat tentang kinerja parpol dan birokrasi, ikhwal lahirnya sebuah kebijakan, akuntabilitas pejabat penyelenggara negara, dsb.
Kedua, belum tumbuhnya kesadaran pemerintah daerah dalam membudayakan keterbukaan informasi. Meski UU ini mengatur keberadaan Komisi Infomarsi dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota, hingga saat ini realisasinya masih jauh dari harapan.
Tercatat empat provinsi belum memiliki Komisi Informasi Provinsi, yakni Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, Komisi Informasi Kabupaten/Kota baru terbentuk di lima kabupaten/kota, yakni Kabupaten dan Kota Cirebon, Kabupaten Toli-Toli, Bangkalan, serta Kabupaten Sumenep. Itu berarti masih ada 529 kabupaten/kota yang mesti dipacu untuk segera membentuk Komisi Informasi.
Belum terbentuknya Komisi Informasi di daerah ini disebabkan adanya salah paham tentang keterbukaan informasi. Banyak kepala daerah yang menganggap keterbukaan informasi identik dengan upaya menelanjangi daerah sehingga berpotensi menggangu stabilitas pemerintahan. Di samping itu, ada kepala daerah yang menolak membentuk Komisi Informasi karena dicurigai sebagai langkah untuk merongrong kewibawaan pemerintah oleh pers, LSM, dan lawan politik.
Ketiga, rendahnya kapasitas badan publik untuk memberikan pelayanan informasi. Pelayanan informasi terkesan seadanya. Permintaan informasi oleh masyarakat sering tidak dilayani dengan alasan rahasia. Penentuan rahasia tersebut biasanya dilakukan secara subjektif tanpa melalui proses uji konsekuensi sebagaimana diatur UU KIP.
Hal ini melanggar prinsip bahwa informasi yang dikecualikan/ditutup harus bersifat ketat dan terbatas. Kerap juga terjadi permintaan informasi terabaikan karena kultur dokumentasi di berbagai badan publik asal-asalan, sekadar untuk melegitimasi pengeluaran anggaran.
Berbagai persoalan tersebut memacu Komisi Informasi se-Indonesia untuk lebih giat membangun program sosialisasi, edukasi, dan advokasi hak rakyat atas informasi. Begitu pula berbagai sengketa informasi perlu diselesaikan secara cepat. Secara simultan, perlu terus didorong berbagai badan publik, termasuk partai politik, untuk secara konsisten menerapkan budaya keterbukaan informasi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved