Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Panjangnya Neraka di Ghouta Timur

Smith Alhadar Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
28/2/2018 09:46
Panjangnya Neraka di Ghouta Timur
(AFP/ABDULMONAM EASSA)

SUDAH sejak pertengahan Februari, rezim Suriah, Rusia, Iran, dan milisi prorezim terus membombardir wilayah Ghouta Timur, di pinggiran ibu kota Suriah, Damaskus. Saat artikel ini ditulis, sudah lebih dari 500 warga sipil, termasuk lebih dari 120 anak, meregang nyawa. Lebih banyak lagi yang luka. Yang masih hidup bertahan di ruang bawah tanah tanpa udara dan listrik dengan persediaan makanan yang sangat terbatas. Sementara itu, para pemberontak yang menguasai Ghouta Timur membalas serangan dengan tembakan roket ke Damaskus.

Setelah melihat situasi penduduk sipil yang sangat memprihatinkan ini, pada 24 Februari seluruh anggota Dewan Keamanan PBB secara aklamasi mendukung resolusi gencatan senjata di seluruh wilayah Suriah selama 30 hari yang diajukan Kuwait dan Swedia demi memberi akses pada bantuan kemanusiaan berupa makanan dan obat-obatan serta evakuasi mereka yang sakit dan cedera.

Namun, serangan udara dan artileri rezim Suriah dan sekutunya masih terus dilancarkan. Mereka memanfaatkan resolusi yang 'multitafsir' itu bertujuan menjustifikasi keberlanjutan serangan. Memang awalnya resolusi menyerukan pihak-pihak bertikai memulai melaksanakan gencatan senjata dalam waktu 72 jam.

Tapi, atas tuntutan Rusia, kalimat 'dalam waktu 72 jam' diganti dengan 'tanpa penundaan' dan kata 'segera' dihapus dalam rekomendasi penyaluran bantuan dan evakuasi. Juga, karena resolusi mengecualikan kelompok Al-Qaeda, Islamic State, dan individu serta organisasi-organisasi yang berkaitan dengan mereka, menjadi pembenaran bagi rezim Suriah dan sekutunya untuk terus membombardir Ghouta Timur.

Memang Ghouta Timur didominasi dua milisi besar, yakni Jeis al-Islam dan Faylaq al-Rahman. Namun, di wilayah ini juga terdapat kelompok Hayat Tahrir al-Sham. Kelompok itu merupakan kumpulan faksi-faksi radikal di Suriah dengan tulang punggung Jabhat Fath al-Sham--dulu bernama Front al-Nusra--yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Dalam perang menghadapi pasukan rezim Suriah dan sekutunya, Jeis al-Islam dan Faylaq al-Rahman yang didukung Arab Saudi, sering bekerja sama dengan Jabhat Tahrir al-Syam. Tak mengherankan Rusia meminta agar kedua kelompok itu dimasukkan sebagai kelompok teroris. Namun, AS dan sekutu Barat yang antirezim Suriah menentang.

Nampak perang belum akan berakhir dalam waktu dekat kendati pasukan rezim Suriah dan sekutunya telah melancarkan serangan darat dari tiga sisi. Ini disebabkan kelompok pemberontak masih cukup kuat dan tidak ada opsi lain yang lebih baik daripada bertahan.

Di Ghouta Timur, kelompok pemberontak telah membangun lorong-lorong tikus yang sulit ditembus musuh. Terbukti, kendati telah dikepung pasukan rezim Suriah sejak 2013, kelompok pemberontak mampu bertahan. Dengan bantuan keuangan dan senjata dari Arab Saudi, Jeis al-Islam dan Faylaq al-Rahman memiliki logistik cukup untuk menghadapi serangan musuh dalam waktu lama.

Selain itu, mereka tak punya pilihan lain. Itu disebabkan penciptaan zona deeskalasi di Ghouta Timur hasil kesepakatan antara rezim Suriah dan kelompok pemberontak dalam perundingan di Astana, Kazakhstan, yang disponsori Rusia, Turki, dan Iran gagal. Ada lagi alasan lain mengapa kelompok pemberontak dan warga sipil tak mau dievakuasi. Kasus Aleppo menjadikan mereka pesimistis untuk opsi evakuasi sebagai jalan keluar.

Setelah diserang dengan sengit atas Aleppo pada akhir 2016 sebagaimana pengeboman serampangan yang dilakukan pasukan rezim Suriah yang dibantu Iran, Rusia, dan milisi-milisi pro-Damaskus atas Ghouta Timur, kelompok pemberontak dan warga sipil sepakat mengakhiri perang dengan syarat mereka dievakuasi ke wilayah aman. Mereka direlokasi ke provinsi tetangga, yakni Idlib.

Selain dekat, pemberontak memiliki pangkalan militer dan kebanyakan warga sipil memiliki sanak keluarga di provinsi itu. Sementara bagi pemberontak dan warga sipil di Ghouta Timur, Idlib terlalu jauh dan mereka tidak memiliki handai tolan di sana. Kelompok pemberontak juga tak memiliki pangkalan militer di Idlib. Lebih jauh, Idlib kini menjadi sasaran serangan pasukan rezim Suriah dan sekutunya. Karena itu, bagi mereka, lebih baik mati sekarang di Ghouta Timur ketimbang mati besok di Idlib.

Jarablous dan Al-Bab di utara Suriah yang dikuasai pasukan Turki dan Tentara Pembebasan Suriah dukungan Turki ialah wilayah yang aman dan dapat saja pemberontak dan warga sipil Ghouta Timur direlokasikan ke wilayah itu. Namun, kelompok pemberontak khususnya keberatan dipindahkan ke sana karena Turki mengelola Jarablous dan Al-Bab mengikuti model pendudukan militer sehingga para pemberontak tak dapat bergerak leluasa kecuali mengikuti aturan militer Turki.

Tempat lain yang aman ialah Deraa di selatan Suriah. Wilayah itu dikuasai Yordania, Israel, dan AS. Wilayah ini tentu saja dekat dengan Ghouta Timur. Namun, Yordania, Israel, dan AS berkeberatan perpindahan besar-besaran penduduk dan pemberontak Ghouta Timur ke Deraa yang dapat mendestabilkan wilayah itu.

Sebenarnya masih banyak wilayah lain yang aman di bawah kekuasaan rezim Suriah, seperti Homs, Hama, dan Palmyra. Namun, warga Ghouta Timur enggan pindah ke sana karena khawatir pemerintah Presiden Bassar al-Assad mungkin akan menghukum mereka. Memang setelah kota-kota di atas dibebaskan dari pemberontak, rezim Assad menjatuhkan hukuman atas elemen-elemen yang dicurigai terkait dengan para pemberontak.

Penduduk dan pemberontak juga cenderung bertahan di Ghouta Timur selama mungkin dengan harapan situasi akan berpihak kepada mereka seiring dengan berjalannya waktu.

Dengan realitas ini, kelangsungan perang dan dampaknya pada penduduk sipil yang sangat mengerikan ini masih akan bertahan relatif lama tanpa komunitas internasional mampu menghentikannya. Nampaknya, rezim Suriah dan sekutunya percaya hanya dengan perang brutal Ghouta Timur dapat dibebaskan sebagaimana mereka lakukan atas Aleppo.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya