Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
NEGARA Dwarawati diterjang bencana hebat. Gempa besar mengguncang dan merobohkan semua bangunan. Disusul puting beliung yang menghamburkan segalanya ke langit. Belum reda, datanglah hujan tanpa henti sehingga mendatangkan bah. Tiba-tiba datang pula api menggunung yang mengepung dari segala penjuru. Dwarawati porak-poranda, rakyat jadi korban.
Peristiwa menggiriskan itu terjadi akibat sikap Raja Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna yang adigang, adigung, adiguna menyombongkan diri dengan kekuatan, kekuasaan, kepintaran. Merasa sebagai titisan Bathara Wisnu--dewa pemelihara perdamaian dan pengendali keadilan jagat--, ia sewenang-wenang memainkan amanah tersebut.
Kisah ini merupakan gambaran tentang konsekuensi dari pemimpin yang sok terpintar dan paling berkuasa. Kekuasaannya digunakan untuk menantang dan mengorak-arik pranata yang tertata. Arogansi inilah yang pada akhirnya mendatangkan bebendu (bencana).
Ada ketidakberesan
Dalam seni pedalangan, bencana yang mengharu biru Dwarawati terjadi tidak lama setelah Kresna menggelar hajatan mantu. Ia menikahkan putrinya, Siti Sendari, dengan Abimanyu, putra Arjuna.
Sebelum akad nikah dilaksanakan, Dwarawati kedatangan tamu dari Mandura, yakni Prabu Baladewa. Ia datang atas undangan Kresna, adik kandungnya. Tuan rumah memberi tahu bahwa Baladewa dimohon hadir untuk memberikan doa dan restu kepada kedua mempelai.
Baladewa terbengong-bengong karena sebagai kakak tidak diajak bicara atau paling tidak diberitahu dulu soal pernikahan keponakannya tersebut. Adatnya, bila ada yang akan mantu, semua keluarga besar dikumpulkan untuk merembukkan perhelatan. Apalagi, posisinya sebagai anak sulung yang notabene wakil orangtua yang telah almarhum.
Sejak memasuki wilayah Dwarawati, Baladewa sudah terheran-heran dengan banyaknya hiasan di sepanjang jalan. Di setiap jengkal pinggir jalan dipajang pot-pot bunga beraneka warna dan umbul-umbul dari janur. Berbagai hiasan indah semakin banyak di sekitar istana.
Semula, Baladewa mengira ini penghormatan warga Dwarawati atas perintah raja untuk menyambut kedatangannya ke negara tersebut setelah lama tidak berkunjung. Namun, setelah berbicara dengan Kresna, ia baru tahu bahwa kemeriahan tarup itu untuk pesta pernikahan putri raja.
Baladewa bertanya kenapa dirinya tidak diajak bicara soal hajatan itu. Kresna dengan enteng mengatakan baru ingat setelah sudah dekat dengan hari pernikahan. Tidak biasanya bertemperamental, kali ini Baladewa malah terkekeh mendengar jawaban tersebut. Ia seperti menemukan ada yang tidak beres pada adiknya yang selama ini ia kenal sebagai sosok sempurna. Ia tahu betul watak dan kepribadian adiknya yang sejak kecil bersamanya menjalani laku prihatin di Dusun Widarakandang.
Baladewa semakin yakin ada ketidakberesan ketika Kresna menyatakan pernikahan Sendari-Abimanyu tetap berlanjut meski tanpa kehadiran besan, Arjuna. Konon, Arjuna tidak ada di Amarta maupun di kesatriyan Madukara dan tidak diketahui rimbanya.
Saran Baladewa agar pernikahan ditunda hingga Arjuna muncul tidak digubris. Kresna menegaskan dirinya siap menanggung segala risikonya.
Semar diludahi
Belum tuntas pembicaraan mereka, mendadak datanglah Semar Badranaya tanpa didampingi ketiga anaknya. Semar memohon maaf karena berani sowan tanpa diundang. Ia matur (bicara) bahwa kedatangannya ingin menghaturkan ‘kado’ berupa tembang Dandanggula.
Semula, Kresna menyatakan tidak butuh dan emoh menerima sumbangan yang ia nilai tidak ada artinya. Namun, Baladewa mempersilakan Semar untuk menyampaikannya, sudah lama pula dirinya tidak mendengar Dandanggula.
Semar lalu menembang. Pada awal syair, pesannya mengayunkan keagungan Kresna sebagai titisan Bathara Wisnu. Namun, pada syair berikutnya, berisi sindiran terhadap Kresna, ratu yang mengaku raja gung binathara (seagung dewa) tetapi berperilaku sesukanya.
Belum rampung Semar menembang, Kresna menghardik. Dengan penuh marah, ia mengumpat Semar sebagai gedibal (kere) yang tidak tahu diri. Semar disebut wong cilik ongklak-angklik (berderajat rendah) yang tidak patut melantur-lantur di depan raja.
Baladewa terperanjat dan berjingkat dengan kata-kata Kresna. Ia lalu menyadarkan adiknya itu bahwa tidak sepatutnya bicara kasar kepada Semar. Menurutnya, kritik yang disampaikan Semar itu benar adanya. Oleh karenanya, sebaiknya ia mengintrospeksi diri.
Tidak berhenti di situ. Kresna lalu meminta Abimanyu yang berada di sampingnya untuk memberikan pelajaran kepada Semar. Menantunya itu lalu berdiri di depan Semar sambil berkacak pinggang. Tanpa banyak bicara, putra Arjuna-Sembadra ini meludahi kuncung Semar yang sangat keramat.
Baladewa membentak Abimanyu. Ia mengingatkannya bahwa Semar itu bukan sekadar pamong yang telah banyak berjasa kepada Pandawa. Ia sejatinya pengejawantahan Bathara Ismaya. Tidak sepantasnya menghina Semar seperti itu. Ia lalu buru-buru meminta maaf kepada Semar atas kekurangajaran Abimanyu.
Kresna menyela. Katanya, tidak perlu mempermasalahkan tindakan Abimanyu. Itu tanggung jawab dan hormatnya kepada mertua yang dilecehkan Semar. Jangankan meludahi, membunuh pun atas nama Kresna tidak apa-apa karena dirinya titisan Bathara Wisnu.
Mengaku khilaf
Semar lalu minta pamit. Ia mengaku tidak merasa apa-apa diludahi Abimanyu. Sebelum meninggalkan tempat, Semar meninggalkan pesan, semoga yang sedang lupa segera diingatkan kembali.
Baladewa semakin yakin bahwa Kresna sedang ditinggal Bathara Wisnu. Kresna tidak tahu bahwa dirinya sedang kosong. Itulah kenapa ia menyombongkan diri dengan mengumbar bahwa dirinya titah hebat dan berkuasa untuk menentukan apa pun yang dikehendaki.
Singkat cerita, empat dewa, yakni Antaboga, Bayu, Indra, dan Brahma tidak menoleransi sikap dan perilaku Kresna yang menceng. Mereka menjatuhkan hukuman berupa bencana mengerikan.
Baladewa memaksa Kresna mengungsi ke Amarta. Di sana Prabu Yudhistira meminta untuk bersama-sama mencari Semar dan meminta maaf. Kresna baru sadar dan mengakui bahwa dirinya khilaf, kehilangan ke-Wisnu-annya.
Ini pasemon (sindiran) tentang kesombongan. Sepintar apa pun seseorang (pemimpin), bila tidak eling, ia akan gemblung seketika. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved