Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Peduli Tuli

Adang Iskandar Redaktur Bahasa Media Indonesia
26/11/2017 01:46
Peduli Tuli
(Wordpress.com)

SELAMA ini kita kerap menggunakan kata-kata tertentu untuk menyebut orang-orang yang memiliki kekurangan atau keterbatasan dengan maksud tidak menyinggung perasaan atau merendahkan mereka.

Bahasa Indonesia pun mengenal istilah ‘penghalusan’ itu. Misalnya, secara umum kita sering menyebut mereka penyandang disabilitas. Lebih khusus, kita terbiasa memakai tunanetra bagi orang yang tidak bisa melihat, tuna-rungu untuk orang yang tidak bisa mendengar, tunagrahita terhadap orang yang memiliki keterbelakangan mental, dan sebagainya.

Tentu penggunaan kata-kata itu bertujuan menjaga agar para penyandang disabilitas tidak tersinggung atau merasa direndahkan, alih-alih kita menyebut mereka buta, bisu, tuli, atau idiot.

Namun, belakangan ini ada fenomena menarik di sebagian kalangan penyandang tunarungu. Banyak di antaranya yang menolak sebutan tunarungu yang disematkan kepada mereka. Mereka lebih nyaman disebut tuli.

Jujur, sebagai praktisi bahasa, selama ini saya menganggap tunarungu sebuah istilah yang tepat, dalam arti lebih lebih baik, halus, sopan, dan formal ketimbang kata tuli. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata tuli bermakna tidak dapat mendengar (karena rusak pendengarannya). Saya pun mengganggap tuli tergolong kata yang relatif kasar dan berkonotasi negatif.

Akan tetapi, pandangan saya dan mungkin sebagian besar awam dijungkirbalikkan para penyandang tuli sendiri, terutama dari Komunitas Tuli (ditulis dengan T kapital). Menurut mereka, tunarungu pesannya masih berdasarkan kasihan karena kata itu muncul dari istilah kedokteran yang menganggap bahwa ada hubungan kerusakan fisik (tuna-) dengan rungu (pendengaran). Tunarungu, dari segi makna kosakata, dikaitkan dengan kondisi pendengaran yang rusak, tidak bisa berbicara, dan tidak normal. Ada yang menganggap itu sebuah penyakit sehingga perlu diperiksa, diberi alat bantu dengar, dipasang implan koklea, juga terapi-terapi lainnya sehingga dapat seperti orang normal lainnya.

Berbeda dengan istilah tuli, yang menurut mereka lebih netral. Kata tuli tidak membawa kesan bahwa ada ‘kerusakan’ terkait dengan pendengaran mereka. Bahwa mereka terlahir sudah dalam kondisi tersebut, tak ada kerusakan, dan memiliki budaya dan bahasa sendiri. Hambatan yang dialami penyandang tuli dan orang dengar itu hanyalah perbedaan budaya dan bahasa, serta lingkungan yang tidak mendukung, seperti aksesibilitas bahasa isyarat, running text, dan gambar visual. Istilah tuli, tegas mereka, lebih mengacu pada kelompok minoritas linguistik yang menggunakan bahasa isyarat, juga terkait dengan budaya dan identitas.

Dengan berbagai pertimbangan itu, Komunitas Tuli sebagai representasi dari para penyandang tuli merekomendasikan agar penggunaan kata tuli lebih diutamakan ketimbang tunarungu. Tentu, sebagai pihak yang berada di luar komunitas itu, kita harus menaruh respek karena alasan yang mereka kemukakan pun sangat rasional dan ilmiah. Intinya, tuli bukan merupakan sebuah kekurangan, itulah yang dirasakan mereka. Mereka berharap masyarakat bisa mempelajari budaya tuli, sebagaimana mereka belajar budaya orang normal.

Media massa pun bisa mengakomodasi pencerahan ini melalui pengutamaan penggunaan kata tuli terkait dengan pemberitaan yang menyangkut kelompok minoritas linguistik ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya