Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Dramatisasi Label Diktator

Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
11/8/2017 00:15
Dramatisasi Label Diktator
(PA)

SERANGAN opini kepada Jokowi kian menjadi-jadi. Tentu, hal ini akan terus meningkat dan diprediksi memuncak di 2019, seiring dengan masuknya tahapan kontestasi elektoral. Dari sekian banyak serangan yang diarahkan langsung pada Jokowi, belakangan muncul tudingan Jokowi diktator! Benarkah? Tentu tuduhan ini serius dan menarik dicermati sekaligus dielaborasi dari perspektif akademik maupun politik praktis. Jokowi menanggapi tuduhan ini dengan gaya komunikasi politiknya yang identik dengan karakteristik dia sejak lama, yakni ringan, simbolis, dan tampak bermaksud menurunkan tensi ketegangan dari tuduhan dengan memosisikannya menjadi bahan candaan. demikian, pesannya tampak jelas dia melakukan sanggahan narasi meski menggunakan cara dan gayanya sehari-hari.

Gaya komunikasi
Hal pertama yang menarik dianalisis ialah gaya berkomunikasi Jokowi. Setiap pemimpin punya gayanya sendiri-sendiri dan dari gaya komunikasi tersebut tecermin pula pola kepemimpinannya. Dalam kajian komunikasi politik berbasis organisasi birokrasi, ada sejumlah gaya komunikasi aktor. Pertama, the controlling style, biasanya sangat ketat mengendalikan kuasa (power). Kerap membatasi, memaksa, dan memosisikan pihak lain menjadi subordinat. Proses komunikasi berjalan linear dan menjadikan pihak di luar dirinya taat dan patuh pada kehendaknya.

Pemimpin diktator pilihannya pasti di gaya yang ini. Sulit menerima kritik dan menegasikan kontrol. Apakah Jokowi di sini? Jelas baik dari kebiasaan pribadinya maupun konteks demokrasi Indonesia yang ada saat ini, Jokowi tak berada di gaya ini. Kritik mengalir sepanjang hari nyaris tanpa jeda dan melalui beragam kanal komunikasi warga bisa bicara lebih terbuka. Kedua, equalitarian style (gaya kesetaraan). Orang dengan gaya komunikasi ini, biasanya arus verbal dan nonverbalnya selalu mencoba dua arah (two way traffic communication).
Dilihat dari gaya berkomunikasi, sesungguhnya Jokowi ada di sini.

Dia sangat terbiasa menggunakan diksi yang mudah dipahami, bahasa rakyat, tidak berpidato mendayu-dayu dalam durasi yang panjang, dan punya keinginan mengembangkan dialog dengan ragam kekuatan. Betapa banyaknya pihak yang sudah diajak dialog, makan siang bersama, dikunjungi secara khusus oleh Jokowi. Tentu kita ingat, bagaimana Jokowi bertemu dengan massa yang melakukan aksi damai 212, berjumpa dengan Prabowo di Hambalang dan SBY di Istana, bersilaturahim dengan GNPF-MUI, serta sejumlah tokoh-tokoh simpul lainnya.

Ketiga, structured style (gaya terstruktur), biasanya aktor lebih menonjolkan komunikasi yang terarah, terkendalikan, pasti dan membuatnya nyaman. Biasanya sangat menonjol dengan pengelolaan ide serta pemikiran yang dibahasakan dengan runtut meski kerap terjebak pada pesan yang berpusat pada komunikator. Ini yang dominan ada di gaya SBY selama menjadi presiden maupun sesudahnya. Terdapat jarak cukup lebar antara warga sebagai komunikan dan bahasa verbal maupun nonverbal SBY. Tentu, selain ketiga gaya tersebut masih terdapat sejumlah gaya lain yang tidak terlalu relevan dibahas di sini.

Yang jelas, dari gaya berkomunikasinya, Jokowi tidak identik sama sekali dengan sosok diktator. Coba perhatikan saat Jokowi ada di panggung dalam ragam kesempatan, dia sangat jarang menjadi pembicara tunggal sepanjang pidato. Dia berupaya mengajak orang ke panggung untuk dialog meskipun untuk hal-hal yang sifatnya sederhana. Termasuk pertemuan terakhir saat bersilaturahim dengan ulama beserta para santri di Pondok Pesantren Minhaajurrosyidin Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa (8/8), Jokowi menjawab serangan dengan gayanya yang equalitarian.

Substansi pesan
Meski candaan, sesungguhnya substansi pesan Jokowi bisa dimaknai seriusan. Dalam penggalan kalimatnya Jokowi mengatakan, "Enggak usah takut. Presidennya enggak diktator kok." Di lain penggalan Jokowi juga berucap, "Sekarang di medsos banyak yang menyampaikan, Pak Presiden Jokowi itu otoriter, diktator. Masak wajah saya kayak gini wajah diktator?" Dua penggal kalimat tersebut menjadi strategi counter narasi ala Jokowi. Dia tampak ingin menepis lewat bahasa verbalnya bahwa tidak benar jika dia dilabeli otoriter dan diktator.

Medium candaan menjadi cara dia menurunkan derajat kegundahannya atas tuduhan tersebut menjadi sesuatu yang lebih membumi dan tak terkesan agresif secara verbal. Ini gaya yang sangat berbeda dengan SBY, yang biasanya menanggapi serangan-serangan ke dia dengan medium konferensi pers atau status khusus dan penjelasan runtut khas gaya komunikasi structured style meskipun keduanya harus diletakkan dalam konteks komunikasi politik. Dalam telaah Dan Nimmo, di bukunya Political Communication and Public Opinion in America (1996), mustahil seorang pemimpin dapat mengoordinasikan tata nilai politik dan idealisasi sosial secara seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik.

Apakah secara politik praktis Jokowi sudah menjadi diktator atau otoriter? Diktator itu seorang pemimpin otoriter yang menindas dan kejam. Dia mempertahankan kuasanya dengan cara kekerasan, absolut, antikritik, dan meniadakan kompetitor. Sementara itu, otoriter ialah pemimpin yang meletakkan segala bentuk kekuasaannya dengan menegasikan aspek-aspek kebebasan individu. Sejumlah pemimpin di dunia yang diktator dan otoriter sebut saja ada Benito Mussolini berkuasa di Italia 1883-1945, Adolf Hitler berkuasa di Jerman 1988-1945, ada juga Nicolae Ceausescu penguasa Rumania 1918-1989.

Kekuasaan HM Soeharto 32 tahun pun masuk catatan kekuasaan otoriter. Teknik name calling atau memberi label buruk diktator dan otoriter untuk Jokowi saat ini lebih merupakan dramatisasi semata dan belum menemukan tautan kuat faktualnya. Jika pun ada kekecewaan, protes, dan ketidaksepakatan dalam keluarnya Perppu Ormas, UU Penyelenggaraan Pemilu, pembubaran HTI, Jokowi masih membuka diri untuk dibantah, diuji, didebat di Mahkamah Konstitusi. Dikritik di ragam kanal baik media massa, media sosial, maupun forum-forum perbincangan.

Kritik harus dilakukan karena Jokowi dan pemerintahannya jika tanpa kontrol justru akan punya peluang menjadi otoriter bahkan diktator. Akan tetapi, jangan sampai name calling dilakukan sekadar mengonstruksi realitas untuk delegitimasi seseorang jelang 2019.
Peter L Berger dan Thomas Lucmann dalam buku klasik mereka, The Social Construction of Reality (1966), menggambarkan konstruksi sosial sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi di saat individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Konteksnya dalam kasus ini, label buruk yang didramatisasi terus-menerus melalui realitas simbolis seperti di media massa dan media sosial sangat mungkin membentuk 'realitas' terutama dalam persepsi subjektif khalayak. Dramatisasi opini jangan sampai membunuh karakter seseorang secara serampangan, terlebih tanpa bukti memadai.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya