Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Upah Minimum Provinsi dan Rasio Pajak

Haryo Kuncoro Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Dosen FE Universitas Negeri Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
26/7/2017 00:01
Upah Minimum Provinsi dan Rasio Pajak
(ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

KINERJA perpajakan nasional terus mendapat sorot-an. Dalam RAPBN-P 2017, misalnya, penerimaan pajak diperkirakan turun (shortfall) Rp50 triliun dari target semula Rp1.499 triliun. Persoalan ini seolah mengulang cerita lama. Selama enam tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak selalu lebih rendah daripada sasaran. Akibatnya, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) mandek di kisaran 10%-11%. Rendahnya rasio pajak juga disorot luar negeri. IMF mengingatkan Indonesia agar mampu meningkatkan rasio pajak sampai 15% bila ingin melakukan percepatan pertumbuhan. Dalam merespons hal ini, pemerintah memasang target rasio pajak 16% akan tercapai pada 2019.

Target (atau lebih tepatnya ambisi) rasio pajak di atas sepertinya mulai membidik calon korbannya. Menurut rencana, kebijakan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) akan diubah mengikuti kenaikan upah minimum provinsi (UMP) setiap tahun di tiap daerah. Kebijakan ini sekaligus ‘menjilat ludah sendiri’. Sebelumnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 menetapkan kenaikan PTKP menjadi Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan dari semula Rp36 juta per tahun atau Rp3 juta per bulan.

Artinya, buruh yang selama ini tidak terkena kewajiban membayar pajak penghasilan (PPh) bisa jadi akan terjaring menjadi wajib pajak. Demikian pula, karyawan yang sebelumnya sudah terkena PTKP akan membayar PPh lebih besar lagi.
Di satu sisi, kebijakan kenaikan ambang PTKP dtempuh untuk mendo-rong daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi. Di sisi lain, kenaikan PTKP menggerus penerimaan negara. Tahun lalu, pemerintah kehilangan penerimaan dari PPh orang pribadi Pasal 21 setidaknya Rp20 triliun. Konkretnya, proses multiplier effect tidak terjadi. Perubahan PTKP tidak diimbangi dengan kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai) yang dipicu dari konsumsi masyarakat.

Dipetakan ke dalam kewilayahan, penurunan penerimaan PPh terjadi signifikan di daerah-daerah dengan UMP yang rendah. Korelasi yang kuat antara volume penerimaan PPh dan UMP tampaknya mendorong pemerintah untuk menerapkan PPh berdasarkan zona kewilayahan. Selama ini, PPh diimplementasikan ‘pukul rata’ tanpa memperhatikan kondisi perekonomian daerah. Konsekuensinya, daerah yang berkembang pesat niscaya menyokong PPh yang tinggi. Sebaliknya, daerah yang berkembang lambat cenderung menyumbang penerimaan PPh yang kecil pula.

Padahal, daerah-daerah yang lambat berkembang ini juga turut memproduksi barang/jasa yang diperhitungkan dalam pendapatan nasional. Alhasil, rasio pajak Indonesia senantiasa ketinggalan dari negara-negara lain, Zonasi PPh atas dasar UMP diharapkan mampu mendongkrak penerimaan negara sehingga mengangkat rasio pajak. Ide ini lebih ‘adil’ karena memperhitungkan perbedaan daya beli dan beban hidup di tiap-tiap daerah. Apabila bisa diberlakukan, regionalisasi kebijakan PTKP kian mendekati biaya hidup riil. Selain itu, konsep PTKP ialah biaya minimum yang dibutuhkan wajib pajak untuk dapat bekerja menghasilkan pendapatan. UMP juga merujuk pada konsep minimum. Sementara itu, objek PPh ialah penghasilan/upah. Oleh karena itu, PTKP bisa ditetapkan sebesar persentase tertentu di atas nilai UMP.

Penerapan PTKP berdasarkan UMP memang sebuah terobosan baru. Persoalan yang potensial muncul ialah resistensi dari kalangan buruh. Kenaikan UMP setiap tahun yang diikuti dengan kewajiban pembayaran PPh membuat efek neto bagi kesejahtera-an buruh jadi nihil. Sementara itu, kenaikan UMP itu sendiri didasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi. Dengan lain kata, kenaikan UMP mengikuti pertumbuhan alami. Artinya, penerimaan pemerintah dari PPh pun sejatinya akan naik mengikuti pertumbuhan alami tanpa harus mengubah-ubah batas PTKP.

Lagi pula, standar UMP ialah untuk pekerja lajang yang pertama kali bekerja tanpa memiliki masa kerja. Lagi-lagi, kenaikan besaran UMP tiap tahun tidak sepenuhnya mencerminkan tambahan kemampuan ekonomi bagi pekerja lama terutama yang telah berkeluarga. Kebijakan ini juga akan berimbas pada pengusaha. Tiap tahun, pengusaha akan dituntut untuk menaikkan upah melebihi kenaikan resmi UMP guna mengompensasi kehilangan efek neto kesejahteraan buruh. Lebih lanjut, kenaikan upah buruh akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual. Jika produk tersebut ‘strategis’, efek kenaikan harganya akan menjalar luas ke harga barang/jasa lain sehingga mendorong inflasi. Kenaikan inflasi kembali menjadi alasan bagi buruh untuk minta kenaikan UMP.

Dengan skema problematika di atas, pendekatan kompromistis agaknya diperlukan dalam menengahi berbagai kepentingan di atas. Solusi alternatifnya ialah PTKP merujuk pada kenaikan upah minimum sektoral alih-alih hanya semata-mata pada UMP yang berlaku seragam di tiap provinsi. Logikanya, penyerapan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand). Permintaan induknya ialah produksi barang/jasa. Konfigurasi perbedaan aktivitas produksi lebih jelas terlihat secara sektoral daripada regional. Sektor ekonomi yang tumbuh niscaya menyerap tenaga kerja dan upah yang lebih tinggi pula.

Upah tenaga kerja berasal dari nilai tambah (value added). Upah (bagi buruh), rent (bagi pemilik sumber daya), interest rate (bagi pemilik modal), dan profit (bagi pengusaha) membentuk nilai tambah. Dalam ekonomi pasar, fungsi ekonomi akan mendistribusikan nilai tambah berdasarkan besarnya peranan. Oleh karena itu, kebijakan PTKP akan dikelola dunia usaha dalam konteks peningkatan nilai tambah di sektor masing-masing. Dengan cara ini, tenaga kerja dituntut untuk meningkatkan produktivitasnya. Konsekuensinya, kenaikan upah minimum tidak lagi cerminan kenaikan alami tetapi kenaikan produktivitas tenaga kerja.

Apabila kebijakan PTKP berbasis pada upah minimum sektoral, sedangkan upah minimum sektoral di tiap daerah ditentukan berdasarkan penciptaan nilai tambah, rute ini akan menuju ke arah terwujudnya pertumbuhan dengan pemerataan (growth with distribution). Penerimaan pemerintah dari sektor PPh pun akan berkelanjutan. Alhasil, target rasio pajak 16% bukan lagi ambisius.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya