Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
'SALAMAKI antama ri Lalang Embaya, rambang seppana I Amma (Selamat datang di Kajang Dalam, kawasan adat Amma Toa)'. Tulisan itu terpasang di depan gerbang masuk Kampung Amma Toa. Saat kami tiba di desa adat tersebut, tulisan itu menjadi pusat perhatian, tepat di gerbang Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, yang jaraknya 56 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Memasuki Kampung Amma Toa berarti harus mematuhi adat istiadat di wilayah itu. Segala jenis alas kaki harus dilepas dan wajib mengenakan pakaian serbahitam. Kami pun berjalan di atas jalan setapak penuh bebatuan dan kiri kanan dipenuhi pohon yang rindang. Tidak ketinggalan para pejabat termasuk menteri harus mematuhi aturan adat. Saat berkunjung ke daerah tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pun mengenakan pakaian hitam-hitam layaknya penduduk lokal dan melepaskan alas kaki. Ia berjalan tanpa alas kaki sejauh 1 kilometer menuju bola tamu Amma Toa atau aula penerimaan tamu Amma Toa.
Kunjungan Siti Nurbaya tersebut terkait dengan rencana pemerintah menetapkan hutan di wilayah adat Amma Toa Kajang sebagai hutan adat. Jika disahkan, hutan adat Amma Toa Kajang akan menjadi hutan adat pertama di Indonesia yang disahkan pemerintah. "Saat berada di sini mau melihat secara konkret kondisinya karena proses administrasinya sudah lama dan sudah masuk ke kementerian sejak 2015," ujar Siti Nurbaya. Desa Tana Toa secara administratif ialah masyarakat adat Amma Toa yang tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km persegi. Sebagian besar kawasan desa masih merupakan kawasan hutan.
Siti menambahkan penilaian dan pengesahan hutan ada tersebut sudah diolah di tingkat dirjen dan lembaga swadaya masyarakat. "Di tingkat menteri, saya sudah selesai prosesnya, tetapi lagi-lagi masih menunggu keputusan presiden. Saya harus meyakinkan betul kondisi lapangan seperti apa," ungkapnya. Menurutnya, penetapan hutan adat itu bagian dari komitmen Presiden Joko Widodo yang memiliki perhatian sangat besar terhadap masyarakat adat serta tidak menginginkan sumber daya alam hanya dimonopoli perusahaan.
"Pak Jokowi ini sangat memperhatikan hal-hal untuk rakyat. Kalau selama ini sumber daya hutan kan sudah sering terdengar untuk corporate, ya, untuk corporate saja. Maka sekarang saatnya hutan untuk rakyat sejahtera itu menjadi konkret," lanjut Siti Nurbaya. Skema hutan adat, lanjut Siti, merupakan bagian dari sejumlah skema pengelolaan hutan oleh masyarakat. Selain hutan desa, ada hutan tanaman rakyat dan hutan kemasyarakatan. "Semua skema itu harus dilihat di lapangan seperti apa. Praktiknya, kelompoknya, cara bekerja, dan bagaimana itu betul-betul menyejahterakan rakyat." Dia menambahkan, ketika ruang atau akses pengelolaan kawasan hutan itu diberikan kepada masyarakat, apakah benar dimanfaatkan sebagaimana mestinya. "Atau nanti dimanfaatkan rakyat tapi dikaitkan lagi dengan pihak-pihak lain," urainya.
Hutan keramat
Sebelum berdialog dengan masyarakat, Siti Nurbaya menyempatkan diri mengunjungi salah satu kawasan hutan adat Kajang yang disebut Borong Jenneberang yang sangat dikeramatkan. Batas hutan yang bisa dimasuki hanya sekitar 40 meter. Di hutan itu juga tidak boleh ada pengambilan kayu atau hasil hutan lainnya. Hutan bagi masyarakat adat Amma Toa Kajang memiliki makna tersendiri dalam kaitannya dengan kehidupan spiritual mereka. Hutan tidak boleh dirusak dan ada sanksi bagi siapa pun yang melanggar.
Mewakili Puto Palasa atau Amma Toa ke-22, Ketua Masyarakat Adat Sulawesi Selatan Mansyur Embas menjelaskan pentingnya hutan bagi masyarakat adat Amma Toa Kajang. "Bisa dilihat adanya 83 pasang (pesan) terkait dengan pentingnya menjaga hutan. Itu semua pesan leluhur yang diwariskan secara turun-temurun sebagai hukum tidak tertulis, yang diketahui dan disampaikan Amma Toa sebagai pemimpin spiritual tertinggi di komunitas adat ini," kata Mansyur Embas. Salah satu pesan terkait dengan pengelolaan hutan ialah jagai linoa lolloboneanna nasaba injo boronga pallekona linoa (jagalah dunia dengan segala isinya karena hutan merupakan selimut dunia).
Bila ada yang melanggar larangan-larangan di dalam kawasan hutan adat, mereka akan dikenai sanksi yang jumlahnya hingga tiga tingkatan. Pertama ialah sanksi ringan atau cappa babbala dengan denda sebesar Rp5 juta-Rp7 juta. Kemudian sanksi menengah disebut tanga babbala dengan denda Rp7 juta-Rp8 juta. Sanksi paling berat disebut poko babbala dengan denda Rp12 juta.
Menurut Mansyur, untuk kasus pelanggaran sangat berat itu, selain denda uang, pelaku bisa diusir dari kampung berikut seluruh keturunannya. Istilahnya paumpai tana atau tidak boleh menginjakkan kaki di tanah Kajang. Uang hasil pembayaran denda nantinya dibagikan secara merata kepada seluruh masyarakat adat di dalam kawasan, termasuk pelaku pelanggaran itu sendiri. "Denda itu juga dibagikan kepada yang berbuat. Ini menandakan bahwa masalah ini sudah terselesaikan dan tidak boleh diungkit-ungkit lagi," ujarnya. (N-3) [email protected]
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved