Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Para Kundi tidak Mampu Beli Gas Bumi

Furqon Ulya Himawan
26/10/2016 00:30
Para Kundi tidak Mampu Beli Gas Bumi
(MI/FURQON ULYA HIMAWAN)

MENTARI sudah sepenggalah, tetapi keberadaannya tak begitu nampak karena tertutup mendung. Gerai maupun showroom gerabah dan keramik di sepanjang Jalan Kasongan, Bantul, Yogyakarta, masih sedikit yang buka. Namun, saat masuk ke perkampungan, para kundi sudah memulai aktivitas mereka. Kasongan merupakan daerah tujuan wisata kerajinan gerabah dan keramik di Yogyakarta. Banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang menjajakkan kaki di sini untuk mencari gerabah dan keramik. Selain bertani, mayoritas warganya berprofesi sebagai kundi atau perajin barang yang terbuat dari tanah liat.

Pagi itu, Rudiyanto, 38, sudah menata gerabahnya yang akan dibakar dengan kayu. "Membakar gerabahnya tidak pakai gas," kata Rudiyanto, sambil menunjuk beberapa tumpukan kayu yang ada di depan rumahnya, Kamis (6/10). Menurutnya, mayoritas kundi Kasongan menggunakan kayu untuk membakar gerabah. Hanya sedikit kundi yang menggunakan gas. Bahkan, yang dulunya para kundi menggunakan gas, sekarang beralih lagi memakai kayu bakar. "Harganya mahal dan tidak menutup ongkos produksi," tambahnya.

Di seberang jalan tak jauh dari tempat Rudiyanto, ada tempat kerajinan gerabah yang cukup besar, namanya PT Timboel. Puluhan pekerja terlihat sibuk merampungkan garapannya masing-masing. Beberapa produk yang sudah jadi seperti patung dan gerabah tertata di beberapa ruangan. Tepat di ruang tengah terdapat sebuah tungku besar. Di ruangan lainnya, ada empat tungku yang ukurannya lebih kecil. Tungku-tungku itu ialah tungku pembakaran menggunakan gas. "Tapi tungku-tungku gas ini sudah lama sekali ndongkrok (teronggok), tidak dipakai lagi," kata Pairan, 44, salah satu pekerja kerajinan gerabah dan keramik di PT Timboel.

Dulu, kata Pairan, tungku-tungku gas itu dipakai untuk pembakaran. Sekali pembakaran, satu tungku bisa menghabiskan dua tabung gas isi 50 kg. Namun, semenjak harga gas mahal dan kadang langka, PT Timboel beralih lagi ke tungku tradisonal, yakni pembakaran dengan kayu. "Saya lupa kapan pastinya, yang jelas sudah lama tidak dipakai," imbuh Pairan sambil menunjuk ke tabung-tabung gas isi 50 kg yang juga tergeletak di pojok ruangan. Di pojokan ada sekitar tujuh buah tabung gas menganggur.

Saking lama tak terpakai, banyak debu dan sawang yang menempel. Pemandangan sama juga dijumpai di kantor UPT Gerabah Kasongan. Di situ ada empat tungku gas yang teronggok di ruangan belakang. Kapasitasnya bervariatif, antara 1,5 kubik sampai 6 kubik. Di pojok juga terdapat tujuh tabung gas isi 50 kg yang berdebu dan lama tidak terpakai. "Kami punya lima tungku gas, tapi satu tungku diminta UGM. Dan yang paling besar punya kami (kapasitas 6 kubik) sudah rusak sejak lama," kata Koordinator UPT Gerabah Kasongan, Suwarjo, saat ditemui di kantornya, Jumat (7/10).

Gas tak terbeli
Timbul Raharjo pemilik kerajinan gerabah dan keramik PT Timboel mengakui bahwa gas merupakan sumber energi yang sangat membantu UMKM kecil seperti dirinya dan ratusan perajin lainnya di Kasongan. Pembakaran dengan tungku gas hasilnya lebih bagus dan cepat. "Saya punya beberapa tungku gas dan beberapa tabung gas isi 50 kg untuk pembakaran," ujar Timbul. Namun, Timbul beralih ke kayu bakar lantaran harga gas semakin mahal. Harga tersebut memengaruhi ongkos produksi sehingga menyebabkan harga jual semakin mahal.

Produk keramiknya susah bersaing dengan lainnya. "Dulu harganya cuma Rp125 ribu hingga Rp150 ribu, sekarang sudah mencapai Rp700 ribu. Padahal, harga gerabahnya sama, tapi harga gas terus meningkat. Lalu, saya hentikan karena biaya produksi tidak mendukung. Saya beralih ke kayu lagi," ungkap Timbul. Sementara menggunakan kayu bakar, Timbul hanya mengeluarkan ongkos produksi Rp500 ribu, "Kalau menggunakan tungku gas, ongkos produksinya menjadi Rp2 juta atau tiga kali lipat dibandingkan kayu bakar," jelasnya.

Penjelasan Timbul diamini Suwarjo, Koordinator UPT Gerabah Kasongan. Data yang dimiliki UPT Gerabah Kasongan menunjukkan hanya 1% dari 582 perajin gerabah yang menggunakan tungku gas bumi untuk pembakaran. Menurutnya, tungku yang dipakai untuk membakar gerabah merupakan tungku khusus, yakni tungku bata yang panasnya tidak melebihi 900 derajat. "Sekitar 99% perajin pakai itu," Suwarjo. Sisanya 1% ialah perajin gerabah yang diglasir. Untuk menghasilkan glasiran yang baik, perajin membutuhkan panas yang bisa melebihi 1.300 derajat. "Dan itu hanya bisa dihasilkan dengan pembakaran gas bumi," tambahnya.

Pembakaran dengan gas bumi, perajin membutuhkan panas melebihi 1.300 derajat. Panas yang melebihi 1.300 derajat hanya bisa dihasilkan dengan pembakaran gas bumi. "Tanahnya juga beda. Tanah untuk pembakaran tungku gas bumi diambil dari Sukabumi atau Wonosobo," terang Suwarjo. Pembakaran dengan gas bumi memiliki manfaat lebih jika dibandingkan dengan pembakaran dengan kayu bakar. Namun, harga gas bumi masih mahal. Terkadang perajin menghadapi kendala pasokan gas bumi, terlebih bila barang-barang keramik tersebut diekspor, tetap kalah bersaing dengan Korea, Tiongkok, dan Jepang. Di Kasongan ada empat perajin gerabah yang menggunakan tungku gas.

Salah satunya ialah Loro Blonyo. Murti, 36, pengelola Loro Bloyo mengaku sudah menggunakan gas bumi sejak 2004. Perusahaan tersebut memproduksi keramik glasiran sehingga membutuhkan tungku gas untuk menghasilkan panas 1.300 derajat celsius. "Harga gas memang mahal sekitar Rp500 ribu. Bahkan, pernah menembus Rp800 ribu per tabung isi 50 kg. Kadang-kadang gas langka. Itu yang mencemaskan," ungkap Murti. Para perajin mengaku lebih suka menggunakan tungku gas bumi daripada kayu karena lebih efisien dan hasilnya lebih bagus. "Hasil produksi mampu menembus pasar ekspor. Sayangnya, harga gas mahal jadi bagaimana lagi," keluh Rudiyanto. (N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya