SEBUAH langgar di wilayah Kauman, Kota Yogyakarta, masih berdiri kukuh. Bangunan dua lantai itu, pada bagian bawah dimanfaatkan sebagai museum, sedangkan yang atas digunakan sebagai tempat salat dan mengaji kitab-kitab Islam terutama kitab suci Alquran. Langgar tersebut dibangun oleh ayah KH Ahmad Dahlan, KH Abu Bakar, sekitar 1868.
Langgar tersebut menjadi saksi perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam mendakwahkan ajaran agama Islam yang kafah. Langgar Kidoel Hadji Ahmad Dahlan itu pula yang sempat dirobohkan oleh sebagian warga Kauman yang kala itu tidak sepaham dengan ajaran KH Ahmad Dahlan. Namun kemudian dibangun lagi dengan konstruksi yang lebih kukuh.
Kini langgar tersebut sehari-harinya dirawat oleh cicit KH Ahmad Dahlan, Ahmad Nafian. \"Di sini saksi perjuangan KH Ahmad Dahlan sepulang belajar dari Mekah. Hingga saat ini, langgar ini masih digunakan untuk mengaji anak-anak dan tahfidz Alquran,\" terang dia. Sosok KH Ahmad Dahlan selama ini memang dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah.
Putra dari KH Abu Bakar dan Siti Aminah tersebut mendirikan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijah 1330 H, atau bertepatan dengan 18 November 1912 Masehi. Saat ditemui di tempat terpisah, Muhammad Iftironi, cucu KH Ahmad Dahlan, menuturkan kakeknya ialah sosok dai yang mujadid. \"Dia ingin mengembalikan agama Islam seperti asal muasalnya,\" kata dia.
Saat itu, KH Ahmad Dahlan yang pernah diangkat sebagai Ketib Amin oleh Keraton Yogyakarta, melihat agama Islam tampak karut marut. Tidak sedikit warga dalam menjalankan ibadahnya melakukan praktik yang justru tidak dikenal di ajaran Islam. Kegundahan itu mendorong KH Ahmad Dahlan mengambil langkah untuk berjuang mengembalikan ajaran Islam seperti asal muasalnya mengikuti kaidah yang sama, yang dilakukan Rasulullah.
Salah satu perjuangan yang dikenal luas ialah saat KH Ahmad Dahlan membetulkan arah kiblat, dari sebelumnya menghadap barat menjadi agak serong ke utara atau tepat menghadap ke Kabah. Menurut Iftironi, saat itu memang sempat muncul konflik saat KH Ahmad Dahlan pertama kali menyampaikan pandangannya tentang Islam yang sesuai dengan kaidah Rasulullah di tengah-tengah masyarakat.
KH Ahmad Dahlan pun dipanggil oleh raja dan diminta menyampaikan pandangannya. Dari situ raja Keraton Yogyakarta akhirnya punya penilaian bahwa gerakan Muhammadiyah tidak ada masalah. Tidak hanya ajaran keislaman yang sesuai ajaran Rasulullah, cara Ahmad Dahlan dalam penyebarluasan ajaran tersebut juga mencontoh cara yang dilakukan oleh Rasulullah.
KH Ahmad Dahlan yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis tersebut dalam syiarnya total mewakafkan diri, harta, dan waktunya untuk perjuangan agama. Dalam mengajarkan agama, dia tidak memandang bulu, tidak hanya kepada pribumi saja, tetapi saat itu juga masuk ke sekolah-sekolah Belanda.
\"Beliau juga melibatkan laki-laki dewasa, wanita, dan anak-anak serta remaja,\" imbuh Iftironi. Kelompok-kelompok yang digalang tersebut secara aktif juga ikut andil dalam menyiarkan ajaran Islam. Namun demikian, tidak sedikit penentangan yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap dakwah KH Ahmad Dahlan.
Kondisi yang tidak menguntungkan itu disikapi KH Ahmad Dahlan dengan bijak. Pengalaman organisasinya di Perkumpulan Budi Utomo menjadi pijakan yang kukuh dalam menyampaikan syiar Islamnya. \"Untuk menyampaikan visi dan misi Muhammdiyah, maka dibentuklah organisasi,\" kata Iftironi. Dari kesadaran keorganisasian tersebut, KH Ahmad Dahlan kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Dengan strategi perjuangan yang modern ini ajaran Muhammadiyah dapat menyebar dengan cepat dan mudah diterima masyarakat. Namun dalam 100 tahun lebih perjalanan Muhammadiyah, Iftironi melihat nilai-nilai perjuangan yang dibawa oleh kakeknya kini tampak mengalami pergeseran-pergeseran.
Seperti nilai-nilai keikhlasan, sekarang banyak umat yang tidak siap mengorbankan ketiga-tiganya, yaitu dirinya, harta, dan waktunya. Di zaman yang materialistis seperti saat ini, ujar Iftironi, tidak sedikit umat yang ingin mendapatkan materi dari perjuangan yang dia lakukan. Ia pun menilai pandangan semacam itu harus diluruskan.
Ia pun memberi masukan, dalam pengembangan agama tidak hanya faktor eksternal yang diperhatikan, seperti jumlah rumah sakit atau gedung sekolah. Faktor yang terkait akidah, ibadah, muamallah, muasyaroh, dan akhlak juga penting. \"Muhammadiyah harus melihat keberhasilannya juga ditentukan membangun manusia yang paham akidah, ibadah, muamallah, muasyaroh, dan akhlak Islam.\"