PEMERINTAH sejatinya tidak boleh mengabaikan semua aspirasi masyarakat dalam mengambil keputusan. Apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sebab bagaimanapun keputusan itu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat selamanya, sementara pemerintah akan datang silih berganti. Pengamat Birokrasi yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Bureaucracy and Service Watch (IBSW), Nova Andika mengungkapkan hal tersebut.
Itu sebabnya ia mengapresiasi pemerintah yang melakukan dialog publik dan sosialisasi untuk menyerap aspirasi terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Karena dengan begitu masyarakat lebih memahami dan ikut terlibat memberikan masukan sebelum disahkan.
"Kami mengapresiasi keseriusan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yang melibatkan masyarakat dalam menyusun RKUHP dengan digelarnya dialog publik dan sosialisasi di sejumlah daerah demi kesempurnaan RKUHP, terutama membahas beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi, perdebatan dan polemik di tengah masyarakat," ujar Nova dalam keterangannya.
“Kami mencatat dialog publik dilakukan di 11 kota dan sebagai hasilnya pemerintah mengadopsi 53 item masukan masyarakat, jadi proses dialog publik ini bukan basa basi semata," imbuhnya.
"Agenda dialog publik pembahasan RKUHP ini juga dalam rangka melaksanakan arahan Presiden Jokowi yang meminta jajaran Kemenkum HAM untuk menyerap dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dengan kembali melakukan sosialisasi," jelasnya.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Profesor Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan bahwa dialog publik tersebut telah dilakukan di sebelas kota, mulai dari Medan pada 20 September, kemudian Padang, Bandung, Denpasar, Surabaya, Pontianak, Samarinda, Makassar, Manado, Ternate, dan terakhir di Sorong.
Dari hasil dialog publik itu, lanjut Edward, pemerintah mengadopsi 53 item masukan dari masyarakat. Berdasarkan masukan tersebut, dia menambahkan terjadi perubahan jumlah pasal dalam RKUHP. Naskah RKUHP versi 9 November atau yang terbaru memiliki 627 pasal, sedangkan versi 6 Juli mencakup 632 pasal.
"Yang lama itu kan 632 pasal, sekarang menjadi 627. Lima pasal dihapus," kata Eddy dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022) lalu.
Berbagai masukan dari masyarakat itu dikelompokkan dalam empat kategori, yakni penghapusan, reformulasi, penambahan dan reposisi. "Pertama adalah reformulasi. Ini antara lain menambahkan kata ‘kepercayaan’ di pasal-pasal yang mengatur mengenai agama. Kemudian mengubah frasa ‘pemerintah yang sah' menjadi ‘pemerintah’. Mengubah penjelasan pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden," kata Edward.
Dalam kategori penambahan, tim perumus menambahkan satu pasal terkait penegasan beberapa tindak pidana terkait tindak pidana kekerasan seksual. Di bagian penghapusan yang dihapus antara lain yaitu terkait advokat curang, praktek dokter dan dokter gigi, penggelandangan, unggas dan ternak yang melawati batas kebun, dan tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup.
"Lima pasal yang dihapus itu. Satu, adaalah soal advokat curang. Dua, praktek dokter dan dokter gigi. Tiga, penggelandangan. Empat, unggas dan ternak. Lima adalah tindak pidana kehutanan dan lingkungan hitup," papar Eddy.
"Itu memang atas masukan beberapa akademisi termasuk dari KLHK. Jadi kita kembalikan kepada UU eksisting," imbuhnya. (RO/A-1)