Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
KEBANYAKAN masyarakat hanya mengenal pohon bakau (Rhizophora Sp) sebagai tumbuhan yang menyusun vegetasi pesisir.
Padahal ada tumbuhan lain yang juga penting bagi ekologi wilayah itu.
Memiliki bunga dan biji yang khas, tumbuhan ini dikenal dengan nama Nyamplung.
Wilayah hidupnya berada di belakang atau lebih menjorok ke daratan dibanding dengan bakau.
Salah satu daerah yang masih memiliki sebaran Nyamplung (Calophyllum inophyllum) yang luas adalah di Kawasan Penguasaan Hutan (KPH) Perhutani di Purworejo, Jawa Tengah.
Di sana terdapat 132 hektar Nyamplung.
Hingga tahun 2009, tidak ada yang tahu potensi lain Nyamplung di luar fungsinya sebagai tanaman pesisir.
Potensi lain baru tergali setelah Peneliti Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Encep Rahman bersama pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan kajian tentang tanaman nyamplung sebagai penghasil energi.
Nyatanya Nyamplung dapat diolah sebagai biofuel.
Temuan ini menjadi kabar baik bagi upaya pemerintah dalam mengembangkan energi terbarukan.
Cadangan minyak bumi Indonesia memang hanya tersisa 0,2persen dari kebutuhan dunia dan diperkirakan habis pada tahun 2024.
Encep bersama ESDM kemudian membangun habitat nyamplung lainnya di sekitar Pantai Ketawang, Purworejo, seluas 50hektar.
Untuk menunjang program pembangunan desa mandiri energi, pabrik pengolahan nyamplung pun turut dibangun.
"Umur nyamplung yang ideal untuk bisa dimanfaatkan itu sekitar tujuh tahun. Dari bijinya bisa kita olah menjadi bahan bakar setingkat minyak tanah atau solar, sudah diujicoba ketika itu hasilnya positif. Prospeknya bagus untuk dijadikan sumber energi, hanya saja nilai korositasnya harus lebih diperhatikan," kata Encep saat dihubungi Media Indonesia, Kamis(12/4).
Meski begitu usaha budidaya nyamplung tidak serta merta mudah. Encep menuturkan bahwa tanaman nyamplung yang ia kembangkan kerap terserang penyakit.
Selain itu, banyak juga masyarakat yang tidak menghendaki lahannya dipergunakan hanya untuk tanaman nyamplung.
Sebab itu, sejak tahun 2015, lahan pengembangan nyamplung di Pantai Ketawang itu juga diisi tanaman lain.
Jagung, kedelai dan padi gogo ditanam di antara nyamplung.
"Paling yang tersisa baik itu sekitar 40persen saja, kami beri jarak tanam sekitar lima meter dari tanaman nyamplung yang satu dengan yang lain. Nah di antaranya itu ditanam tanaman semusim. Nggak berebut hara kok, hanya saja harus diperhatikan tutupan nyamplungnya, supaya tidak menghalangi sinar matahari yang masuk," tutur Encep.
Sistem campuran ini mendapat respon baik dari masyarakat. Banyak petani mengaku senang karena tanaman semusim dapat tumbuh baik bersama nyamplung.
Tanaman itu bisa terlindung dari angin maupun angin pembawa unsur garam.
Pengembangan Nyamplung juga dilakukan di Kebumen.
Namun minyak yang didapat dari biji nyamplung digunakan sebagai pelitur genteng.
Kaliandra
Tak hanya Nyamplung, pohon kaliandra juga tengah dikembangkan sebagai tanaman energi.
Program ini dilakukan oleh Peneliti Balai Penelitian Teknologi Agroforestry KLHK, M. Siarudin, di KPH Sumbawa.
Pola tanamnya juga diselingi dengan tanaman semusim. Laki-laki yang karib disapa Didin ini menyebutkan pemilihan kaliandra lantaran umur panen yang pendek namun bisa bertahan lama, juga kandungan biomassa yang memenuhi syarat untuk menjadi bahan biofuel.
"Yang biomassa-nya bisa diambil itu yang memiliki potensi kalor besar, minimal 4600 kilokalori per kilogram kayu. Kami baru mulai tanam di tahun 2015, dan menargetkan dalam lima tahun kedepan sudah bisa tahu hasil akhirnya seperti apa dan bisa digunakan untuk apa saja," pungkas Didin. (Wnd/M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved