Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
KEGIATAN menenun di Tanah Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak terhenti karena pandemi Covid-19. Kegiatan ritual pernikahan, memberikan hantaran tenun yang harus dibalas dengan pemberian tenun menjadikan kegiatan menenun di Ende terus berlangsung, meski permintaan tenun dari luar Ende berkurang.
Hal itu dikatakan Ali Abu Bakar Pae, pimpinan Sanggar Budaya Sawango Ende sekaligus pembina tenun Ende pada Webinar Nasional dengan tema “Selayang Pandang Tenun Ende: Merawat Tradisi di Masa Pandemi Covid-19” melalui aplikasi zoom pada, Rabu, 24 Maret 2021.
Webinar dimoderatori oleh Dwi Woro Retno Mastuti, peneliti budaya dari Universitas Indonesia. Kegiatan ini digelar oleh Rumah Cinwa (Cinta Wayang) dan Institut Literasi Nasionalisme (Ilnas).
Ali yang merupakan pembina tenun di empat desa yakni di Mbomba, Anaraja, Roporendu, Wipi Wemo, dan Rate Rua menegaskan, selama pandemi, produksi tenun tidak berkurang karena masih ada ritual hantaran tenun pada acara pernikahan atau kematian.
“Jadi, tidak ada alasan karena Covid menjadi tidak menenun,” ujarnya.
Bahkan, kata Ali, proses menenun yang membutuhkan waktu lama berkisar antara 1-2 bulan itu yang membuat stok tenun kurang. Penenun biasanya mendahulukan pesanan tenun untuk hantaran ritual adat.
Menurut dia, di Ende, menenun menjadi sebuah kebanggaan. Kalau tidak bisa bikin tenun bagus, ia akan merasa malu, apalagi kalau tidak bisa mengajarkan tenun ke anaknya. “Karenanya anak-anak perempuan di Ende selalu diajarkan menenun, agar kelak bisa membuat tenun sendiri,” ucap Ali.
Ali berharap, masyarakat Indonesa bisa mempopulerkan tenun sebagai warisan leluhur. Meski ada tenun print, itu justru menambah khasanah kain, tapi tenun asli dengan pewarna alami harus tetap dilestarikan.
Pelestarian tenun bisa dilakukan melalui literasi. Budaya lisan dialihkan dalam bentuk buku, film, video dan sebagainya. M Arief Wicaksono, peneliti muda dari UI melestarikan tenun Ende melalui buku hasil risetnya dengan judul, “Tenun Lio Nggela, Flores Tengah: Tradisi, Perkembangan, dan Dinamikanya.”
Wicak, sapaan akrab Arief Wicaksono, melihat keberagaman tenun di Flores saat ia meneliti rumah tradisional Ende. Di rumah tradisional itu ia melihat isu gender, ritual, termasuk tenun. Di Nggela, tempat penelitian dilakukan ia melihat etnik Ende (barat), Lio (selatan), Sikka (agak ke timur).
Menurutnya, kegiatan menenun berawal dari pengalaman yang membentuk pengetahuan kemudian berlanjut menjadi tradisi dan akhirnya sampai kepada motif ekonomi. Kain tenun Ende dipertukarkan pada ritual pernikahan, kematian, membangun rumah dan kepuasan pribadi. (J-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved