Warga Siri Mese Trauma pada Kekerasan Aparat

Yohanes Manasye
21/3/2021 22:54
Warga Siri Mese Trauma pada Kekerasan Aparat
Siprianus Mandut Kades Golo Poleng(MI/Yohanes Manasye)

Jarum jam menunjukkan pukul 13.00 WITA. Suasana kampung Siri Mese pada Jumat (19/3) tampak sepi. Padahal kampung tua yang terletak di Desa Golo Poleng, Kecamatan Ndoso, Manggarai Barat, NTT itu lumayan banyak penduduknya. Anak-anak yang awalnya asyik bermain di jalan dan halaman rumah tampak berlari masuk rumah.

“Sudah satu bulan ini, anak-anak takut kalau lihat ada orang baru. Apalagi kalau lihat orang baru itu pegang sesuatu seperti kamera. Mereka kira polisi atau tentara,” ujar Arsenius Supardi yang diamini warga lainnya.

Setelah hampir 15 menit sampai setengah jam tiba di rumah Yosef Sudirman Bagu, warga sekitar berdatangan. Ada orang dewasa, ada pula anak-anak yang dipangku orangtuanya.

Yosef bersama istri dan anak bungsunya tidak berada di rumah itu. Sudah hampir sebulan, mereka tinggal di rumah pamannya di Ruteng, Manggarai. Hanya Elo, putra sulungnya, yang kembali ke kampung untuk menjaga rumah.

Sebulan lalu, tepatnya pada Selasa (16/2), Yosef dianiaya oleh dua polisi dan lima tentara yang datang ke kampung itu bersama Kepala Desa Golo Poleng Siprianus Mandut. Warga Sirimese, tak terkecuali anak-anak, menyaksikan langsung peristiwa itu. Di antara pelaku penganiayaan, warga hanya mengenal polisi Bili Morgan dan tentara Ferdi.

“Saat itu, sekitar jam 4 sore. Kami menyaksikan sendiri bagaimana Bapa Elo ditempeleng, dipukul, dan ditendang. Ditarik ke jalan sampai kain sarungnya terlepas. Saya pikir, Bapa Elo mati sudah,” tutur Yeremias Simun. Bapa Elo merupakan sapaan untuk Yosef. Orang Manggarai biasa menyapa bapak-bapak dan ibu-ibu dengan menyebut nama anak sulungnya.

“Kami kaget. Kenapa orang yang baik ini dipukul. Pukul yang ngeri sekali. Kami hanya bisa menonton. Bagaimana dia disiksa saat mereka lewat di jalan. Di lapangan, dia dipukul dan didorong-dorong dengan sepeda motor. Kami tidak berani untuk omong apa-apa karena kami takut sekali,” tutur Anastasia Imut yang dibenarkan oleh ibu-ibu lainnya, Margareta Bahut, Regina Sinar, dan Floriana Sudarmi.

Tak hanya di sepanjang jalan sejauh kurang lebih 800 meter, tiba di rumah kepala desa pun, ia masih saja dipukul dan ditendang. Warga hanya bisa menonton. Meski ada rasa iba dan ingin menolong, namun tak satu pun berani mencegah tindakan aparat yang di luar batas kewajaran.

“Bahkan ketika ada warga yang mau foto atau rekam video pakai HP, polisi yang bernama Bili Morgan itu melarang sambil bentak-bentak,” kata Arsenius Supardi.

Peristiwa hari itu, membangkitkan ingatan warga pada masa lalu. Tahun 1984, seorang pemuda di kampung itu dianiaya dua tentara di hadapan ayahnya. Sang pemuda mengalami cacat permanen sementara kedua tentara itu melenggang bebas tanpa ada warga yang berani menuntutnya.

“Peristiwa itu terjadi pada zaman Orde Baru. Zaman Soeharto. Dua tentara datang pukul warga di sini hingga mengalami cacat permanen. Zaman itu tidak ada warga yang berani. Kejadian dulu itu terulang lagi saat ini. Di zaman reformasi ini masih ada tindakan aparat seperti zaman Soeharto,” kata Salesius Rusman.

Selain membangkitkan ingatan orang-orang dewasa pada peristiwa masa lalu, penganiayaan Yosef membekas dalam ingatan anak-anak. Bocah kampung Sirimese sering meniru ‘drama penganiayaan’ saat mereka bermain.

“Biasanya kalau bermain, anak-anak praktikkan. Semacam main peran, ‘kau polisi e, kau tentara, saya Bapa Elo’ lalu mereka praktikkan tinju, tendang main-main. Jadi mainan anak-anak. Tapi kalau ada orang baru datang ke sini, mereka takut. Mereka pikir polisi dan tentara,” kata Salesius Rusman.

Yosef bukan preman
Sebelum mendapati Yosef, tentara Ferdi dan polisi Bili Morgan sempat menyebutnya sebagai preman dan pengacau di kampung itu. Saat penganiayaan berlangsung pun, sebutan preman kampung dan pengacau terus disematkan pada Yosef.

Warga mengaku heran dengan sebutan itu. Bagi mereka, suami dari Fransiska Sanur itu merupakan orang baik. Sehari-hari, Yosef menanfaatkan waktunya untuk bekerja. Ia mengelola bengkel dan dua buah kios sembako yang dijaga oleh istri dan anaknya. Dari usahanya itu, ia menyediakan upah bagi warga yang mau membersihkan kebun dan sawahnya.

Tak hanya itu, pria yang sempat merantau belasan tahun silam itu dikenal sering membantu. Setiap kali ada acara pesta, Yosef selalu dipercayakan untuk memandu acara. Bahkan ia menjadi salah satu penyumbang dalam setiap kegiatan organisasi pemuda Orang Muda Katolik (OMK) setempat.

“Setiap ada kegiatan OMK, om Yosef selalu menyumbang lebih. Dia selalu bantu. Orangnya baik sekali. Dia juga termasuk orang yang kritis di sini, tetapi sopan dan bergaul dengan siapa saja. Makanya kami tidak terima ketika dia disebut sebagai preman atau pengacau,” tutur Ketua OMK Flavianus Yuwono.

Warga menduga polisi dan tentara salah orang. Sebutan pengacau, kata mereka, lebih tepat disematkan pada Vendi, pemuda mabuk yang berkelahi dengan Yosef, pagi sebelum peristiwa penganiayaan oleh aparat itu terjadi.

“Sebelum berkelahi dengan Yosef itu, Vendi cari saya. Dia beberapa kali lewat di depan rumah saya sambil membunyikan motornya keras-keras. Dia teriak-teriak maki saya. Tapi saya diam saja di dalam rumah. Saya merasa heran saja, apa masalahnya dia marah dengan saya. Mungkin karena tidak lampiaskan kemarahannya pada saya, makanya dia berkelahi dengan Yosef ketika Yosef tegur dia,” tutur Serilus Pakung, tetangga di depan rumah Yosef.

Vendi dikenal sebagai pemuda yang kerap mabuk alkohol. Dalam kondisi mabuk, ia kerap membunyikan sepeda motornya yang menggunakan knalpot racing. Ia juga beberapa kali ketahuan melakukan aksi pencurian. Beberapa tahun lalu, pemuda itu dihukum secara adat, yakni memikul lesung keliling kampung karena kedapatan mencuri barang kios milik warga setempat.

“Vendi itu yang sering buat masalah di sini. Dulu pernah dihukum ‘pikul lesung’ karena kedapatan mencuri barang di orang punya kios. Setelah itu, masih sering mencuri. Termasuk mencuri aki motor saya. Setelah saya ke dukun, baru dia kembalikan. Kalau tidak, mungkin dia sudah jual aki motor saya,” tutur Petrus Bagul.

Keseharian Yosef sebagai orang baik diakui pula oleh Kepala Desa Golo Poleng Siprianus Mandut. Sipri mengaku sangat mengenal Yosef sebagai warga yang baik dan tidak pernah melakukan kekacauan.

"Yosef ini, prilakunya, orang baik. Yosef ini orang baik. Dia tidak pernah membuat masalah sebelum-sebelumnya. Aman-aman hidupnya," tutur Siprianus.

Ia mengaku kaget ketika mendapat laporan perkelahian dengan pemuda Vendi. Meski mengenal Yosef sebagai warga yang baik, Kades Siprianus enggan mengambil langkah agar masalah perkelahian mereka diselesaikan di tingkat desa saja.

Ia beralasan, perkelahian dua warganya itu masuk dalam kategori kriminal. Apalagi keluarga Vendi mengancam akan balas dendam.

"Dari pada terjadi pertumpahan darah di sini, langsung saya informasikan ke sana (Polsek Kuwus). Syukurnya waktu itu pak, langsung polisi dan tentara cepat datang," ujarnya.

Bantah penganiayaan
Kades Siprianus mengaku panggil polisi dan tentara hanya untuk mengamankan wilayahnya. Ia tak pernah meminta agar aparat yang datang menganiaya Yosef.

Saat aparat tiba di rumahnya, ia langsung mengantar mereka menuju rumah Yosef. Saat itu, Yosef masih di sawah sehingga mereka sempat menunggunya di rumah tetangga.

Ketika Yosef tiba, Siprianus mengaku hanya menunjukkan Yosef pada polisi dan tentara. Ia mengaku segera kembali ke rumah untuk menyiapkan makanan sehingga tidak mengetahui peristiwa yang terjadi selanjutnya. Ia juga membantah adanya penganiayaan ketika Yosef dibawa oleh aparat ke dalam rumahnya.

"Kita ini manusia. Tidak mungkin tidak membela sesama. Dari sisi tugas, pasti saya bilang, jangan begitulah pembinaannya. Seandainya terjadi pembinaan. Saya tidak tahu pada saat mereka sudah di sana, di Polsek. Tetapi selama di sini, tidak ada penganiayaan," katanya.

Sementara itu, pihak tentara dan polisi sudah mendatangi korban dan mengaku telah melakukan tindakan kekerasan. Namun mereka berkelit dengan menyebutkan tindakan tersebut dilakukan karena dalam keadaan terpaksa.

Kondisi Yosef saat ini sudah membaik. Meski nyeri akibat pukulan masih terasa, luka-luka yang dialaminya sudah sembuh. Namun data hasil visum et repertum Puskesmas Golo Welu yang diperoleh Media Indonesia menyebutkan korban mengalami luka memar di perut bagian kanan atas, dagu, dan bibir bawah bagian dalam, serta luka lecet pada lutut kiri dan bahu kiri.  

Selain itu, korban merasa nyeri pada rahang, dada, punggung, dan kepala. Dari hasil visum disimpulkan bahwa luka memar dan luka lecet pada korban disebabkan karena pukulan dan gesekan benda tumpul. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya