Ekspor tidak Pernah Berhenti

Supardji Rasban
02/12/2020 05:00
Ekspor tidak Pernah Berhenti
Jamaludin memproduksi sarung tenun dengan alat tenun bukan mesin. Dia mengincar pemasaran ke Afrika dan Uni Emirat Arab.(MI/Supardji Rasban)

PANDEMI tidak membuat Jamaludin Alka­tiri terkapar. Perajin di Kota Tegal, Jawa Tengah, itu justru mampu mencuri kesempatan untuk melakukan ekspor ke sejumlah negara.

Jamaludin memproduksi sarung tenun dengan alat tenun bukan mesin. Saat pandemi menimpa banyak negara, dia mengincar pemasaran ke Afrika dan Uni Emirat Arab.

Untuk itu, Jamaludin harus berinovasi. Demi menyesuaikan dengan selera warga di negara tujuan, ia melakukan perubahan motif dan pewarnaan.

“Selama pandemi, saya meluncurkan lima motif baru. Di antaranya sarung songket Turki, yang di negara asalnya bisa berharga hingga Rp1,5 juta per lembar,” ujarnya, kemarin.

Perajin yang sudah menekuni usahanya sejak be­lasan tahun lalu itu memilih bahan organik serta kayu. Hasilnya, kualitas sarungnya tidak kalah dengan sarung songket asli Turki.

Namun, dari sisi harga, produk Jamaludin bisa mengalahkan songket Turki. “Saya bisa menjual dengan harga Rp200 ribu per lembar,” tandasnya.

Songket inilah yang dieks­por ke Afrika dan Uni Emirat Arab. “Kalau mau bertahan dan berkembang di masa sulit ini, kita harus kreatif, terus menghasilkan kreasi baru,” ujar Jamaludin memaparkan kiat usahanya.

Ke Timur Tengah

Pandemi juga tidak membuat para perajin peci rajut di Kampung Pasirrandu di Desa Bunisari, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, gulung tikar. Meski ada penurunan, produksi mereka masih lancar diekspor ke negara-negara di Timur Tengah.

“Kami mengirim pesanan peci rajut ke Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Di dalam negeri dipasarkan ke Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung,” kata Subaedah, 45, ketua kelompok perajin peci rajut.

Merajut dilakukan ibu rumah tangga. Mereka bisa memberi tambahan pendapatan karena para suami tetap bekerja di sawah.

“Rata-rata, satu orang bisa membuat 5-10 peci rajut setiap hari. Satu peci rajut upah­nya paling kecil Rp10 ribu, tergantung motifnya,” sambung Subaedah.

Sampai kemarin, di wilayah itu tidak ada warga yang terjangkit. Namun, Subaedah sudah menerapkan protokol kesehatan ketat bagi para perajin. “Wajib pakai masker selama bekerja, dan sebelum masuk ruangan produksi harus cuci tangan,” tambahnya.

Di lahan pertanian, semangat petani untuk terus menanam di masa pandemi tidak pernah kendur. Di Desa Cikidang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, para petani juga terus berkreasi untuk mengatasi gejolak harga.

Saat harga sayuran merosot karena permintaan di masa pandemi turun drastis, mereka banting setir menanam jeruk lemon california. Hasilnya lebih menguntungkan.

“Kami menanam 2.800 pohon di lahan seluas 7 hektare. Satu pohon bisa menghasilkan 10 kilogram dan harga jualnya saat ini masih di atas Rp20 ribu per kilogram,” kata Dani, petani.

Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, juga tidak membiarkan petani berpikir dan bekerja sendiri. Mereka tengah mengembangkan budi daya kopi arabika di 5 kecamatan.

“Penanaman kopi arabika merupakan pengembangan baru karena kebanyakan petani sudah menanam kopi robusta. Dari 15 kecamatan, uji coba kami lakukan di 5 kecamatan,” kata Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian M Yusuf.

Duta kopi Rejang Lebong, Reni Susanti, menambahkan bahwa petani kopi di wilayahnya mulai melirik praktik panen kopi petik merah. “Mereka memilih menghasilkan kopi premium yang harganya lebih bagus.” (BB/DG/BK/MY/DW/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya