Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
DEMI mendapatkan air bersih untuk konsumsi sehari -hari, warga Pangabatang, Desa Parumaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, harus bekerja keras menyeberang laut selama berjam-jam.
Dengan menggunakan perahu sampan, warga desa yang memiliki 87 KK itu harus berdayung sampan sejauh 7 kilometer menuju Desa Kojagete untuk membeli air bersih.
Kepala Seksi Pemerintahan Desa Parumaan, Bading Salasa, saat ditemui Media Indonesia, Sabtu (29/8), di Pangabatang mengakui warga Pangabatang sejak dulu kesulitan air bersih untuk kebutuhan minum dan memasak sehari-hari.
Baca juga: Kekeringan Melanda Sejumlah Wilayah
Sementara untuk kebutuhan cuci dan mandi sehari-hari, warga menggunakan air laut. Kebetulan di desa itu telah dibangun tiga sumur yang digunakan untuk seluruh warga Pangabatang.
Sedangkan untuk kebutuhan minum dan memasak, kata dia, warga terpaksa menggunakan sampan menuju ke Desa Kojagete agar bisa mendapatkan air bersih.
"Mereka harus berdayung sampan sekitar 7 kilometer agar bisa sampai di Desa Kojagete. Untuk ambil air di situ, warga harus membelinya dengan harga satu jerigen air bersih yang 30 liter Rp5.000. Air yang dibeli ini hanya untuk minum dan memasak saja. Mandi dan cuci kami sudah terbiasa dengan air asin," papar Bading.
Dikatakan dia, meski cuacanya tidak mendukung, warga tetap pergi membeli air bersih dengan menggunakan sampan.
"Kalau musim gelombang, mau tidak mau warga tetap pergi ambil air. Kita memang kesulitan air bersih untuk minum dan memasak saja," tandas Bading.
Bading menyampaikan pihak Desa Parumaan juga telah memberikan bantuan untuk warga berupa profil tank. Profil tank ini digunakan untuk warga menampung air hujan yang nantinya bisa digunakan untuk minum dan memasak.
"Profil tanknya kita sudah berikan kepada mereka. Jadi kalau musim hujan, profil tank itu bisa tampung air hujan. Untuk sementara kan belum musim hujan. Jadi profil tank itu untuk menampung air bersih yang mereka beli tadi," ujar Bading.
Ia menambahkan, untuk penerangan, warga menggunakan genset atau tenaga surya. Pasalnya, belum ada sambungan listrik di desa itu.
"Kita di sini belum ada jaringan listrik PLN. Jadi bagi warga yang ada solar, pada malam hari pasti ada penerangan. Sementara yang tidak ada solar meskipun ada genset pasti malam hari gelap. Sebab solarnya harus kita beli lagi di kota," pungkas dia (OL-1)
TERIK mulai menyengat. Seorang bocah laki-laki di Laimbaru, Desa Laindeha, Sumba Timur, masih berjibaku dengan jeriken lima liternya.
Selain pelayanan kesehatan, ratusan warga Desa Batas Batu Distrik Krepkuri, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan menikmati bantuan makan bergizi dan paket sembako serta air bersih
Dari sumber pendanaan yang selama ini terjadi untuk infrastruktur air, 90% masih dikeluarkan dari dana pemerintah, sementara partisipasi swasta baru sekitar 2%.
"Kami juga sudah mempersiapkan anggaran untuk operasional truk tangki penyuplai air bersih yang jumlahnya ada lima unit dengan kapasitas 5.000 liter dan 4.000 liter,"
LEMBAGA Pemantau Penyimpangan Aparatur Daerah (LP2AD) menilai Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan bisa menjadi sebagai standar nasional dalam pengelolaan sampah perkotaan.
Warga protes karena sulit mendapat distribusi air bersih yang sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved