Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
BURUKNYA variabel kesehatan dan Kemiskinan di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), menekan Index Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah tersebut. Hingga 2018, angka IPM di Lembata 63,08% atau terpaut beberapa digit dalam kisaran IPM Provinisi NTT 63%. Namun, dalam IPM nasional, Kabupaten Lembata, terpaut sangat jauh. IPM nasional telah menyentuh angka 71%.
Lebih dari satu dasawarsa, kondisi IPM di Lembata tidak bergeming.
Pemerintah setempat terus berupaya mendongkrak angka IPM dengan gerakan membangun seribu rumah laik huni (Geserlani) dan mendeklarasi Desa-desa yang belum total sanitasi (STBM). Upaya ini untuk menekan angka kemiskinan yang sangat berpengaruh pada angka IPM di Lembata.
"Angka IPM di Lembata sangat dipengaruhi faktor kesehatan dan ekonomi. IPM adalah Ukuran pembangunan yang paling utama. Jika dibandingkan dengan IPM Kabupaten Flotim dan Kabupaten Alor, IPM kita masih di atas. Kalau secara nasional, kita jauh sekali, karena IPM Nasional sudah 71%," ungkap Kepala Badan Pengembangan, Penelitian dan pembangunan Daerah (Bapelitbangda), Said Kopong, kepada Media Indonesia, di Lewoleba, Kamis (20/2)
Menurut dia, kendala utama tertekannya angka IPM di Lembata disebabkan faktor kemiskinan yang belum bergeming dalam satu
dasawarsa.
"Angka kemiskinan di Lembata 26% atau ada 31 ribu dari 139 ribu total penduduk masuk kategori miskin. Ini angka yang dikeluarkan BPS tahun 2018, sedangkan data tahun 2019, baru akan dirilis 28 februari 2020 nanti," ujar Said Kopong.
Kopong menyebutkan, angka kemiskinan di Kabupaten Lembata tergolong tinggi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sampai dengan 2022, pemerintah setempat menargetkan angka kemiskinan turun 4% atau berada di kisaran 22%.
"Angka kemiskinan ini berat sekali turun, mainannya di 14 indikator
kemiskinan itu, terutama yang berhubungan dengan perumahan, pemukiman dan sanitasi. Jika tidak ada intervensi secara masal, tidak akan berubah," ujar Said Kopong.
Kopong mengakui, rumah dan sanitasi merupakan masalah utama di Lembata. Jika dua atau tiga kepala keluarga tinggal dalam satu rumah, ini sudah masuk kategori miskin.
"Kalau dari 14 indikator itu hanya empat saja yang tidak dipenuhi, belum tabungan, makannya, kita akan kesulitan keluar dari kategori
miskin," ujar Said Kopong.
Upaya dari pemerintah daerah, menurut Said Kopong, sejak 2018, Bupati Lembata Eliazer Yentji Sunur juga sudah keluarkan Edaran kepada Desa agar mempergunakan APBDes guna membangun rumah laik huni, minimal 10 rumah per desa.
"Bupati sudah perintahkan kepada Dinas Sosial PMD untuk jaga di
asistensi APBDES 2020 kali ini, 1 Desa harus bangun 10 rumah, guna menggantikan rumah yang tidak layak huni. Maka Desa setiap tahun diwajibkan menggelontoran anggaran Rp200 Juta dari APBDes, untuk bangun rumah laik huni," ujar Said Kopong.
Sayangnya, jelas dia, kebijakan itu belum konsisten diterapkan di tingkat Desa. Bupati juga telah menginstruksikan DInas Sosial PMD dan Kecamatan mengawal program tersebut dalam asistensi APBDeS mendatang.
Selain perumahan, factor Sanitasi juga berpengaruh pada IPM di Lembata. Ia menyebutkan, hanya desa-desa di tiga Kecamatan, yakni Lebatukan, Ile Ape dan IIe Ape Timur, dampingan Plan (Lembaga Swadaya Masyarakat) itu yang cepat bahkan telah mendeklarasi Desa Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
"Dari 144 desa di Lembata, 61 diantaranya sudah deklarasi STMB. Sanitasi di 83 Desa lainnya masih sangat buruk. Wilayah Kota Lewoleba ini sulit STBM, sebab factor terberat adalah mengasingkan ternak dari pemukiman warga. Itulah sebabnya, banyak warga di wilayah Kota Lewoleba, Kecamatan Nubatukan terserang DBD. DBD adalah penyakit yang berbasis lingkungan. Kecamatan Nubatukan heboh karena DBD karena sanitasinya jelek. Padahal API Malaria sudah menurun drastic," paparnya. (OL-13)
Miliki rumah impian di Podomoro Golf View lewat KPR BRI Mini Expo! Nikmati bunga mulai 1,5% dan berbagai promo menarik hanya di sini.
Rumah subsidi yang semakin kecil tidak hanya berdampak pada kenyamanan fisik, tetapi juga mengganggu kualitas hubungan antara anggota keluarga.
Rumah masih menjadi sesuatu yang sulit dimiliki oleh anak muda di Indonesia saat ini. Faktor ekonomi dan sosial menjadi kendala utama.
Beli rumah impian gak beda jauh sama milih pasangan hidup: harus nyaman, punya masa depan jelas, dan gak bikin pusing finansial. KPR BRI hadir sebagai solusi cerdas dengan kerja sama developer top
Kaki seribu memiliki peran penting sebagai pengurai alami di ekosistem.
Kenaikan harga properti dan inflasi tak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan. Belum lagi, banyak kelompok usia produktif yang terjebak dalam peran sebagai sandwich generation.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved