Bina Kami, Jangan Dibinasakan

Aries Wijaksena
21/1/2019 07:30
Bina Kami, Jangan Dibinasakan
(FOTO ANTARA/Septianda Perdana)

"KAMI butuh pembinaan dari pemerintah, jangan pula kami malah dibinasakan," kata Ebed Boaz Sihotang saat bertemu di sebuah kedai di pesisir Danau Toba, Haranggaol, Simalungun, Sumatra Utara, Jumat (18/1).

Ebed, bersama dua rekannya, Hitjon Siloho dan Robin, adalah petani budidaya ikan nila dengan sistem keramba di perairan Danau Toba.

Mereka resah karena di berbagai kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan tidak ingin ada lagi keramba apung di Danau Toba.

Hal ini diungkapkan Luhut karena mendapat laporan dari Bank Dunia bahwa perairan di Danau Toba sudah tercemar parah. Salah satu penyebab utamanya adalah budidaya keramba ikan.

"Tidak sehat, sebetulnya itu harus dibersihkan. Karamba itu nggak bisa nggak, harus dibuang," kata Luhut.

Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman itu membuat para petani keramba resah. Menurut Robin, mereka sudah bertani keramba ikan sejak 1998.

"Kami menjadi petani keramba karena selalu gagal dalam bercocok tanam. Lagi pula, kontruksi daerah kami yang bertebing-tebing sulit untuk menjadi lahan pertanian," katanya.

Padahal, lanjut Hitjon, warga Desa Haranggaol sudah makmur dari budidaya keramba.

"Di sini ada 5.600 keramba yang aktif. Setiap keramba mampu menghasilkan 1 ton ikan nila untuk satu kali masa tanam selama 6 bulan. Sekali panen, kami mendapat untung Rp4 juta per keramba. Jika dihitung keuntungan per tahun, kami bisa dapat Rp44,8 miliar, atau Rp3,7 miliar per bulan. Ada 700 KK di kampung ini. Jika dibagi rata, maka pendapatan per KK di atas Rp5 juta per bulan," sebutnya.

Saat menyambangi keramba-keramba milik warga yang berada di tengah danau, tercium bau busuk dari bangkai-bangkai ikan yang mati atau dari pakan yang membusuk. Selain itu memang kumpulan keramba itu terlihat kumuh.

Ebed mengungkapkan, para petani mengembangkan usahanya secara mandiri.

"Tidak pernah ada pendampingan dari pemerintah baik itu soal cara pemeliharaan ataupun penataan," katanya.

Namun para petani siap jika pemerintah menginstruksikan agar keramba-keramba itu dibuat lebih ramah lingkungan dan terlihat rapi.

"Pemerintah mau buat Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional. Kami siap. Bahkan kami pun mampu menata diri sendiri. Kami ikut berinvestasi dengan membuat keramba yang bagus, bahkan membangun restoran terapung bagi wisatawan yang mau mampir," lanjutnya.

Kontribusi untuk penerimaan daerah pun mereka siap.

"Kami menunggu berapa dan bagaimana mekanismenya. Kalau perlu tata ruangnya kami ikut berkontribusi, asal jangan berubah-ubah lagi."

Penataan dan pendampingan dari pihak pemerintah atau pun swasta yang paham soal budidaya keramba ini memang sangat dibutuhkan.

 Para nelayan mungkin bisa meniru keramba milik PT Suri Tani Pemuka, anak usaha PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, di kawasan Tambun Raya, Simalungun.

Pengelolaan secara profesional dan teknologi tepat guna membuat keramba-keramba ini terlihat bersih dan tidak berbau.

Government Relations Manager Japfa, Andi Trapsilo, mengatakan, pihaknya telah memberikan pelatihan maupun pendampingan terhadap para petani tradisional.

"Kami selalu terbuka kepada mereka perihal pengelolaan keramba ikan nila ini," katanya.

Andi mengatakan PT Jafta Comfeed sudah berinvestasi sejak 2012 dengan mulai dari membangun tempat pembibitan (hatchery) di Tanah Jawa hingga pabrik pengolahan di Janggir Leto. Semuanya berada di Kabupaten Simalungun.

"Tenaga kerja yang kami serap di seluruh lokasi usaha kami sekitar 2.500 orang, dengan komposisi 80% tenaga lokal," ujarnya.

Hasil proses pengolahan ini berupa fillet ikan tilapia atau nila seluruhnya di ekspor.

"Tujuan utama ke Amerika Serikat dan Eropa. Tapi ada juga ke restoran cepat saji di Asia Tenggara. Kalau pernah cicip burger ikan, nah itu hasil produk kami," katanya.

Dia menjelaskan, hampir 100% produksi ikan nila dari Danau Toba diekspor karena tak mau merusak harga ikan nila produksi petani. Sebab kualitas ikan nila dari Danau Toba telah berstandar internasional dan berukuran lebih besar.

"Kami 1-2 kg itu per ekor ikan, kalau di pasar itu 1 kg biasanya 2-3 ekor. Komitmen kami di awal memang akan diekspor," kata Andi.

Pada 2018, ikan yang diekspor sebanyak 4 ribu ton dengan nilai US$12 juta. Jumlah ini meningkat dari 2017 sebanyak 2.600 ton dengan nilai US$9,5 juta.

"Tahun ini kami proyeksikan 10 ribu ton dengan nilai US$25 juta."

Mengalihprofesi masyarakat di kawasan Danau Toba memang tidak bakal menjadi hal yang mudah.

Pegiat parawisata, Luisa Tuhatu, mengatakan, kalau Danau Toba mau menjadi destinasi wisata dunia maka masyarakatnya harus dipersiapkan dan dilatih untuk dapat menyambut turis dengan lebih baik.

"Juga perlu dibuatkan sarana yg nyaman untuk wisata, misalnya restoran terapung di Danau Toba. Keramba-kerambanya pun harus ditata lebih rapih dan kebersihannya terjaga," tutupnya. (OL-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya