Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DWI Suratno Hadi, 42, memperagakan teknik menyeduh kopi dari teko kecil di tangannya di Wana Wisata Jumprit Temanggung (Wapitt), akhir pekan lalu. Belasan remaja memperhatikannya dengan saksama. Mereka ialah peserta pelatihan kopi yang datang dari berbagai daerah. Selain dari Temanggung, ada dari Magelang, Yogyakarta, dan Semarang. Sudah tiga hari ini mereka belajar kopi di sini, mulai cara penanaman, merawat tanaman kopi, pemanenan, perlakuan pascapanen, hingga menyeduh kopi.
Satu per satu, para peserta pelatihan menjajal menyeduh dengan teko lainnya yang berisi air panas. Setelah itu, bersama-sama dicicipi dan dievaluasi. Dengan telaten, Dwi memberikan instruksi perihal teknik menyeduh kopi.
Kegiatan memberikan pelatihan kopi dilakoni Dwi sejak setahun terakhir. Ia bekerja sama dengan pengelola Wapitt yang juga inisiator sekolah kopi Irawan Prasetyadi di lahan milik Perum Perhutani Kedu Utara seluas 40 hektare.
Sekolah kopi diberikan gratis untuk mereka yang ingin belajar kopi. Rata-rata proses belajar selama empat hari. Umumnya yang rutin datang untuk belajar kopi ialah pelajar SMA dari Kota Temanggung. Mereka datang tiap Sabtu dan Minggu.
Dwi mendapatkan pelajaran ilmu kopinya dari Aceh selama tiga tahun. Ketika itu, sekitar 2009, ia dalam kondisi bingung seusai perusahaan tambang bijih besi di Kalimantan tempatnya bekerja bangkrut.
Pada 2010 hingga 2013, ia belajar kopi gayo pada petani di Aceh, mulai bibit, tanam pohon, perawatan, pemupukan, pascapanen, semua proses kopi ia pelajari. Uang pesangon dari hasil bekerja di tambang dipakai untuk biaya belajar kopi.
“Saya mendalami kopi supaya ngerti dari pohonnya. Saya tidak punya basic pertanian. Lalu bertemu almarhum pengusaha Bob Sadino. Beliau yang memotivasi saya. Kami kemudian aktif berkomunikasi melalui e-mail,” kenang Dwi.
Pada proses belajar itu, Dwi sempat pergi ke Wamena, Toraja, dan Kintamani untuk mempelajari kopi khas dari tiga daerah itu. Dwi mengaku dirinya total belajar kopi karena ia sangat suka minum kopi.
Dwi teringat pesan almarhum Bob Sadino agar ia membagikan ilmu kopinya kepada petani lain. Tanpa dibayar dan jangan pernah membohongi petani. Hal itu mendorong Dwi getol mendatangi para petani untuk berbagi ilmu kopi. Kini, yang belajar kopi ke Wapitt beragam. Ada dari Medan, Lombok, Bali, Jakarta, Bandung, Bekasi, Cengkareng, Semarang dan Yogyakarta. “Jadi, persaudaraan yang dicari, bukan gengsi-gengsian. Filosofinya, kopi untuk persaudaraan,” kata Dwi.
Pengelola Wapitt Irawan Prasetyadi, mengatakan, sekolah kopi sudah dirintis sejak setahun terakhir saat dirinya masih menjabat sebagai Wakil Bupati Temanggung.
“Selain untuk memajukan pertanian kopi, ini juga menjadi paket wisata ke Jumprit. Bagi wisatawan yang ingin belajar kopi, sekadar melihat kebun kopi, atau tracking ke gunung juga bisa. Untuk kelompok tani yang mau belajar kopi bisa gratis, tapi nanti produk kopinya bisa dijual ke sini, kita bantu pemasaran,” ujar Irawan. (Tosiani/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved